Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Dadu

6 Desember 2020   00:48 Diperbarui: 14 Desember 2020   19:30 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber:Pixabay)

Dalam satu pertemuan tak kasat mata, tampaklah sepasang tangan dan suara besar menggema. Tangan itu besar, kekar, dan melayang-layang. Baik kiri maupun kanan, keduanya memegang sebuah dadu. Di belakangnya ada enam gerbang.

Tangan itu patuh sekali terhadap perintah suara. Tangan kanan bertugas mengisi timbangan kanan tentang kebaikan, sementara kiri mengisi timbangan kiri tentang keburukan. 

Di tiap-tiap telapak tangan itu, terdapat mata besar yang tiada henti mengamati perilaku manusia di bumi.

Hasil timbangan atas perilaku disimpan di sebuah kamar tertutup. Berpintu emas, berlantai mutiara, dan berdinding batu mulia, kamar itu adalah rahasia manusia. Hanya sang suara yang boleh melihatnya.

Saat itu, lima sosok hadir di pertemuan. Sang suara, sepasang tangan, dan tiga arwah yang jasadnya baru saja mati kemarin hari. Arwah pertama seorang wanita tua, berambut putih, dan berkeriput banyak.

Arwah kedua seorang lelaki paruh baya, berkepala botak, dan tinggi besar. Sementara arwah ketiga, seorang pemuda bertubuh gempal dan masih sedikit umur. 

Mereka antre menghadap sang suara. Menunggu di depan sepasang tangan itu.

Pada dadu di sepasang tangan itu, terdapat enam angka. Satu melambangkan hewan di udara, dua hewan di darat, tiga hewan di air, empat tumbuhan di darat, lima tumbuhan di air, dan enam manusia.

Dadu itu akan digulirkan setelah sang suara melihat timbangan para arwah. Setiap angka yang muncul di permukaan, gerbang angka terbuka, dan para arwah dipersilakan memasukinya. Mereka menuju dunia baru, berwujud baru.

Tibalah saatnya para arwah bersaksi.

"Hei kamu, apa yang sudah kamu lakukan di dunia?", Suara besar menggema.

"Tuan, saya hidup luntang-lantung di dunia. Sebagai peminta-minta yang sakit-sakitan, saya berjuang mencari nafkah di jalanan. Banyak manusia saya temukan tak peduli, kendati saya berteriak memohon pertolongan berkali-kali."

"Saya sebetulnya tak mau juga Tuan seperti ini. Saya pun tak bisa menyalahkan mengapa ketika hidup mengalami nasib sial sekali. Orangtua meninggal di usia saya yang masih belia. Saya hidup sebatang kara. Terlahir miskin, tentunya tak bisa menawar."

Wanita tua itu menghentikan kesaksian. Dia meninggal karena penyakitnya tak tertolong lagi.

Sang suara memasuki kamar tertutup itu. Dilihatnya timbangan wanita itu. "Baiklah...Aku sudah mendengar kesaksianmu. Tangan, lemparkan dadu itu," seru suara kepada sepasang tangan itu.

Dadu itu dilempar kencang. Menggelinding cepat beberapa kali dan berhenti. Dalam kuasa sang suara, angka enam muncul. Arwah wanita itu merasa keberatan.

"Tuan, mengapa kau kirim aku lagi sebagai manusia? Aku sudah bosan hidup sengsara."

"Kamu masih perlu hidup lagi sebagai manusia di dunia baruku. Aku tahu perilakumu. Kendati kamu sengsara, kamu tetap berbagi dengan sesama pengemis. Roti yang kamu peroleh kamu bagikan kepada anak-anak yang sama sekali tak pernah kamu kenal. Aku tahu kamu tak tega mereka kelaparan. Bahkan, ketika kamu sangat kelaparan."

"Oleh karena itu, kamu ku perintahkan hidup kembali sebagai manusia. Namun kali ini, kamu hidup sebagai anak orang kaya. Pergunakanlah kekayaan itu untuk kembali lagi, membantu orang-orang di sekitarmu. Kamu tidak akan kubiarkan menderita."

Arwah wanita itu pun dipersilakan memasuki gerbang enam. Dia terlahir sebagai anak pengusaha ternama. Kekayaannya melimpah ruah dan kebutuhannya terlayani baik. Timbangan wanita itu berat di kanan.

"Hei kamu, apa yang sudah kamu lakukan di dunia?" Suara besar kembali menggema.

