Mohon tunggu...
Yudo Adi
Yudo Adi Mohon Tunggu... -

Diluar sangkar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hana Risa Suba I

19 September 2011   23:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:48 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu, 07 September tahun 11, hari terakhir pendaftaran kelas pelatihan yang dibuka untuk beberapa mata kuliah di perguruan tinggi swasta berrnama Universitas of Suba disingkat US di kota Suba. Terlihat Raito dan Olan berjalan beriringan di serambi kampus, melewati selasar beratap yang menghubungkan serambi dengan berbagai bangunan di belakangnya yang terpisah halaman rumput.

"Fakultas bahasa, jurusan sastra indonesia, kau bercanda Rit?"

Tanya Olan yang berhenti berjalan di hall yang menyatukan keempat lorong untuk melihat tulisan dari spanduk besar di atas dinding salah satu jalan selasar.

"Diam sajalah kau."

Balas Raito tanpa melihat sohibnya itu. Langkah kaki Raito dipercepat ketika melewati salah satu selasar itu yang membuat Olan tertinggal. Tak ada suara lagi setelah jawaban ketus dari Raito.

Mereka sampai juga di loket, Olan mengantri untuk mengurus pendaftaran Raito. Sekalipun Olan ragu akan keseriusan keputusan sohibnya itu, Ia tetap membantunya.

"Wow, cewek cantik Lan!"

Seketika Raito bersemangat dan menepuk bahu Olan setelah melihat sekeliling ruang tunggu dibelakang antrian loket. Tak ada reaksi ataupun jawaban dari Olan yang masih disibukkan dengan menata berkas sohibnya itu di depan loket.

Raito mendekati gadis itu. Gadis yang sedang duduk sendirian yang tangan kanannya menyibakkan rambut panjangnya yang tergeletak di depan dada untuk kembali ke punggungnya sedang tangan kirinya masuk ke tas jinjingnya. Raito duduk di sampingnya menyapa sambil menyodorkan tangannya,

"Hai, boleh kenalan? Anak sastra kan?"

Gadis ini menoleh, memandangi wajah Raito, tersenyum, lalu berdiri dan berjalan pergi menjauh tanpa meninggalkan sepatah katapun.

Olan beserta beberapa orang disekitar ruang tunggu yang melihat kejadian itu tampak menahan tawa dan berbisik-bisik. Selesai memasukkan berkas, Olan mendekati sohibnya yang duduk terdiam.

"Cantik juga pilihanmu, tenang saja kawan, siapa tahu kau sekelas dan bisa berkenalan disana ."

"Sudah, tak usah dibahas!! Bagaimana, sudah selesai registrasinya Lan?"

Potong Raito ketus.

”Sudah!!”

Jawab Olan tak kalah keras.

"Terima kasih ya, yuk pulang."

Kata Raito pelan lalu berdiri dan menepuk bahu sohibnya itu.

Olan mengiyakan ajakan pulang sohibnya itu dengan perasaan menahan emosi karena perubahan sikapnya yang drastis dan mengikuti langkah Raito yang menuju ke tempat parkir. Walau begitu, ada sedikit perasaan senang di hati Olan mengingat kejadian yang membuat kawannya itu terlihat antusias untuk beberapa saat . Olan tersenyum sendiri ketika berjalan dibelakang Raito yang berjalan cepat saat itu. Dalam hati Olan,

'Sudah lama sekali sejak aku terakhir melihat dia seantusias tadi.'

Sampai di depan Avanza hitam milik Olan. Olan menyetir sementara Raito di sampingnya. Mereka sampai di rumah Olan yang berjarak sekitar sepuluh kilometer dari US, Raito langsung masuk ke kamar sedang Olan berlari ke dapur mencari makanan dimana disana juga ada Ibu Olan.

“Tit tiiit tit tiiit,”

Dering sms dari hp milik Olan berbunyi,

“Jilid I tembus 2000 copy, Alhamdulillah.”

Olan bersama Ibunya melakukan sujud syukur atas hal itu di tempat mereka berdiri. Ketika Raito keluar dari kamar dan turun dengan kaos oblong, dia diberi tahu kabar gembira itu oleh Olan yang berlari menuju arah Raito yang baru sampai di ruang keluarga.. Tak ada perubahan di wajah Raito, dia terlihat biasa menanggapi berita itu. Dia bertanya kepada Olan.

