“Barang-barang sudah dikemas semua?”
“Sudah Mas. Tinggal sedikit pakaian Aksila.”
“Kamu benar-benar yakin kan?”
Sulastri menghela napas. Ia mengelus dadanya yang semakin sakit, karena batuknya yang begitu menyiksa. Kali ini, ia memberanikan diri menjawab.
“Yakin, Mas,” dengan lirih ia berucap.
Suaminya mendekati Sulastri. Direngkuhnya tubuh yang gempal itu, dipeluknya erat-erat. Sulastri meletakkan kepalanya pada bahu suaminya. Suaminya bisa mendengar jelas isakan perlahan Sulastri. Bahunya basah. Sulastri menangis.
***
Sore itu langit begitu indah. Guratan sinar-sinar kemerahan terlukis seperti membungkus kumpulan mega yang bertakhta di langit. Beberapa bintang mulai memunculkan dirinya, bekerlapan, seolah-olah bersiap mengantar Sulastri dan Aksila pulang ke Semarang. Jalanan tidak macet.
Tepat pukul empat sore, diantar suaminya menggunakan bajaj, Sulastri dan Aksila tiba di stasiun Pasar Senen.
Di stasiun, Aksila begitu bersemangat. Matanya berbinar-binar. Mulutnya setengah terbuka. Ia terpukau melihat hiruk pikuk orang membawa koper-koper besar seperti hendak liburan. Meskipun ketika berangkat, barang-barang yang dibawa mengimpitnya begitu dalam sehingga ia duduk terjepit di pinggir pintu bajaj, itu sama sekali tidak mengurangi kebahagiaannya.
Suami Sulastri sempat keheranan. Mengapa anaknya berubah begitu berbeda dari biasanya? Apakah selama ini Aksila stres karena tidak pernah liburan?