Mohon tunggu...
HIDAYAH RAHMAD
HIDAYAH RAHMAD Mohon Tunggu... Lainnya - -HnR-

Pekerja Profesional dan Interpreter

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Hajiku - Mewujudkan Mimpi, Menebus Rindu

8 Juli 2022   14:03 Diperbarui: 8 Juli 2022   16:22 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku bukan termasuk orang yang dianugerahi photographic memory yang dengan mudah mengingat detail sudut-sudut tempat yang pernah kukunjungi. Namun pengalaman menginjakkan kaki di Tanah Suci serasa perjalanan penuh magis, terlalu indah untuk dilupakan-udah seperti lirik lagu saja-membekas dan meninggalkan jejak di hati .

Aku tidak akan mengatakan perjalanan hajiku beberapa tahun silam itu seperti mimpi, sehingga aku akan bercerita tentang hal yang seolah tidak mungkin dan ternyata terjadi.

Perjalanan hajiku adalah sebuah pilihan mendap yang telah lama kurencanakan. Sejak lama aku berkeyakinan bahwa berhaji adalah hal yang suatu saat dapat aku wujudkan. 

Tahukah kalian, ternyata Allah menjadikannya nyata mimpi itu dengan caranya yang luar biasa indah. Aku bersyukur menjadi hamba terpilih untuk menjalankan ibadah haji pada usia yang masih tergolong muda. Kala itu, jika deretan angka di KTP tidak berkhianat, usiaku baru 25 tahun. Don't ask how old i am now! Whos counting? 

Aku akan menceritakan kenapa aku menyebut pengalaman hajiku bukan sebuah kebetulan yang jatuh dari langit. Yah, walaupun pasti ada campur tangan Tuhan Sang Maha Pengatur, tetapi boleh juga aku katakan ini adalah akhir dari usaha yang begitu kuyakini keberhasilannya. 

Sewaktu masih kecil, aku selalu bercita-cita jika suatu kelak menjadi orang yang berkecukupan harta, hal pertama yang ingin kulakukan adalah pergi ke Makkah. Jika keinginan itu disebut cita-cita, tentu saja itu bukan cita-cita yang lazim bagi kebanyakan anggota keluarga besarku. 

Aku pernah merunut silsilah keluargaku, bahkan sampai ke akar yang tak sanggup kutelusuri, fakta yang kudapat tidak ada satupun dari mereka yang pernah berhaji! Sejak saat itu, aku bercita menjadi orang pertama yang melakukan itu.

Menunaikan rukun Islam yang terakhir itu memang jauh dari angan kami sebelumnya. Bahkan untuk sebatas cerita dalam mimpi saja, hal itu mungkin bukan sesuatu yang diandaikan datang menjadi bunga tidur setelah mata terlarut dalam pejam. 

Dengan kondisi keluarga saat itu, berhaji adalah mimpi yang terlalu mewah buat kami. Selain karena biayanya yang mahal, mungkin kalaupun ada uangnya kami akan memilih memakainya untuk hal lain yang lebih masuk akal, seperti sekedar pemenuhan kebutuhan pokok keluarga.

Begitulah kondisi iman dan finansial keluarga ini. Dalam pikiran kami, rukun islam kelima itu adalah sesuatu yang tak akan mengurangi apapun jika belum dapat ditunaikan. Seperti perintahnya, "hanya bagi yang mampu". Dan kami selalu merasa tidak dapat lepas dari perangkap perasaan tidak mampu itu.

***

Jalanku menuju ke Tanah Suci berawal dari kisah perantauanku di Negeri Ginseng. Sekitar penghujung musim gugur beberapa tahun silam, aku bertemu Pak Idris, seorang warga Indonesia yang telah lama menetap di Jepang. 

Oiya di awal aku belum menjelaskan bahwa aku dulu sempat bekerja di Korea Selatan selama empat tahun. Kunjungan Pak Idris ke Seoul saat itu untuk menawarkan jasa travel haji milik koleganya yang berkebangsaan Mesir kepada kaum muslim Indonesia di Korea. 

Hal pertama yang menarik perhatianku dari sosok bertubuh kecil itu adalah gerak-geriknya yang menurutku terlalu renta untuk urusan marketing semacam itu. Meski tak dapat kupastikan, dari penampilannya kutaksir usia Pak Idris sudah mendekati tujuh puluh tahun saat itu. 

Suatu hari Pak Idris menawariku untuk membantu pekerjaannya selama di Seoul, dan aku mengiyakan. Aku kenalkan dia dengan beberapa simpul komunitas muslim Indonesia di Korea. Dari sana dia mendapatkan banyak calon jamaah haji yang akan berangkat lewat perusahaan travelnya. 

Suatu hari Pak Idris juga menawariku untuk ikut berangkat haji di tahun itu. Setelah bernegosiasi dengan perusahaan tempatku bekerja, juga mengintip kondisi dompetku saat itu, kusambut tawaran itu dengan kemantapan hati. Selangkah lagi mimpiku ke tanah suci akan mewujud. Kenyataan yang lebih dari sekedar indah, bahwa akhirnya aku menunaikan rukun Islam kelima itu dari Negeri Ginseng. 