“Kamu menggunakan nama alias kan di identitas penulis bukuku itu?”

“Iya.” Jawab Olan.

“Bagus.” Raito menimpali.

” Dari dulu aku masih tak mengerti alasanmu kenapa kau bersikeras menyembunyikan identitasmu?” Tanya Olan lagi.

“Kau sudah tahu alasannya tiga tahun yang lalu.” Jawab Raito yang kembali ke kamarnya di lantai atas.

Tangis haru membuncah di mata Ibu Olan yang mendengar perkataan Raito itu lalu menutup mulut dan hidungnya dengan kedua tangannya dari arah dapur. Olan mencoba menenangkan ibunya.

“Hu hu hu hu.”

“Tenanglah Bu, sudah, sudah, tak usah mengungkit masa lalu.” Olan mencoba menenangkan Ibunya.

“Hu hu hu hu”

“Tak ada gunanya menyesali Bu, semua sudah terjadi.”

Tangis Ibu Olan akhirnya mereda setelah Olan menenangkannya cukup lama dengan memeluknya.

Sore itu, sekitar pukul 15.00, sementara Ibu Olan kembali sibuk di dapur, Olan bersiap-siap untuk shooting karena mendapat peran figuran di adegan yang bersetting malam hari.

Tiga puluh menit kemudian, Olan sampai di lokasi shooting yang berjarak sekitar dua puluh lima kilometer mengendarai avanza hitamnya lagi.

Olan langsung bersiap-siap shooting setelah itu. Ketika shooting, pandangan Olan tak lepas ke arah pojok taman tempat shooting dimana tak biasa muncul sesosok penampakan yang membuatnya lupa isi naskah sehingga adegan diulang berkali-kali.

“Kamu serius nggak ikutan ini, cuma adegan kamu yang mengulang-ulang ini, kapan selesainya!!”

Sang sutradara membentak Olan.

“ Maaf pak maaf, Aku serius ini sekarang.”

Pengambilan scene untuk adegan yang melibatkan Olan akhirnya selesai juga. Pukul 22.00 lewat, Olan teringat akan penampakan di pojok tadi dan sudah tak menemukannya disana. Dalam pencariannya, dia dikagetkan oleh kawan mainnya, Ersa namanya.

”Hayo, nyari siapa di pojokan ini?” Tanya Ersa sembari menepuk pundak Olan dari belakang.

“Ah, eh, ehm... nggak mencari siapa-siapa Er.” Jawab Olan yang kemudian membalikkan badannya.

“Tadi sewaktu shooting kenapa matanya ke arah sini terus?” Tanya Ersa dengan nada yang menggoda Olan.

Muka Olan memerah ditambah gerakan salah tingkah membuatnya seperti anak hilang.

“Kalau mau kenalan sama makhluk yang tadi, bilang saja, kukenalin Lan.” Lanjut Ersa.

“Ah, yang benar Er, eh, jadi dia kenalanmu?” Seakan tak percaya dengan omongan Ersa.

Ersa hanya tersenyum kemudian memanggil seseorang.

Datanglah penampakan tadi berjalan keluar dari persembunyiannya dibawah tangga dan muncul di depan mukanya si Olan dan Ersa.

“Ini adikku, kenalkan itu Olan.”

“Olan”

“Risa”

Sembari berjabat tangan.

Olan mengernyitkan dahi ketika memandangi Risa.

”Sepertinya aku pernah lihat kamu.” Kata Olan dengan mambayangkan sesuatu.

“Lihat dimana kak?” Tanya Risa.

“Apa kamu tadi pagi juga ke kampus US, pakai baju kuning dan tas merah?” Tanya Olan.

“Kok tahu kak Lan, memang kakak disana juga?” Dengan sedikit terkejut Risa bertanya lagi.

Olan tersenyum simpul.

Ersa yang merasa tak diperhatikan tiba-tiba nyeletuk,

“Kalau sudah nanti kembalikan ke aku di pohon mangga parkiran Lan, aku kesana dulu.”

