Tibalah saatnya para arwah bersaksi.
"Hei kamu, apa yang sudah kamu lakukan di dunia?", Suara besar menggema.
"Tuan, saya hidup luntang-lantung di dunia. Sebagai peminta-minta yang sakit-sakitan, saya berjuang mencari nafkah di jalanan. Banyak manusia saya temukan tak peduli, kendati saya berteriak memohon pertolongan berkali-kali."
"Saya sebetulnya tak mau juga Tuan seperti ini. Saya pun tak bisa menyalahkan mengapa ketika hidup mengalami nasib sial sekali. Orangtua meninggal di usia saya yang masih belia. Saya hidup sebatang kara. Terlahir miskin, tentunya tak bisa menawar."
Wanita tua itu menghentikan kesaksian. Dia meninggal karena penyakitnya tak tertolong lagi.
Sang suara memasuki kamar tertutup itu. Dilihatnya timbangan wanita itu. "Baiklah...Aku sudah mendengar kesaksianmu. Tangan, lemparkan dadu itu,"Â seru suara kepada sepasang tangan itu.
Dadu itu dilempar kencang. Menggelinding cepat beberapa kali dan berhenti. Dalam kuasa sang suara, angka enam muncul. Arwah wanita itu merasa keberatan.
"Tuan, mengapa kau kirim aku lagi sebagai manusia? Aku sudah bosan hidup sengsara."
"Kamu masih perlu hidup lagi sebagai manusia di dunia baruku. Aku tahu perilakumu. Kendati kamu sengsara, kamu tetap berbagi dengan sesama pengemis. Roti yang kamu peroleh kamu bagikan kepada anak-anak yang sama sekali tak pernah kamu kenal. Aku tahu kamu tak tega mereka kelaparan. Bahkan, ketika kamu sangat kelaparan."
"Oleh karena itu, kamu ku perintahkan hidup kembali sebagai manusia. Namun kali ini, kamu hidup sebagai anak orang kaya. Pergunakanlah kekayaan itu untuk kembali lagi, membantu orang-orang di sekitarmu. Kamu tidak akan kubiarkan menderita."
Arwah wanita itu pun dipersilakan memasuki gerbang enam. Dia terlahir sebagai anak pengusaha ternama. Kekayaannya melimpah ruah dan kebutuhannya terlayani baik. Timbangan wanita itu berat di kanan.