***

Aku tiba di Jeddah setelah menempuh penerbangan enam belas jam dari Bandara Incheon dengan transit di Istanbul. Udara Jeddah siang itu begitu menyengat, adaptasi yang tak mudah bagiku yang sehari sebelumnya masih bertarung dengan dinginnya Kota Seoul. Perbedaan suhu yang ekstrim membuat kondisi tubuh ini lemah.

Perjalanan dari Jeddah ke Makkah tak kalah melelahkan. Proses imigrasinya ruwet, perjalanan darat selepas keluar bandara sampai ke Makkah pun hampir memakan waktu semalam. 

Esok harinya aku baru mencapai hotel tempatku menginap selama di Makkah. Beruntung aku mendapatkan penginapan yang tak begitu jauh, hanya selemparan batu dari Masjidil Haram.

Di sepanjang jalan menuju penginapan berjajar ruko yang menjual segala pernik barang. Sebagian penjualnya begitu fasih berbahasa Indonesia. Sesekali mereka mengucapkan kalimat sederhana yang selayaknya kita dengar dari pedagang di pasar Tanah Abang Jakarta.

Setelah menemukan kamar, aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Sekujur badan ini terasa remuk setelah dua hari lebih tidak mendapatkan haknya dengan semestinya. Dua jam aku terlelap. 

Suara adzan dzuhur Masjidil Haram yang biasanya hanya dapat kudengar dari aplikasi ponsel sebagai pengingat waktu sholat selama di Korea, kini begitu menyentuh masuk dengan sopan ke dalam gendang telinga tanpa perantara. Aku masih tak percaya hal luar biasa ini terjadi, sejenak aku tertegun sebelum beranjak menuju arah suara panggilan Tuhan itu.

Aku melewati gerbang Al-fath, menyusuri selasar masjid dan berjalan lurus sampai ke tempat di mana ka'bah berada. Menatap bangunan segi empat terbalut kiswah hitam berukir emas dan perak itu hatiku bergetar. Dua raka'at qobliyah dzuhur dengan jarak sekitar dua puluh lima meter dari ka'bah itu kurasakan seolah shalat terkhusyuk yang pernah aku tunaikan seumur hidup.

Selepas sholat aku masih terduduk di lantai marmer yang dingin itu, seolah kaki ini enggan beranjak. Selayaknya para pencinta bertemu dengan yang dicintainya, sekedar duduk diam tanpa alasan apapun terasa nikmat. 

Aku langitkan doa sebanyak yang aku bisa. Rasanya saat itu aku menjadi begitu cerewet dan banyak meminta kepada Tuhan. Bahkan saking banyak dan bingungnya apa yang harus aku rapal dalam doaku, dalam waktu yang lama bibir ini hanya sanggup menggumam bacaan doa di antara dua sujud berulang-ulang. Mungkin bagiku itu adalah doa sempurna yang mewakili semua keinginan.

Semenjak dzuhur aku baru aku pulang menuju penginapan selepas Isya'. Bahkan perutku baru terasa lapar setelah hari menjelang malam. Padahal seharian aku bisa dibilang belum makan apa-apa, hanya beberapa kali meneguk air yang diberikan petugas masjid yang menghampiri sambil menyodorkan zam-zam kemasan. Mungkin hari itu aku telah kenyang dengan doa-doaku yang berlebihan.

***

Di penginapan aku mendengar beberapa jamaah lain bercerita tentang pengalamannya mencium Hajar Aswad. Batu yang konon berasal dari surga, memiliki sinar yang terang dan dapat menerangi seluruh Jazirah Arab, namun semakin lama warnanya berubah menjadi kehitaman karena kehilangan sinarnya dan kian meredup.

Suatu hari, sehari sebelum menuju Mina aku pun mencoba meraih batu itu. Aku pasang alarm di waktu tengah malam lewat, dan berniat menuju masjid. Di kala itu orang lain pasti sedang tenggelam dalam tidurnya sehingga aku leluasa merengkuh batu itu, pikirku. 

Ternyata aku begitu polos dan lupa akan satu hal, ini Masjidil Haram bukan masjid kampungku yang suwung selepas sholat Isya'. Tempat ini tak pernah lengang oleh manusia, tak pernah tidur, di setiap hari, setiap jam, setiap menit, dan setiap detiknya. 

Hajar Aswad terletak di salah satu sudut Ka'bah. Sudut yang selalu menjadi tempat terpadat di banding sudut lainnya. Untuk mendekatinya orang harus rela berdesak-desakan, tak jarang sampai saling dorong demi menciumnya. Bahkan aku dapat selentingan kabar, katanya ada 'makelar' Hajar Aswad. Mereka yang menawarkan bantuan kekuatan kepada siapa pun yang berani membayar mahal untuk mencapai batu surga itu. Dan tidak aneh kalau banyak kaum 'beruang' yang memakai jasanya agar berhasil mendaratkan bibirnya di batu itu. 