Ersa berlalu menuju parkiran sambil mengetuk bahu Olan.

“Iih, Kak Ersa mau kemana? Masa aku sendirian disini?” Risa menimpali dengan nada tak rela.

“Kan ada Olan?” Jawab Ersa.

“Ehmmmm....”Risa cemberut ditinggal kakaknya berlalu.

Olan mengajak berbicara Risa, namun Risa sepertinya sedang malas berbicara dengannya tanpa kehadiran kakaknya. Walau begitu, dari obrolan yang berat sebelah itu membuat Olan berhasil mendapatkan nomor handphone Risa.

Ketika berjalan menuju ke tempat parkiran yang berjarak seratus meter dimana Ersa sudah disana dahulu pun Risa tak menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan Olan. Karena itu, Olan tak berani melanjutkan obrolan. Dia hanya memandangi makhluk disampingnya ini dari tubuhnya yang tinggi kurus itu dan bergumam.'Subhanallah, benar-benar sempurna ciptaanmu ini.' Sambil sesekali melirik Risa. Mereka berdua sampai juga di pohon mangga parkiran, tempat dimana Ersa memarkir Innova peraknya.

Ersa berlari kecil menuju tempat kakaknya duduk dan berdiri didepannya.

“Cepet amat Lan, wow, masih rapi pula, sewanya satu juta Lan lima belas menit.”

Kata Ersa bercanda.

“Kak Ersa apa-apaan, memang aku ini apa, pakai acara sewa-sewa segala!!”

Sewot Risa. Ersa tertawa terbahak-bahak.

Olan hanya geleng-geleng kepala kemudian membuka pintu mobilnya yang berjarak sepuluh meter dari tempat Ersa memarkir mobilnya sembari pamit kepada Ersa dan Risa dengan melambaikan tangannya.

Ersa dan Olan kenal sudah cukup lama, semenjak Olan awal masuk ke dunia entertainment sekitar tujuh tahun lalu sehingga gurauan seperti itu pun dilalui tanpa ada masalah berarti. Sedang Risa masih cemberut dengan kakaknya yang sengaja mempermainkan dirinya,

“Aku sudah besar kak, jangan anggap aku anak kecil lagi ah.”

“Ya ya adikku tersayang, begitu saja sewot, lihat itu, Olan saja santai begitu tanggapannya.”

Kata Ersa memuji Olan. Ersa lalu menonjolkan sisi baik Olan ke Risa dimana Olan itu menurut dia mempunyai wajah tampan, tubuhnya tinggi berukuran 180cm, kurus, putih, giginya rapi, berbibir tipis, bermata kalem, alisnya tipis pula.

Risa tak sependapat dengan kakaknya soal kriteria yang sekarang jadi idaman banyak wanita itu. Walau itu semua sudah ada di dalam diri Olan. Risa punya seleranya sendiri. Risa juga menyalahkan kakaknya yang over protektif sehingga Risa sampai sekarang masih sendiri. Risa pun mengingatkan kakaknya tentang kejadian masa lalu dimana dulu ketika Risa masih SMA, Ersa menghajar preman-preman tetangga yang menggoda Risa sampai babak belur yang ketika itu dilihat orang banyak. Ketika si Tanto teman SMA Risa mendekatinya juga dihajar kakaknya sampai beberapa tulang rusuknya retak kala itu. Reputasi Ersa yang menjadi ratu preman juga tersebar luas di kampus yang menyebabkan tak hanya Ersa dan anak buahnya yang ditakuti, tetapi juga Risa sehingga tak ada lagi pria yang berani mendekati Risa.

Walau begitu, Ersa tetap tak percaya wanita secantik adiknya tak ada yang suka.

Tiba-tiba pipi Risa memerah, Risa terdiam dan melihat jam tangannya. Seakan teringat akan waktu yang sudah larut, Risa mengajak kakaknya untuk segera pulang.

Ersa mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan 100km/h pada pukul 23.00 yang sepi. Beruntung mereka tidak melewati jalur alternatif yang terkenal banyak pemalak, walaupun banyak pemalak, hal itu sudah biasa diatasi oleh Ersa.

