PENDAHULUAN
Suatu kenaikan dari harga barang dan jasa dalam kurun waktu tertentu dan secara umum dan terus menerus kerap kita kenal dengan istilah inflasi.Â
BPS atau Badan Pusat Statistik-lah yang melakukan perhitungan atas inflasi ini. Dan tidaklah dapat kita sebut inflasi dengan naiknya harga dari satu atau dua harga suatu barang saja, kecuali apabila kenaikan itu meluas atau bahkan mempengaruhi barang lainnya.
Prasyarat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yang mana akhirnya akan memberikan manfaat bagi meningkatnya kesejahteraan masyarakat ialah inflasi yang rendah juga stabil.Â
Pengendalian atas inflasi ini merupakan suatu hal yang penting dengan asumsi pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil ini dapat mempengaruhi dengan dampak negatif kepada kondisi sosial bahkan ekonomi masyarakat.
Maka suatu kondisi ekonomi yang ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang melemah juga angka pengangguran yang tinggi, kita kenal dengan istilah stagflasi.Â
Kondisi stagflasi ini kerap diikuti dengan kenaikan harga-harga atau inflasi. Kondisi stagflasi ini dapat terjadi ketika pada waktu yang bersamaan suatu pertumbuhan ekonomi turun terus-menerus dan diikuti dengan peningkatan jumlah pengangguran.Â
Kondisi stagflasi ini juga merupakan sebuah istilah terminologi gabungan dari istilah stagnasi (mandeknya suatu perekonomian) dan inflasi(harga barang yang terus naik)
Kondisi stagflasi ini dapat terjadi ketika adanya guncangan suatu penawaran agregat, seperti contoh guncangan pada harga minyak yang naik tajam sehingga membuat biaya produksi suatu perusahaan membesar.Â
Kondisi stagflasi ini kerap muncul ketika pada waktu yang bersamaan, tidak adanya pertumbuhan ekonomi akan tetapi terdapat lonjakan inflasi, maka akan menyebabkan meningkatnya pengangguran. Maka jika suatu pertumbuhan ekonomi itu melambat atau bahkan tidak ada dan tingginya pengangguran, akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.
Saat ini negara-negara di dunia sedang menghadapi krisis energi global, kenaikan harga energi dan juga gangguan dalam rantai pasok, yang mana hal ini menyulut terjadinya stagflasi.Â
Ekonom-ekonom global memperkirakan China akan menghadapi stagflasi ini seiring kita lihat munculnya tanda-tanda stagflasi di ekonomi China saat ini.Â
Harga suatu barang di negeri China terus-menerus mengalami kenaikan, sementara data manufaktur yang didapati menunjukkan produksi China melambat. Banyak juga sinyal-sinyal yang mengonfirmasi bahwa ekonomi China kemungkinan sudah mengalami stagflasi.Â
Maka pada artikel kali ini, kita akan membahas bagaimana stagflasi China dan bagaimana dampaknya terhadap Indonesia.
ISI
Baru saja dunia menghadapi kehidupan normal-baru pasca pandemi. Terlihat dari pertumbuhan ekonomi dunia yang mulai tumbuh, namun ada perubahan pada proses produksi dan rantai pasok (supply chain) akibat dari penyesuaian normal baru (new normal).Â
Disrupsi supply chain dikhawatirkan akan membawa dampak stagflasi (inflasi dan stagnasi). Seperti yang sedang mengancam China belakangan ini, China beresiko mengalami stagflasi di mana perekonomian mereka melambat (stagnasi) dan disertai inflasi yang tinggi.
Gejala perlambatan terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang terus melemah dari 18,3 persen di kuartal I turun ke 7,9 persen di kuartal II dan di kuartal III hanya 4,9 persen.Â
Resiko stagflasi turut mengancam negara ekonomi utama dunia seperti Amerika. Fenomena ini pernah terjadi di Amerika pada tahun 1970-an, ketika itu perlambatan ekonomi terjadi bersamaan dengan krisis bahan bakar, akibatnya PDB Amerika selama 5 kuartal mengalami pertumbuhan negatif.