Ada pula jamaah yang menggunakan cara unik, mereka menyusuri sisi ka'bah dari Rukun Yamani, lalu sedikit demi sedikit merangsek masuk ke depan Hajar Aswad. Keberadaan mereka terkadang membuat kondisi tak beraturan dan menghentikan arus jamaah yang sedang tawaf di lingkaran terdekat dengan Ka'bah.

Dari fenomena Hajar Aswad ini aku teringat pesan seorang guru, terkadang euphoria kita dalam beribadah menjadikan kita bertindak tidak rasional. Kita suka memaksa untuk sesuatu yang tak perlu dilakukan. 

Mencium batu surga itu memang sunnah, karena dicontohkan baginda Nabi SAW. Namun anehnya demi hal sifatnya sunnah itu, orang nekat melakukan tindakan menganiaya, menyakiti dan merampas hak orang lain yang jelas haram hukumnya. Terbalik bukan? Iya, tapi aku menyadari, dalam hal kepatuhan dalam perintah agama memang terkadang tidak dapat dirasionalkan. Dan itu yang sering terjadi.

Sadar akan hal itu, aku urungkan niatku mencium batu itu. Aku menarik diri dari kerumunan untuk melanjutkan tawaf, dan cukup melambaikan tangan ke arahnya. Selepas tawaf dan shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim aku memohon dalam hati untuk dimudahkan mendekati batu itu (masih belum bisa move on ) tanpa harus mendorong dan menyakiti orang lain.

Tak selang beberapa lama, Iqomah berkumandang tanda sholat Subuh akan dimulai. Hampir semua orang mulai beringsut membentuk barisan shalat. Aku berusaha memberanikan diri melawan langkah sebagian orang untuk mendekati batu itu untuk kemudian meraihnya. Askar sempat memberi isyarat untuk menyuruhku berbalik, namun sedetik kemudian dengan isyarat lain dia menyuruhku terus melangkah. Aku ikuti isyarat kedua.

Aku tepat berada di depan benda surgawi yang kehilangan warna putih dan sinarnya itu. Dalam interpretasiku dia adalah gambaran bahwa setiap makhluk ciptaan Tuhan sesungguhnya berasal dari kesucian. Akan tetapi dalam perjalanannya, mereka semua tak luput dari dosa. Aku menciumnya, sebagai isyarat pengakuan dosa di hadapan Allah, dan berharap Dia Yang Maha Pengampun membasuhku dari dosa-dosa.

***

Prosesi ibadah haji di hari tarwiyah, Arafah, Muzdalifah dan Mina aku tunaikan dengan lancar. Setelah selesai tawaf wada' aku menuju Madinah. Tanah haram nan aman. Kota suci tujuan Rasulullah SAW berhijrah. Di sana Nabi dan para sahabat membangun peradaban, mencapai puncak kejayaan. Di tempat itu pula Nabi menutup usia, jasadnya terbaring di dalam masjid bersanding dengan dua sahabat setianya.

Kakiku melangkah pelan melewati gerbang masuk kawasan Masjid Nabawi. Di sebuah sudut halamannya seorang yang menjajakan Al-Quran memanggil-manggil. Kuambil lima jilid kitab bersampul hijau tua dari gerobaknya. Aku tenteng ke dalam masjid dan kuletakkan di sebuah rak di bawah pilar besar yang menyangga bangunan megah itu. Aku berharap seseorang akan membacanya dan mengalirkan keberkahan untukku.

Aku beranjak dan memasukkan diri pada sebuah antrian panjang menuju selasar berkubah hijau di atasnya. Aku mengikuti jengkal demi jengkal langkah orang di depanku. Bersama langkah mereka aku merasakan ada getaran rindu. Rindu pada Sang Nabi, rindu pada Kekasih Allah. 

Terlihat olehku dari jarak yang cukup orang-orang di depanku melambaikan tangan pada suatu arah, lalu diletakkan telapak itu ke dadanya. Seulas senyum, atau uraian tangis tampak sulit untuk kubedakan dari bibir mereka. Betapa sejuk pemandangan yang kulihat itu. Adegan orang yang menuntaskan kerinduan kepada dia yang amat dirindunya. 

Aku berjalan maju perlahan, sampai tiba di depan bilik berpagar tinggi berwarna keemasan, pembatas pagarnya pun emas, berhias kaligrafi. Di balik bilik itu tubuh mulia  Rasulullah SAW terbaring. Aku pun turut mengangkat tangan sambil melantunkan shalawat;


Ya Nabi Salam 'Alaika , Ya Rasul Salam 'Alaika

Ya Habib Salam 'Alaika, Sholawatullah 'Alaika

Sholallah 'ala Muhammad...

Aku sekejap mematung, larut dalam perasaan senang dan syukur. Aku turut merasakan apa sekiranya yang dirasakan oleh mereka yang kulihat beberapa menit lalu. Terasa hadir getaran magis di setiap sudut tempat ini, di mana agama ini diperjuangkan empat belas abad yang lalu, oleh seorang rasul mulia yang jasadnya kini hanya berjarak beberapa depa di hadapanku.

Di depan bilik itu, dalam waktu yang singkat itu aku tuntaskan rinduku ini sepantasnya sebagai penutup ibadah hajiku di tahun itu. Perjalanan suci sekaligus penebus rindu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun