Setelah menemukan kamar, aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Sekujur badan ini terasa remuk setelah dua hari lebih tidak mendapatkan haknya dengan semestinya. Dua jam aku terlelap.Â
Suara adzan dzuhur Masjidil Haram yang biasanya hanya dapat kudengar dari aplikasi ponsel sebagai pengingat waktu sholat selama di Korea, kini begitu menyentuh masuk dengan sopan ke dalam gendang telinga tanpa perantara. Aku masih tak percaya hal luar biasa ini terjadi, sejenak aku tertegun sebelum beranjak menuju arah suara panggilan Tuhan itu.
Aku melewati gerbang Al-fath, menyusuri selasar masjid dan berjalan lurus sampai ke tempat di mana ka'bah berada. Menatap bangunan segi empat terbalut kiswah hitam berukir emas dan perak itu hatiku bergetar. Dua raka'at qobliyah dzuhur dengan jarak sekitar dua puluh lima meter dari ka'bah itu kurasakan seolah shalat terkhusyuk yang pernah aku tunaikan seumur hidup.
Selepas sholat aku masih terduduk di lantai marmer yang dingin itu, seolah kaki ini enggan beranjak. Selayaknya para pencinta bertemu dengan yang dicintainya, sekedar duduk diam tanpa alasan apapun terasa nikmat.Â
Aku langitkan doa sebanyak yang aku bisa. Rasanya saat itu aku menjadi begitu cerewet dan banyak meminta kepada Tuhan. Bahkan saking banyak dan bingungnya apa yang harus aku rapal dalam doaku, dalam waktu yang lama bibir ini hanya sanggup menggumam bacaan doa di antara dua sujud berulang-ulang. Mungkin bagiku itu adalah doa sempurna yang mewakili semua keinginan.
Semenjak dzuhur aku baru aku pulang menuju penginapan selepas Isya'. Bahkan perutku baru terasa lapar setelah hari menjelang malam. Padahal seharian aku bisa dibilang belum makan apa-apa, hanya beberapa kali meneguk air yang diberikan petugas masjid yang menghampiri sambil menyodorkan zam-zam kemasan. Mungkin hari itu aku telah kenyang dengan doa-doaku yang berlebihan.
***
Di penginapan aku mendengar beberapa jamaah lain bercerita tentang pengalamannya mencium Hajar Aswad. Batu yang konon berasal dari surga, memiliki sinar yang terang dan dapat menerangi seluruh Jazirah Arab, namun semakin lama warnanya berubah menjadi kehitaman karena kehilangan sinarnya dan kian meredup.
Suatu hari, sehari sebelum menuju Mina aku pun mencoba meraih batu itu. Aku pasang alarm di waktu tengah malam lewat, dan berniat menuju masjid. Di kala itu orang lain pasti sedang tenggelam dalam tidurnya sehingga aku leluasa merengkuh batu itu, pikirku.Â
Ternyata aku begitu polos dan lupa akan satu hal, ini Masjidil Haram bukan masjid kampungku yang suwung selepas sholat Isya'. Tempat ini tak pernah lengang oleh manusia, tak pernah tidur, di setiap hari, setiap jam, setiap menit, dan setiap detiknya.Â
Hajar Aswad terletak di salah satu sudut Ka'bah. Sudut yang selalu menjadi tempat terpadat di banding sudut lainnya. Untuk mendekatinya orang harus rela berdesak-desakan, tak jarang sampai saling dorong demi menciumnya. Bahkan aku dapat selentingan kabar, katanya ada 'makelar' Hajar Aswad. Mereka yang menawarkan bantuan kekuatan kepada siapa pun yang berani membayar mahal untuk mencapai batu surga itu. Dan tidak aneh kalau banyak kaum 'beruang' yang memakai jasanya agar berhasil mendaratkan bibirnya di batu itu.Â