Menurut Dornbusch, secara teoritis terdapat trade off  ---pengorbanan dari setiap keputusan--- dalam mencapai tingkat ekonomi yang tinggi (output meningkat) dan nilai inflasi yang rendah, pada kondisi meningkatnya output, terjadi trade off yang ditandai oleh meningkatnya inflasi.Â
Tetapi stagflasi ini kontradiktif, saat stagflasi ekonomi mengalami stagnan (pdb tertekan) tapi inflasi malah meningkat. Seperti yang terjadi di China, meskipun diikuti oleh tingkat inflasi yang tinggi, output perekonomian China malah melambat.Â
Berdasarkan rilis dari Biro Statistik Nasional China indeks produsen atau Producer Price Index (PPI) yang mengukur biaya barang dari pabrik, naik lebih dari yang diharapkan. Kenaikan PPI meluas karena kombinasi faktor global yang diimpor dan ketatnya pasokan energi dan bahan baku domestik utama.Â
Kenaikan PPI yang diikuti dengan penurunan Customer Price Index (CPI) menandakan bahwa pertumbuhan harga barang tidak diseimbangi dengan pertumbuhan pendapatan.Â
Harga barang semakin tinggi tapi pendapatan stagnan ini membuat orang-orang mengurangi konsumsinya. Kenaikan harga didorong oleh keterbatasan bahan baku, tingkat pengangguran, dan krisis energi yang melanda China.
 Pemulihan ekonomi telah mendorong permintaan listrik yang tinggi. Masalahnya, China telah menghentikan produksi batubara karena pertimbangan lingkungan kemudian beralih kepada listrik tenaga air dan menghentikan impor batubara dari Australia, disisi lain beberapa daerah di China dilanda kekeringan.Â
Oleh karena itu, China saat ini sedang kewalahan menghadapi krisis pasokan listrik yang sangat parah dan membatasi jumlah produksinya untuk mereduksi penggunaan listrik perusahaan.Â
Krisis pasokan listrik menyebabkan lonjakan harga output yang melampaui harga input. Dapat terlihat di sini bahwa stagflasi di China terjadi karena penguatan indeks harga output bersamaan dengan penguatan indeks harga input. Akibatnya, permintaan semakin  menurun di samping tingkat produksi yang rendah.
Sektor manufaktur menyumbang 29,06 terhadap PDB China. Purchasing Managers Index (PMI) yang mencerminkan aktivitas manufaktur, melaporkan pada periode Oktober 2021 sebesar 49,2 terjadi penurunan sekitar 4 persen dari bulan sebelumnya. Perlu diingat bahwa PMI menggunakan 50 sebagai nilai terendah, jka ada di bawah itu maka sudah dapat dipastikan terkontraksi.Â
Masalah perlambatan ekonomi tidak hanya pada sektor manufaktur, tetapi sektor properti juga. Kasus Evergrande mencuat ke permukaan beberapa waktu belakangan ini.Â
Kasus ini mengakibatkan perusahaan properti raksasa di China, terancam bangkrut karena Evergrande terindikasi gagal membayar bunga pinjaman jatuh tempo.Â
Penyebab krisis Evergrande disinyalir karena aturan kekayaan miliarder, kontrol utang perusahaan properti, dan diskon besar-besaran dari Evergrande. Kebangkrutan diprediksi membuat perlambatan ekonomi China karena sektor properti menyumbang 29% dari PDB China.
Gejolak stagflasi yang mengancam China turut mengancam perekonomian dunia karena perekonomian China terbesar ke-2 di dunia. Â Tidak terkecuali pada Indonesia, karena Indonesia dan China memiliki hubungan dagang yang sangat erat.Â
Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI, mengatakan bahwa setiap penurunan pertumbuhan ekonomi China sebesar 1% berdampak ke Indonesia sebesar 0,3% hingga 0,6%. Lantas, apakah stagflasi ini menyulitkan perekonomian industri dalam negeri?
