Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Masa Tua

22 Februari 2021   17:29 Diperbarui: 22 Februari 2021   18:41 1286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nggak usah, Pak. Kita sudah bayar pembantu. Bapak nonton tv saja sana. Nanti saya suruh Inem buatin kopi.”

Saya hanya melihat dari kejauhan. Di rumah ini, rumah Bapak ini, seperti bukan Bapak yang punya. Mirna, kakak ipar saya, sering mengatur Bapak. Memang maksudnya baik, agar Bapak tidak repot-repot bekerja. Tetapi, dengan suaranya yang lebih sering terdengar seperti membentak itu, saya jadi kasihan dengan Bapak.

Biarin napa Kak. Bapak biar ngelakuin yang dia suka!” Saking kesal, saya sedikit berdebat dengan Mirna seusai makan malam bersama.

“Kamu mau Bapak kelelahan? Terus Bapak terkena sakit, lalu mati?”

“Astaga, saya tidak pernah berpikir sejahat itu.”

“Kamu kan tahu Bapak sekarang sudah lima puluh tahun. Jangan kasih dia kerjaan berat-berat!”

Nyapu itu tidak berat, Kak. Mungkin Bapak senang nyapu. Mungkin Bapak suka nyiram bunga. Tetapi, semua kakak larang. Hati-hati lho Kak. Itu Bapak, bukan anak-anak!” Saya menatap matanya tajam. Dia hanya melengos.

Sebagai anak bungsu saya dua kali tinggal kelas di SMA. Saya dianggap bodoh oleh kakak dan ipar saya. Saya sebetulnya bukan malas belajar, tetapi saya memang tidak tertarik sekolah. Buat apa mempelajari pelajaran yang begitu banyak, tetapi nanti tidak dipakai bekerja. Toh juga, masa depan saya cerah, ada perusahaan Bapak ini.

“Sudah-sudah, Bapak pulang saja ke kampung. Begini tidak boleh, begitu tidak boleh!”

Kakak saya mengambil napas.

“Nanti di kampung siapa yang ngurus? Rumah Bapak di sana dijual saja. Sawah Bapak suruh orang kerjakan. Sudahlah, Bapak di sini saja sama kita!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun