Sudah banyak hal telah dilupakan Sulastri tentang kampungnya, tetapi ada satu hal yang terus mengganggu pikirannya, meskipun Sulastri berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengingatnya.
Hal itu selalu menyiksanya, menyebabkan setrikaan tidak rapi terselesaikan, pakaian dan celana tidak bersih dicucinya, bahkan sampai membuat ia tidak bisa tidur dengan tenang. Sudah lima hari ini Sulastri tidak tidur nyenyak. Hari kelima ia terjaga semalaman.
“Jadi pulang?” tanya suaminya lima jam sebelum kereta api Jayabaya jurusan Jakarta Semarang berangkat. Ia ingin memastikan Sulastri tidak ragu dalam mengambil keputusan. Ragu-ragu hanyalah mendatangkan masalah.
“Uhuk..uhukk…”
Terdengar suara batuk-batuk.
“Jadi, Mas,” jawab Sulastri lirih.
Suaminya memegang kepala Aliska yang tergeletak di pangkuan kakinya. Ia membelainya dengan lembut.
“Sendirian?”
“Sama Aksila, Mas.”
Aksila dan Aliska adalah kakak beradik. Aksila lahir lebih dulu di Semarang, sementara Aliska lahir satu tahun kemudian di Jakarta. Masing-masing mengenyam pendidikan di bangku kelas dua SD dan satu SD.
Aliska memejamkan mata. Ia pergi ke dunia entah ke mana, setelah diantar oleh elusan hangat ayahnya. Setelah suami Sulastri membaringkan Aliska tidur di samping Aksila di atas kasur, ia kembali bertanya.