Pulang sampai di depan rumah hampir 23.30 Beruntung ayahnya sudah tertidur, sementara Ibunya yang masih terjaga membukakan pintu. Terlihat oleh Ersa dan Risa kalau mama mereka sedang video chat dengan saudaranya di Korea sana. Notebook Ibu yang ada di ruang depan memperlihatkannya.

“Sudah, bersih-bersih lalu tidur sana. Jangan bangunkan ayah. Mama lagi asyik bersama paman kalian.”

“Ok ma.”

Serentak mereka berdua menjawab.

Ersa, berumur 24 tahun, tinggi 170cm, berat 50kg, berkulit putih,bibir tipis dan berhidung sedikit pesek, berwajah oriental yang menunjukkan wajah Indonesia asli, dipadu dengan rambut lurus tipis dimodel bob, mengawali karir di bidang modelling dan fashion semenjak masuk SMA, terlihat anggun karena pandai merawat diri, terlihat keras dan tomboy dari gaya bicaranya, Lulus karate sabuk hitam ketika SMA.

Berbeda jauh dengan adiknya, Risa, umur 20 tahun, tinggi 160, berat 46kg, berkulit kuning, berwajah seperti gadis dari asia timur, bibir tipis dan berhidung mancung, Berambut tebal hitam, bersinar dan dibiarkan terurai indah, sedang menjalani perkuliahan di jurusan sastra Indonesia di US. Hobi menulis semenjak SMP, beberapa karyanya pernah dimuat di koran lokal ataupun nasional bertajuk cerita pendek ataupun puisi. Terlihat lembut dengan mata sayunya, polos dari cara berpakaian dan berbicara.

Kedua wanita yang lahir buah dari pernikahan Bapak Jawa dan Ibu Korea ini hidup lebih dari sekedar berkecukupan. Tak banyak masalah yang menghiasi keluarga bahagia ini kecuali ketika Ersa memutuskan untuk melanjutkan karir di bidang modeling, fashion, ditambah seni peran selepas SMA dan tak melanjutkan ke Perguruan Tinggi sekitar tujuh tahun lalu yang membuat ayahnya naik pitam akan pilihan hidup gadis sulungnya itu.

Apa mau dikata, bahkan, saat itu Ersa kabur meninggalkan rumah untuk menginap di rumah temannya selama seminggu. Selama di persembunyian, Ersa menolak semua panggilan dari ayahnya, dia hanya menerima panggilan dari adik atau ibunya saja. Ketegangan sedikit mereda setelah ayahnya meminta pada Risa adiknya untuk menyuruh pulang kakaknya,

Risa menelpon kakaknya untuk pulang, Ersa pun menyanggupi permintaan adiknya itu.

Tak berapa lama Ersa muncul didepan rumah di luar pagar, sambutan hangat dari Adik dan Ibunya sembari memeluknya dan membukakan pagar. Hanya ada tatapan tajam dari Ayahnya yang melihat dari jauh di teras. Ersa mendekati Ayahnya, menyalami dan mencium tangannya.

Ersa mengikuti langkah ayahnya menuju ruang keluarga, mereka duduk bersebelahan, sedang Ibu mempersiapkan masakan di dapur dan Risa menemani Ersa duduk di sampingnya.

Ayahnya memulai percakapan dengan suara tegas.

“Sebenarnya apa yang kau inginkan untuk hidup ini, mengapa tak mau melanjutkan ke perguruan tinggi?”

Ayahnya tahu kalau hidup dari dunia seni itu itu musiman. Masa depannya tak jelas jika tak ada yang mengontrak dan meminta Ersa untuk memikirkan kegiatan yang secara finansial lebih aman, yang kelanjutannya terjamin. Seperti melanjutkan ke bangku kuliah.

“Tak ada jaminan kalau kita masih hidup esok hari Pa, mengapa takut akan hal-hal yang belum tentu terjadi, dan menganggap kita bisa hidup selamanya?” Ersa menjawab seperti seorang filsuf ahli pertanyaan ayahnya itu.

“Kau tahu kan setiap kamu melangkah, nama baik keluarga dan nenek moyangmu itu dipertaruhkan?”