Berdasarkan data terakhir malah surplus di kuartal III karena harga komoditas kita yang luar biasa, setelah 5-10 tahun terakhir ini belum pernah mengalami surplus dengan China.Â
Hal itu karena China mengimpor banyak batubara, di saat yang sama harga komoditas impor juga relatif baik, seperti karet, CPO, mineral tembaga dan nikel, terakhir di september sebesar 4,3 miliar USD. Ini akan mendorong surplus selama satu dekade terakhir dan surplus ekspor sekitar 203 miliar USD, selama satu dekade terakhir juga semenjak 2001.Â
David Sumual, Kepala Ekonom BCA, memproyeksikan neraca dagang akan surplus lebih dari 30 miliar USD pada tahun 2021. Walaupun belum ke arah supercycle ---kenaikan harga komoditas dalam waktu yang panjang--- tetapi, dalam jangka pendek, Indonesia merasakan  kenaikan ekspor sebesar 66% dikontribusi akibat kenaikan ekspor ke China dan kenaikan harga komoditas.
KESIMPULAN
Inflasi yang terjadi di China telah mengakibatkan negara tirai bambu mengalami stagflasi. Stagflasi terjadi karena pertumbuhan ekonomi yang terus menurun, tetapi sebaliknya pengangguran semakin meningkat.Â
Stagflasi mengakibatkan China mengalami kemerosotan PDB. Pertumbuhan ekonomi hanya mampu tumbuh 4,9% pada kuartal III 2021, jauh jika dibandingkan dengan kuartal I yang tumbuh sebesar 18,3%.
Stagflasi yang terjadi pada china telah banyak membawa dampak negatif, seperti kontraksi pada perusahaan-perusahaan besar, perlambatan sektor real estate, dan susahnya memenuhi pasokan kebutuhan.Â
Gejolak stagflasi yang mengancam China turut mengancam perekonomian Indonesia karena hubungan dagang yang sangat erat. Di mana setiap penurunan pertumbuhan ekonomi China sebesar 1% berdampak ke Indonesia sebesar 0,3% hingga 0,6%.
Indonesia harus tetap waspada karena stagflasi China masih terus terjadi, dan akan mempengaruhi negara-negara lain sebagai mitra dagang. Walaupun penurunan pertumbuhan China berdampak negatif pada perekonomian Indonesia. Menurut penulis, stagflasi ini akan sangat berdampak pada harga komoditas di Indonesia.Â
Kenaikan harga komoditas di China dapat dimanfaatkan Indonesia untuk memaksimalkan jumlah ekspor dan dapat mendorong surplus ekspor Indonesia ke China.
DAFTAR PUSTAKAÂ
Bi.go.id. (2021). Inflasi. [online] Available at: www.bi.go.id[Accessed 23 Nov. 2021].
PT INDO PREMIER SECURITIES (2021). Risiko Stagflasi China Risiko. [online] IPOTNEWS. Available at: www.indopremier.com [Accessed 30 Nov. 2021].
Sri Sayekti (2020). Mewaspadai Ancaman Stagflasi. [online] kontan.co.id. Available at:analisis.kontan.co.id [Accessed 23 Nov. 2021].
Thea Fathanah Arbar (2021). Makin Ngeri! "Hantu" Stagflasi Bergentayangan di China. [online] CNBC Indonesia. Available at: www.cnbcindonesia.com [Accessed 23 Nov. 2021].
Yesidora, A. (2021). Mengenal Stagflasi, Fenomena Ekonomi yang Membayangi AS dan Tiongkok. [online] Katadata.co.id. Available at: katadata.co.id [Accessed 23 Nov. 2021].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H