Pada sebuah kamar petak di salah satu kontrakan penuh pintu di kota besar itu, tinggallah seorang pemuda yang berjuang memperbaiki kualitas hidup, seorang diri. Dia datang dari desa, menantang hidupnya, menguji nyalinya, dan terutama, meringankan beban orangtuanya yang sudah hampir mati membesarkan kesembilan adiknya.
Kamar itu begitu sempit, hanya tiga kali empat meter persegi, belum termasuk sebuah kamar mandi di dalamnya. Apa pun yang dia kerjakan di sana, tidak terlepas dari meja belajar, tempat tidur, dan kamar mandi.
Ini sudah tahun keempat dia di sana. Tahun keempat pula ia menempuh pendidikan. Selepas itu, ia bisa beristirahat sebentar, bersuka cita dan menikmati kebanggaan sebagai seorang sarjana--ia menjadi sangat dihormati di kampungnya dan derajat keluarganya otomatis meningkat, lalu berpusing ria dengan bersaing bersama ribuan bahkan ratus ribuan lulusan sarjana dalam mencari pekerjaan. Belum lagi mencari cinta, untuk menghasilkan seorang buah hati, yang sangat dirindukan ibunya.
"Plukkk...."
Terdengar percikan cairan jatuh. Beberapa makhluk kecil--begitu kecil sehingga hanya bisa dilihat dari mikroskop--di dalamnya berteriak, seperti kesakitan jatuh dari ketinggian dan melesat begitu kencang pada lantai kamar mandi yang terlalu licin, karena penghuninya sama sekali tidak pernah membersihkannya.
Dinding-dindingnya berubah warna, dari putih menjadi kecokelatan. Ada sarang laba-laba pada setiap sudut atap. Pada kapstok di balik pintu, tergantung tumpukan baju dan celana yang begitu kotor, tidak pernah dicuci, dan mulai berbau. Di tempat sabun mandi yang tergantung di salah satu dinding, ada sebuah plastik kecil bekas sampo saset yang terbuka ujungnya dan masih tersisa setengah.
"Ayo cepat lari," ujar salah satu makhluk itu. Mereka hanya sebuah kepala berbentuk elips dengan sebuah ekor panjang.
"Tolong, tangkap kepalaku," teriak satu makhluk lain di dekatnya. Dengan cepat, makhluk itu yang sudah lebih dulu memanjat dinding, menjulurkan ekornya dan melilitkan pada kepala makhluk lain itu yang masih menyentuh lantai. Mereka harus cepat-cepat merayap ke dinding.
"Tolong... tolong... tolong...."
Terdengar riuh pekikan dari teman-teman mereka. Mereka hanyut bersama genangan air yang disiramkan pemuda itu begitu saja, membuat mereka terperosok dalam lubang kamar mandi, yang ditutup kawat-kawat berkarat. Mereka hilang entah ke dunia mana.
"Syukurlah kita selamat."
"Benar. Untung saja kamu cepat tolong saya."
Pemuda itu lekas berdiri. Ia mencuci tangannya dengan sabun, lalu mengambil sedikit pasta gigi, dan menggosok-gosokkannya pada giginya yang kuning-kuning itu. Wajahnya begitu puas. Hasratnya begitu tersalurkan. Kedua makhluk itu memandangnya lekat-lekat.
"Jadi, dia yang membuang kita?" kata makhluk itu.
Makhluk lain hanya mengangguk. Ia masih berusaha melekatkan dirinya pada dinding yang juga sudah ikutan licin seperti lantai itu. Ia tidak mau bernasib sama dengan teman-temannya.
Keesokan hari, pemuda itu masuk lagi ke kamar mandi. Mukanya ditekuk. Tangan kanannya memegang sebuah buku tebal. Tangan kirinya melihat telepon seluler. Rambutnya mulai menipis, mungkin begitu pusing belajar. Takada senyum sama sekali. Buku itu dilempar begitu saja ke dalam kamar. Tinggallah ia duduk memandang sebuah video di telepon seluler itu.
Tangannya melepaskan celana panjangnya. Lalu celana dalam. Ia mulai melakukan ritualnya, yang terus dilihat kedua makhluk itu setiap malam, sebelum ia tidur. Ia memegang sesuatu yang tiba-tiba berdiri, mengocoknya terus, hingga keluar percikan cairan itu.
Mereka hafal, ketika pemuda itu sudah jenuh, hampir stres, mulai hilang harapan, ia akan melakukan itu. Dan entah mengapa, setelah itu, mukanya menjadi cerah dan begitu ceria.
"Plukkk...."
Terdengar lagi percikan cairan jatuh. Kedua makhluk itu memandang ke lantai. Di lantai, berserakan teman-teman mereka yang juga terus meminta tolong dengan suara yang begitu nyaring tetapi tidak terdengar oleh pemuda itu. Beberapa berusaha memanjat dinding, tetapi tidak mampu dan akhirnya tergelincir karena begitu licin. Kedua makhluk itu begitu beruntung, karena sudah sampai ke dinding yang kering dan tidak terjangkau air.