Balas ayahnya yang juga mengingatkan Ersa agar tidak mempermalukan keluarga karena dirinya merasa masih mampu membiayainya naik ke jenjang yang lebih tinggi.

“Jika kita hanya merunutkan gengsi, mempertahankan apa yang sudah kita dapat, Kita lupa bagaimana menjadi orang serendah-rendahnya orang Pa!”

Balas Ersa tak mau kalah dengan ayahnya itu.

Ayahnya mengingatkan Ersa yang sudah mempunyai reputasi memprihatinkan diluar, dengan preman pasar yang dihajar, teman adiknya yang diretakkan rusuknya, beruntung kala itu orang tuanya tak menuntut Ersa ke pengadilan atas tindak pidana kekerasan, dia kabur dari rumah, dia menjadi artis dengan dandanan yang mempertontonkan aurat. Apalagi dia menjadi bos alias ratu para preman itu sekarang.

Walau begitu, Ersa tetap pada pendiriannya dan merasa pantas memperlakukan para preman seperti itu karena waktu itu hampir memperkosa adiknya, si Risa. Ketika teman Risa si Tanto menggoda adik dengan membelai rambutnya, Ersa merasa hanya menendang dia dari belakang pelan, eh, Tanto terjatuh dengan dada didepan membentur sisi tajam pembatas jalan. Ersa malah menyalahkan Tanto yang menjadi cowok sebegitu lemahnya. Terkait aurat yang sering dipertontonkan Ersa, Ersa merasa melakukan pekerjaan itu atas dasar profesionalisme. Dan profesionalisme itu diajarkan juga oleh ayahnya sewaktu smp. Masalah Ersa yang menjadi ratu preman sekarang, Dia merasa seharusnya ayahnya bangga Ersa bisa memimpin orang-orang yang siap main kasar itu.

“Kamu”

Ayahnya bersiap-siap menampar Ersa.

Ersa menghindari tamparan itu. Lalu dia melanjutkan penjelasan panjangnya yang dia menghormati ayahnya, dia juga tahu diri kalau jasa papa dan mamanya tak akan hilang oleh waktu, hanya, dia ingin menjalani kehidupan ini sesuai dengan kesenangan dia. Selama Ersa masih belum terikat oleh janji pernikahan, Ersa hanya ingin menikmati apa yang bisa dia lakukan, karena Ersa merasa tak sebebas merpati lagi setelah itu.

”Sup hangat sudah siap, merayakan kembalinya si sulung, mari kita makan sama-sama.”

Ujar ibunya menghampiri mereka.

Suasana sedikit mereda setelah kedatangan sup itu. Mereka makan bersama-sama.

Setelah makan. Ayahnya menasehati kedua putrinya dengan membolehkan mereka mengerjakan yang mereka suka, tetapi dia juga mengingatkan kalau yang mereka hadapi setelah ini bukan Ayah mereka seorang, tetapi dunia yang lebih kejam dari kelihatannya. Ayah Ersa dan Risa hanya bisa berharap mereka tak terlena atau bahkan tertipu karena dia tak bisa selamanya mengawasi mereka.

“Memang Papa bisa apa, Aku lulus sabuk hitam lho pa!” Jawab Ersa terlalu percaya diri.

“Dasar kau!” Ayah Ersa tahu kalau keterampilan bela dirinya kalah dibanding Ersa yang lulus sabuk hitam tetapi tetap mengingatkan kalau diluar sana ayah Ersa merasa masih banyak yang lebih hebat dari Ersa, kata pepatah, diatas langit masih ada langit.

“Bagaimana kalau mereka kuhajar Pa? Puas belum??”

“Eh, e e ya jangan dihajar semua nak, populasi cowok semakin sedikit nanti malah makin memprihatinkan bagaimana? Lagipula kamu juga belum benar-benar tahu kan cowok yang benar-benar cowok itu seperti apa?”

“Seperti apa Pa?”

Papa Ersa seraya membusungkan dada dan menepuk-nepuk dadanya sendiri. Hal itu disambut tawa oleh lainnya. Suasana keluarga menjadi cair setelah itu, gurauan-gurauan mewarnai dan keluarga itu mencapai ketentramannya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun