Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Masa Tua

22 Februari 2021   17:29 Diperbarui: 22 Februari 2021   18:41 1286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi masih begitu dingin. Angin sepoi-sepoi berembus menggoyangkan daun-daun pepohonan hingga berkerisik, seakan-akan memainkan musik bagi burung-burung yang sedang bernyanyi mengawali hari. Terlihat beberapa pemuda berlarian mengitari lapangan tepat di halaman depan sebuah kantor. Matahari masih bersembunyi di balik gedung.

“Ayo Pak, semangat-semangat!” ujar pemuda dengan dua handuk kecil di pundaknya. Tangan kanannya memegang sebotol besar air mineral.

“Kurang berapa putaran lagi?” jawab lelaki setengah abad di sebelahnya.

“Lima putaran, Pak. Bapak pasti bisa!”

Lelaki tua itu menatap langit. Awan-awan yang mengumpul mulai terserak. Warna biru laut terpampang luas dan indah, dihiasi guratan sinar berwarna merah keemasan yang memancar dari ufuk timur. Sesekali dia melihat jam tangannya.

“Sudah cukup ya, saya tidak kuat lagi!” 

Napasnya terengah-engah.

Pemuda di sampingnya itu lekas-lekas membuka tutup botol. Bersama sehelai handuk, tangannya menyodorkan botol itu penuh sopan.

“Ini, Pak.”

Lelaki tua dan pemuda itu segera menepi. Mereka duduk di bawah sebuah pohon. Peluh yang berjatuhan membasahi badan dan menetes ke jalan segera diserap oleh handuk yang sudah berbau keringat pemuda itu. Tidak berapa lama, setelah meneguk air setengah botol, mereka beranjak memasuki kantor.

“Tumben, tidak bisa lima puluh putaran. Apa tenaga saya semakin berkurang?” gumam lelaki tua itu tepat setelah dia berganti pakaian dan kemudian duduk di atas kursi kerjanya.

Di depan matanya, terserak dokumen-dokumen tebal berisi kontrak proyek yang tertumpuk setinggi seratus sentimeter—hampir setinggi tubuhnya bila diukur dari permukaan meja--yang harus dibaca dan diteliti semuanya. 

Meskipun kontrak itu sudah dilengkapi dengan hasil telaahan anak buahnya, lelaki itu tidak mudah percaya. Traumanya sungguh belum hilang, ketika dulu dia asal tanda tangan tanpa memeriksa, dia harus kehilangan ratusan juta karena trik pihak ketiga yang terlewat terbaca terkait penggantian kegagalan proyek.

Tangannya membuka satu demi satu dokumen. Dahinya yang berkeriput di sana-sini terlihat mengerut. Hampir sepuluh kali dia atur posisi kacamatanya, berharap tulisan-tulisan yang kecil itu tidak luput dibacanya. Berulang kali tangannya mengusap-usap kulit kepala bagian belakang yang sudah tandas rambut itu.

Terdengar suara ketukan pintu.

“Masuk.”

“Bapak sudah makan?” kata seorang pemuda berumur setengah darinya. Badannya tinggi dan tegap. Mengenakan jas hitam dengan corak naga putih di saku kirinya.

“Oh iya ya, Bapak lupa,” lelaki tua itu meringis.

“Ini ini, tadi Mirna sudah masak. Bapak makan dulu, baru kerja lagi. Sulit nanti berpikir kalau perut kosong.”

Dengan lauk mi goreng dan sambal tongkol kesukaan lelaki itu, perbincangan antara bapak dan anak berlangsung hangat.

“Nak, kenapa ya tadi Bapak sudah tidak kuat berlari lima puluh putaran?” Lelaki itu masih memikirkan kekesalannya.

“Bapak sudah tua, wajar itu. Orang semakin tua kan semakin lemah. Biasalah.”

Lelaki itu mendeham. Bila itu bukan anaknya, sudah pasti langsung habis-habisan didampratnya. Di kantor itu, kata “tua” sangat haram diucapkan bila sedang berbincang dengannya.

“Apa mungkin karena Bapak banyak pikiran?”

“Bisa jadi itu, Pak. Mikir juga menguras energi.”

Tapi kan Bapak masih muda. Kakekmu saja yang delapan puluh tahun masih kuat bertani di sawah. Ini lihat buktinya.” Lelaki itu menunjukkan kedua otot tangannya. Timbul hanya sedikit, tetapi sangat dibanggakannya.

Pak Sulepret adalah direktur utama pada perusahaan tambang ternama di kota itu. Dia memiliki dua anak, yang lebih tua lelaki dan adiknya perempuan. Mereka tinggal bersama dengan Pak Sulepret sejak istri Pak Sulepret meninggal dunia. Karena terlalu cinta, Pak Sulepret tidak mau mencari penggantinya.

