“Kenapa jadi dokter?”
“Ingin ngobatin ibu.”
Batuk Sulastri memang sangat misterius. Setelah diobati ke dokter dan orang pintar, batuk itu tetap muncul, tidak kunjung sembuh. Akhir-akhir ini sesekali bahkan darah yang keluar.
Sulastri terdiam. Meskipun begitu polos jawaban anaknya, itu sudah cukup menggoyahkan perasaannya, sehingga tanpa sadar ia meneteskan air mata. Direngkuhnya Aksila dalam pelukan. Ia menciumi kepala Aksila dengan begitu sayang.
“Ibu kenapa menangis?” tanya Aksila setelah merasa ada air membasahi kepalanya. Sebelum Aksila mendongak melihat wajah ibunya, Sulastri cepat-cepat menyeka air matanya.
“Tidak apa-apa, Nak.” Mata Sulastri masih berkaca-kaca.
Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Alunan lagu keroncong “Gambang Semarang” sayup-sayup terdengar. Meskipun sudah tutup, deretan warung penjual lumpia yang disinari temaram lampu satu per satu terlihat. Penjaja bandeng presto juga tidak kalah ramai memenuhi pemandangan dari jendela. Aroma kota Semarang, kota kelahiran Sulastri perlahan terasa. Sulastri merapikan dua koper besarnya. Aksila mengencangkan sepatu sandalnya.
“Ayo Nak, turun.”
Karena malam sudah sangat larut, mereka memutuskan menginap di masjid sekitar. Keesokan hari, pukul lima, setelah salat subuh, dengan menaiki bus kota dari terminal Terboyo, mereka menuju rumah Rini yang ada di dataran atas Semarang. Ngaliyan.
***
“Tok.tok..tok…”