"Tolong... tolong...."
Teriakan memilukan terus terdengar. Kedua makhluk itu ingin sekali menolong, tetapi di satu sisi mereka tidak tahu bagaimana caranya. Bila mereka turun ke bawah, sudah barang tentu nasib sial juga mereka alami. Mereka akan hanyut bersama teman-temannya. Tetapi, lolongan menyedihkan itu selalu mengganggu.
"Mengapa dia selalu membuang kita?" tanya makhluk itu.
"Bengis sekali dia kepada makhluk hidup," lanjutnya.
Makhluk lain di sebelahnya sama sekali tidak punya petunjuk untuk menjawab. Ia begitu terpukau dengan wajah pemuda itu yang begitu riang, selepas dia melemparkan cairan berisi teman-temannya itu. Mengapa pemuda itu bisa senang ketika teman-teman saya terbuang? Apakah dia suka bahagia di atas penderitaan orang? Ini tidak boleh seharusnya.
"Oi," panggil makhluk itu. Makhluk lain itu menengok.
"Maaf, maaf. Saya lagi heran sama pemuda itu. Betapa kejam dia bisa tertawa di atas penderitaan teman kita."
"Saya juga berpikir seperti itu. Apa yang harus kita buat agar dia tidak lagi membuang teman-teman kita?"
Makhluk lain itu terdiam. Ekornya bergoyang-goyang. Kepalanya seperti memikirkan sesuatu.
"Apakah kita harus membalas perbuatannya yang jahat itu? Bukankah itu tidak boleh?" katanya.
"Lantas, bagaimana? Apa kau mau setiap saat melihat teman-teman terus terbuang? Apa kau kuat mendengar lolongan mereka?"
Pemuda itu keluar dari kamar mandi. Lampu dimatikan. Tersisa dingin dan kesunyian.
"Oi, kok gelap?" kata makhluk lain itu.
"Lampunya mati. Gitu saja bingung."
Mereka berdua bergerak ke arah dinding yang terkena sorotan cahaya dari sudut pintu yang terbuka sedikit.
"Kita doakan saja, semoga dia tidak mengulangi perbuatan itu!" kata makhluk lain itu. Di samping dia bingung, bagaimana cara menghentikan ritual pemuda itu ketika stres sudah melanda, ia juga tidak tega membalas kejahatan dengan kejahatan. Setahunya, kejahatan hanya perlu didoakan supaya berubah menjadi kebaikan.
Hari berganti hari, tanpa terasa, pemuda itu sudah lulus kuliah. Mungkin dewi fortuna sedang berpihak, dia langsung diterima kerja di sebuah perusahaan tambang. Namun, kebiasaan itu tetap dia lakukan. Dia tetap gampang stres sehingga gampang pula melakukannya.
Sudah banyak dan tidak terhitung jumlah teman-teman mereka yang terbuang. Sudah begitu pilu mereka mendengar jeritan-jeritan kepedihan teman-temannya. Tetapi, mereka tidak berhenti berdoa dan terus berharap, semoga suatu saat, pemuda itu tidak lagi membuang teman-temannya.
Ketika tidak berhenti berharap, suatu saat harapan akan terkabul. Itu yang mereka percayai. Dan benar saja, kali ini, pemuda itu masuk ke kamar mandi, tidak sendiri. Ia membawa seorang wanita yang begitu cantik dan aduhai badannya, yang telah ia nikahi di depan kedua orangtuanya.Â
Dalam kamar mandi itu, kedua makhluk itu melihat pemuda itu kembali melakukan ritual. Tetapi, kali ini tidak ada percikan cairan jatuh. Semua cairan yang dikeluarkan pemuda itu masuk tepat ke dalam pantat wanita itu. Kedua makhluk itu lekas bersyukur.
"Akhirnya, harapan kita terkabul," kata makhluk lain itu.
"Iya, ya, syukurlah, tidak ada lagi teman-teman kita yang terbuang," sahut makhluk itu.
Mereka berdua begitu senang, tidak ada lagi pembuangan.
"Bagaimana kalau kita cari teman-teman kita yang terbuang itu? Mana tahu mereka masih hidup dan selamat dalam lubang itu?" tawar makhluk itu.
Makhluk lain itu menganggukkan kepala. Mereka akhirnya melepaskan pegangan, jatuh begitu saja ke lantai, dan hanyut bersama genangan air, masuk ke dalam lubang kamar mandi. Mereka berharap semoga masih bisa bertemu teman-temannya. Bukankah meskipun terlihat mustahil, jangan sampai putus harapan?
...
Jakarta
3 April 2021
Sang Babu Rakyat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI