Apakah perasaan yang lebih tepat digambarkan ketika bertemu sanak saudara yang telah lama tidak pernah berjumpa, selain keharuan dan kebahagiaan? Sama sekali Sulastri tidak merasakannya. Malam itu ketika istirahat di kamar, Sulastri menangis tertahan-tahan. Sementara Aksila, karena Rini begitu kangen, diajaknya tidur di kamarnya.
Meskipun isaknya tidak terdengar, air matanya terus berjatuhan, membasahi pipi, turun menjalar ke sekujur badan. Dasternya sampai begitu melekat, seperti menyatu dengan kulit putihnya. Ia merasa akan mendapat firasat yang tidak mengenakkan.
Sepanjang malam pikiran Sulastri meracau ke mana-mana. Ia membayangkan Aliska yang sedang kesepian ditinggal kakaknya, pertanyaan suaminya yang meragukan dirinya, hingga bagaimana kebahagiaannya nanti terus ia tangisi.
Ia merasa memang sudah saatnya kebenaran harus diungkap. Ia tidak mungkin melihat anaknya tidak tahu apa-apa. Bagaimana masa depannya nanti? Apakah bisa ia hidup tenang selamanya dengan kebohongan?
Sampai subuh, Sulastri tetap terjaga. Kantung matanya bengkak. Matanya memerah. Ia tergolek lemah bersandar di dinding. Tangannya penuh darah. Ia batuk berulang kali.
***
Keesokan hari, di ruang tamu, telah berkumpul Sulastri, Aksila, Rini, dan keenam anaknya. Hari itu hari Minggu. Suami Rini sudah pergi memancing. Kemarin, Sulastri berbisik di telinga RIni, untuk menunda berbicara sampai mereka istirahat barang satu malam.
“Nak,” Sulastri memanggil pelan. Aksila menengok.
“Iya, ada apa Bu?”
“Sini sebentar.”
Aksila mendekati ibunya. Tangan Sulastri menolehkan kepala Aksila, menghadap Rini dan keenam anaknya. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia berkata.