Di depan matanya, terserak dokumen-dokumen tebal berisi kontrak proyek yang tertumpuk setinggi seratus sentimeter—hampir setinggi tubuhnya bila diukur dari permukaan meja--yang harus dibaca dan diteliti semuanya.
Meskipun kontrak itu sudah dilengkapi dengan hasil telaahan anak buahnya, lelaki itu tidak mudah percaya. Traumanya sungguh belum hilang, ketika dulu dia asal tanda tangan tanpa memeriksa, dia harus kehilangan ratusan juta karena trik pihak ketiga yang terlewat terbaca terkait penggantian kegagalan proyek.
Tangannya membuka satu demi satu dokumen. Dahinya yang berkeriput di sana-sini terlihat mengerut. Hampir sepuluh kali dia atur posisi kacamatanya, berharap tulisan-tulisan yang kecil itu tidak luput dibacanya. Berulang kali tangannya mengusap-usap kulit kepala bagian belakang yang sudah tandas rambut itu.
Terdengar suara ketukan pintu.
“Masuk.”
“Bapak sudah makan?” kata seorang pemuda berumur setengah darinya. Badannya tinggi dan tegap. Mengenakan jas hitam dengan corak naga putih di saku kirinya.
“Oh iya ya, Bapak lupa,” lelaki tua itu meringis.
“Ini ini, tadi Mirna sudah masak. Bapak makan dulu, baru kerja lagi. Sulit nanti berpikir kalau perut kosong.”
Dengan lauk mi goreng dan sambal tongkol kesukaan lelaki itu, perbincangan antara bapak dan anak berlangsung hangat.
“Nak, kenapa ya tadi Bapak sudah tidak kuat berlari lima puluh putaran?” Lelaki itu masih memikirkan kekesalannya.
“Bapak sudah tua, wajar itu. Orang semakin tua kan semakin lemah. Biasalah.”