Perbincangan tentang rokok, kretek dan tembakau sering menuai perdebatan dan masih terus menjadi kontroversi. Perdebatan yang paling mutakhir adalah tentang masuknya rokok kretek tradisional sebagai salah satu bagian dari warisan budaya dalam draf Rancangan Undang Undang Kebudayaan yang dikabarkan sejumlah media massa tengah dibahas Badan Legislasi DPR.
Dalam pasal 37 di RUU Kebudayaan, kretek tradisional disebut sebagai sejarah dan warisan budaya yang membutuhkan penghargaan, pengakuan, dan/atau perlindungan. Penjelasan lebih lengkapnya dijabarkan pasal 49.
Namun, tak semua anggota Badan Legislasi DPR mengetahui tentang masuknya pasal soal kretek sebagai warisan budaya dalam draf RUU Kebudayaan tersebut. Tifatul Sembiring, anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PKS, seperti dikutip dari BBC Indonesia menyebut, masuknya pasal soal kretek dalam RUU Kebudayaan sebagai hal yang “mengada-ada”.
“Masyarakat juga belum banyak yang sadar ya, mendengar bahwa ini (kretek) dimasukkan. Anggota dewan saja banyak yang tidak tahu kalau tidak terlibat dalam pembicaraan atau pembahasan,” katanya.
Menurutnya, setiap orang berhak memberi usulan pada produk legislasi yang tengah dibahas. “Tapi apakah itu dapat lolos, belum tentu. Kan semua fraksi belum membahasnya. Masuk saja di RUU Tembakau deh, tidak usah di RUU Kebudayaan, apa hubungannya budaya dengan kretek. Ada-ada saja,” ujar Tifatul lagi.
Penolakan Keras
Hal yang akan menjadi konsekuensi logis jika artikel tersebut tetap masuk saat RUU Kebudayaan disahkan adalah pemerintah harus mensosialisasikan serta mempromosikan kretek tradisional. Dan langkah itu menurut Penasehat Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau, Kartono Muhammad sama saja dengan menyuruh anak-anak untuk merokok.
“Kalau kita ikuti bunyinya draft undang undang itu, nanti kretek itu akan difestivalkan dan setiap daerah harus melakukan sosialisasi, maka anak anak disuruh mencoba merokok,”ujar Penasehat Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau, Kartono Muhammad, Senin (28/9) pagi seperti dikutip dari RRI.
Kartono Mohamad menganggap masuknya ayat soal kretek dalam RUU Kebudayaan sebagai sesuatu yang aneh. Menurutnya, kretek memang khas Indonesia, namun budaya itu hanya terbatas di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dia mempertanyakan alasan kretek menjadi bagian dari warisan budaya, karena di Indonesia ada kebiasaan mengonsumsi atau makan sirih yang sudah lama atau tuak yang lebih banyak ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia, tapi tidak masuk dalam draf RUU ini.
“Kalau ada pihak yang mengatakan kretek warisan budaya sudah seumur manusia tidak betul juga. Kenapa tidak menjadikan makan sirih dan makan tuak yang sudah menjadi tradisi seluruh wilayah Indonesia sebagai warisan budaya? Ini terlalu dipaksakan,” ujar Kartono Muhammad.
Lain lagi dengan penolakan dari sastrawan Taufiq Ismail, yang menyebut rokok kretek bukanlah warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi Undang-undang dan dipromosikan.