"Tuan, selama saya hidup, saya telah menciptakan kemudahan bagi manusia. Alat-alat penemuan hasil pemikiran saya, banyak digunakan membantu kehidupan".

"Awalnya saya berpikir, alat-alat itu saya hadirkan dengan maksud agar manusia bisa mengerjakan lebih banyak kegiatan dalam waktu yang sama. Tetapi, yang ada, mereka malah terlena dan menjadi malas karena kemudahan yang saya buat."

Arwah lelaki paruh baya itu menghentikan kesaksian. Dia meninggal terperangkap dalam ledakan di laboratorium tempatnya bekerja.

Sang suara kembali memasuki kamar tertutup itu. Dilihatnya timbangan lelaki itu."Baiklah. Aku sudah mendengar kesaksianmu. Tangan, lemparkan dadu itu" Dadu dilempar. Muncul angka enam di permukaan. Gerbang enam pun terbuka.

"Kamu masih perlu hidup lagi sebagai manusia di dunia baruku. Aku menghargai upayamu memanfaatkan waktu yang kuberi untuk bekerja menolong manusia. Tetaplah hidup sebagai manusia berguna. Untuk mereka yang menjadi malas karena penemuanmu, mereka ku buat tidak bertambah rezekinya."

Merasa bahwa sang suara mendengar keluh kesahnya, arwah lelaki itu berjalan riang menuju gerbang. Dia pun terlahir sebagai anak ilmuwan, berpikiran cerdas dan IQ tinggi. Selain itu, dia dikenal semua raja di dunia. Timbangan lelaki itu berat di kanan.

Tinggallah arwah ketiga. Arwah seorang pemuda bertubuh gempal dan masih sedikit umur.

"Hei kamu, apa yang sudah kamu lakukan di dunia?" Suara besar menggema untuk terakhir kalinya.

"Tuan, saya sudah menolong banyak wanita di dunia. Mereka yang berputus asa karena retak cinta, saya dengarkan keluh kesahnya. Saya pun menenangkan mereka dengan ucapan meneduhkan. Banyak dari mereka akhirnya bersemangat kembali meneruskan kehidupan."

Arwah pemuda itu menghentikan kesaksian, yang dari awal lantang diucapkan. Dia meninggal karena kecelakaan mobil bersama seorang wanita ketika tengah malam. Dia tewas di tempat kejadian.

Melihat arwah pertama dan kedua menjadi manusia, arwah pemuda itu sangat ingin mengikuti mereka. Besar harapannya gerbang enam terbuka. "Aku kan sudah melakukan kebaikan," pikirnya.

Untuk ketiga kali, sang suara memasuki kamar tertutup itu. Dilihatnya timbangan pemuda itu."Baiklah. Aku sudah mendengar kesaksianmu. Tangan, lemparkan dadu itu." 

Dadu dilempar. Muncul angka empat di permukaan. Gerbang empat pun terbuka.

"Kamu tidak layak menjadi manusia. Memang benar, kamu telah menyejukkan hati para wanita yang putus cinta. Tetapi, kamu membohongi mereka. Di saat mereka lemah, kamu membuat nyaman. Setelah itu, kamu tiduri mereka. Tidak pernah tulus niat baikmu.

Ucapanmu baik di muka, tetapi busuk di belakang. Hidupmu pun dik elilingi wanita yang termakan tipu muslihatmu. Kamu tidak sedikit pun menghargai wanita. Untuk itu, kamu hanya pantas hidup sebagai tumbuhan. Tak bermulut dan tak bisa bergerak. Nikmati hukumanmu di dunia baruku."

Mendengar keputusan sang suara, arwah pemuda itu berjalan lunglai. Kebohongannya terbongkar. Sang suara sudah melihat timbangannya. Berat di sebelah kiri.

Dengan langkah berat, dia memasuki gerbang empat. Dia terlahir sebagai sebuah kaktus kecil, tertancap di tengah gurun pasir yang sepi dan panas menyengat. 

Gurun itu tak terjamah manusia. Terlalu luas dan takada sumber air. Kaktus itu setengah mati bertahan hidup di sana.

Pertemuan pun berakhir, semua gerbang tertutup rapat. Sang suara dan sepasang tangan itu kembali mengamati kehidupan manusia di dunia. Sementara, dadu diam tergeletak di atas lantai. Menunggu digulirkan. Menentukan wujud para arwah berikutnya.

...

Jakarta
6 Desember 2020
Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun