Lelaki itu mendeham. Bila itu bukan anaknya, sudah pasti langsung habis-habisan didampratnya. Di kantor itu, kata “tua” sangat haram diucapkan bila sedang berbincang dengannya.
“Apa mungkin karena Bapak banyak pikiran?”
“Bisa jadi itu, Pak. Mikir juga menguras energi.”
“Tapi kan Bapak masih muda. Kakekmu saja yang delapan puluh tahun masih kuat bertani di sawah. Ini lihat buktinya.” Lelaki itu menunjukkan kedua otot tangannya. Timbul hanya sedikit, tetapi sangat dibanggakannya.
Pak Sulepret adalah direktur utama pada perusahaan tambang ternama di kota itu. Dia memiliki dua anak, yang lebih tua lelaki dan adiknya perempuan. Mereka tinggal bersama dengan Pak Sulepret sejak istri Pak Sulepret meninggal dunia. Karena terlalu cinta, Pak Sulepret tidak mau mencari penggantinya.
Perusahaannya terbilang sukses. Kerap kali mendapat kepercayaan menjadi mitra pimpinan kota dalam mengembangkan potensi emas di kota itu. Pak Sulepret juga sering diundang menjadi pembicara membahas permasalahan yang berkaitan dengan tambang dan lingkungan. Bagaimana menciptakan kegiatan pertambangan yang berpihak pada lingkungan, itulah moto perusahaannya.
Sudah tiga jam lewat sejak sarapan usai, dokumen di depan mejanya tidak berkurang barang seperempat. Pak Sulepret merebahkan badan di sofa. Matanya mulai mengantuk. Mulutnya terbuka, mengambil udara banyak-banyak.
“Sudahlah, Pak. Bapak pensiun saja. Apalagi yang Bapak cari?” kata anaknya setelah menyodorkan dokumen. Pak Sulepret sayup-sayup mendengar. Pikirannya sudah melayang entah ke alam mana.
Karena merasa ucapan anaknya itu ada betulnya juga, sering didengar setiap hari sehingga dia menjadi percaya bahwa tubuhnya memang sudah tua dan butuh banyak istirahat, akhirnya Pak Sulepret memutuskan pensiun bekerja. Jabatan direktur utama diserahkan kepada anaknya laki-laki.
“Bapak ngapain bersih-bersih? Nanti cepat capek lho! Biar Inem saja yang ngerjain!” kata Mirna seusai melihat Pak Sulepret sore itu memegang sapu.
“Biar ada gerak sedikit.”