Perusahaannya terbilang sukses. Kerap kali mendapat kepercayaan menjadi mitra pimpinan kota dalam mengembangkan potensi emas di kota itu. Pak Sulepret juga sering diundang menjadi pembicara membahas permasalahan yang berkaitan dengan tambang dan lingkungan. Bagaimana menciptakan kegiatan pertambangan yang berpihak pada lingkungan, itulah moto perusahaannya. 

Sudah tiga jam lewat sejak sarapan usai, dokumen di depan mejanya tidak berkurang barang seperempat. Pak Sulepret merebahkan badan di sofa. Matanya mulai mengantuk. Mulutnya terbuka, mengambil udara banyak-banyak.

“Sudahlah, Pak. Bapak pensiun saja. Apalagi yang Bapak cari?” kata anaknya setelah menyodorkan dokumen. Pak Sulepret sayup-sayup mendengar. Pikirannya sudah melayang entah ke alam mana.

Karena merasa ucapan anaknya itu ada betulnya juga, sering didengar setiap hari sehingga dia menjadi percaya bahwa tubuhnya memang sudah tua dan butuh banyak istirahat, akhirnya Pak Sulepret memutuskan pensiun bekerja. Jabatan direktur utama diserahkan kepada anaknya laki-laki.

“Bapak ngapain bersih-bersih? Nanti cepat capek lho! Biar Inem saja yang ngerjain!” kata Mirna seusai melihat Pak Sulepret sore itu memegang sapu.

“Biar ada gerak sedikit.”

Nggak usah, Pak. Kita sudah bayar pembantu. Bapak nonton tv saja sana. Nanti saya suruh Inem buatin kopi.”

Saya hanya melihat dari kejauhan. Di rumah ini, rumah Bapak ini, seperti bukan Bapak yang punya. Mirna, kakak ipar saya, sering mengatur Bapak. Memang maksudnya baik, agar Bapak tidak repot-repot bekerja. Tetapi, dengan suaranya yang lebih sering terdengar seperti membentak itu, saya jadi kasihan dengan Bapak.

Biarin napa Kak. Bapak biar ngelakuin yang dia suka!” Saking kesal, saya sedikit berdebat dengan Mirna seusai makan malam bersama.

“Kamu mau Bapak kelelahan? Terus Bapak terkena sakit, lalu mati?”

“Astaga, saya tidak pernah berpikir sejahat itu.”

“Kamu kan tahu Bapak sekarang sudah lima puluh tahun. Jangan kasih dia kerjaan berat-berat!”

Nyapu itu tidak berat, Kak. Mungkin Bapak senang nyapu. Mungkin Bapak suka nyiram bunga. Tetapi, semua kakak larang. Hati-hati lho Kak. Itu Bapak, bukan anak-anak!” Saya menatap matanya tajam. Dia hanya melengos.

Sebagai anak bungsu saya dua kali tinggal kelas di SMA. Saya dianggap bodoh oleh kakak dan ipar saya. Saya sebetulnya bukan malas belajar, tetapi saya memang tidak tertarik sekolah. Buat apa mempelajari pelajaran yang begitu banyak, tetapi nanti tidak dipakai bekerja. Toh juga, masa depan saya cerah, ada perusahaan Bapak ini.

“Sudah-sudah, Bapak pulang saja ke kampung. Begini tidak boleh, begitu tidak boleh!”

Kakak saya mengambil napas.

“Nanti di kampung siapa yang ngurus? Rumah Bapak di sana dijual saja. Sawah Bapak suruh orang kerjakan. Sudahlah, Bapak di sini saja sama kita!”

Bapak terdiam. Wibawanya sebagai orang tua dan benar-benar tua sudah tidak ada lagi.

Kian hari, Bapak kian sering mendekam dalam kamar. Keluar kamar hanya untuk menonton tv dan makan. Badannya terus membengkak. Kakinya terlihat kecil menopang lemak-lemak yang bergelambir di perutnya.

Bapak mengalami kebosanan yang sangat parah. Dia mulai kehilangan satu demi satu kesenangan dari aktivitasnya. Hidup di rumah megah, miliknya sendiri, serasa di penjara. Apa karena tua tidak boleh berbuat apa-apa? Apa karena tidak ada tenaga jadi dipandang tidak berwibawa sehingga tidak dihormati? Apa kebebasan sungguh terkekang ketika menua?

Semua pertanyaan itu terus dipikirkannya. Suatu malam, akhirnya Bapak tidak kuat. Dia terkena struk dan meninggal di dalam kamar. Kami tidak ada yang tahu.

Keesokan pagi, ketika penguburan Bapak, saya berkata pada kakak saya: “Gara-gara kakak, Bapak jadi cepat mati!”

“Wajarlah Bapak meninggal. Memang sudah tua umurnya. Siapa lagi yang bisa menghindar bila waktunya tiba,” jawabnya.

Ingin rasanya saya tutup telinga rapat-rapat. Lalu, saya jahit mulutnya. Cih!

...

Jakarta

22 Februari 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun