Mohon tunggu...
Rony Tamat
Rony Tamat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Peziarahan Manusia Mencari Kebahagiaan Sejati

17 April 2021   12:35 Diperbarui: 17 April 2021   13:31 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Dialog Filsafat Teologi (DFT) berasal dari kegelisahan, kerinduan, dan kecemasan manusia yang menggali kedalaman relasi dengan Tuhannya (Armada Riyanto, DFT Beriman Dialogal, Paper unpublished). Kerinduan, kecemasan, dan kegelisahan inilah yang turut memaksa manusia untuk ‘keluar dari dirinya atau badannya’. Dari proses keluar ini, dapat dikatakan bahwa manusia melakukan peziarahan hidup. Peziarahan manusia mau menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang mencari. Ia mencari dalam peziarahannya. Mencari tujuan utama kehidupannya sendiri.

            Manusia melakukan peziarahan mencari itu  karena ada kerinduan dalam dirinya untuk mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya. Manusia selalu dihadapkan pada suatu pertanyaan besar yang senantiasa mengusik manusia. Pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu membuat manusia senantiasa merenung. Serta mendorong manusia untuk bergerak. Sehingga manusia dalam pencariannya atau dalam peziarahannya selalu menyempatkan diri untuk sedikit menengok dan merefleksikan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sebab dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut, terkandung jawaban dari apa yang dicari atau yang dirindukan oleh manusia.  Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah ‘Apakah tujuan utama hidupku?’ dan ‘Bagaimana Aku bisa mencapai tujuan utama itu?’.

            Pertanyaan-pertanyaan tersebut membantu manusia dalam proses pencariaannya. Ia diarahkan kepada hal utama yang dicari. Sehingga manusia tidak dengan serta-merta mencari tujuan hidupnya denganasal-asalan saja. Dalam karya tulis ini, saya akan membahas tentang peziarahan manusia sebagai proses mencari kebahagiaan dan juga cara-cara untuk mencapai tujuan utama pencarian manusia.

  • Peziarahan Sebagai Proses Mencari

 

            Manusia adalah makhluk peziarah. Ini berarti bahwa manusia itu dalam hidupnya mencari sesuatu. Contoh konkret dari manusia mencari adalah aspek kebutuhan manusia. Pada dasarnya kebutuhan manusia itu tidak terbatas. Karena itu, manusia selalu mencari apa yang ia butuhkan dalam hidup.

            Sebagai makhluk yang selalu mencari, tentu manusia memiliki prioritas pencariannya. Prioritas itu merupakan tujuan utama dari pencarian manusia. Mencari itu merupakan proses menemukan, yang adalah kerinduan terbesar bagi setiap individu. Proses mencari manusia bukan sekedar mencari. Bukan hanya mencari asal-asalan saja. Melainkan mencari hal yang berbobot, bernilai, dan berguna bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri.

            Lantas, apa yang menjadi prioritas tujuan peziarahan manusia?

Manusia adalah Manusia yang ingin selalu mengejar kesempurnaannya. Ia bukan entitas yang tetap sepanjang masa. Ia hidup; dan hidup itu berziarah; dan ziarah itu berjalan, berlari mengejar kesempurnaannya.

            Sudah jelas bahwa tujuan dari ziarah hidup manusia yaitu mencapai kesempurnaan hidup. Karena tujuan utama ziarah manusia adalah kesempurnaan, maka manusia senantiasa bergerak dan secara pasti berjalan menuju makna dari pencariannya tersebut. Ia bergerak karena manusia bukanlah entitas yang tetap. Ia tidak berdiam diri saja ketika ia telah mengetahui secara pasti apa yang menjadi tujuan peziarahan hidupnya. Setelah ia tahu, tentu ia akan berusaha untuk mendapatkan kerinduannya tersebut.

Aristoteles

            Kebahagiaan merupakan tujuan terakhir manusia, karena di satu pihak, apabila sudah bahagia, manusia tidak memerlukan apa-apa lagi. Di lain pihak, tidak masuk akal jika orang masih mencari sesuatu yang lain jika ia sudah bahagia. Kebahagiaan itulah yang baik dan bernilai pada dirinya sendiri. Dari pengertian ini, Aristoteles hendak menyampaikan bahwa kebahagiaan itu merupakan hal puncak dari seluruh pencarian manusia, di dalam peziarahannya. Manusia tidak memerlukan apa-apa lagi ketika ia sudah bahagia.

Sokrates

            Kebahagiaan merupakan ‘jiwa yang baik’, yang membuat diri manusia secara menyeluruh tumbuh dan berkembang, serta menjadi sebaik mungkin. Definisi Sokrates ini mau menunjukkan bahwa kebahagiaan merupakan cermin dari jiwa yang baik.

c. Thomas Aquinas

            Kebahagiaan merupakan pencapaian Kebaikan Tertinggi. Secara jelas bahwa pemikiran Thomas Aquinas di sini lebih menekankan pada aspek religiusitas. Dan pemikiran Thomas Aquinas di sini lebih bernafaskan pada teologi Kristen. Jadi, Kebaikan Tertinggi menurut Thomas Aquinas adalah Allah.

            Jadi, singkat kata kebahagiaan merupakan keadaan di mana segala macam pencarian, permenungan, dan kebutuhan manusia itu tercapai dengan baik. Keadaan yang bebas yang menuntut manusia tumbuh dan berkembang secara menyeluruh pada dirinya sendiri. Itulah sebabnya manusia selalu merindukan atau mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya.

 Mencapai Kebahagiaan

            Ketika bahagia menjadi tujuan hidup manusia dan juga menjadi kerinduan manusia, maka manusia dituntut untuk mencapai kebahagiaan itu. Lalu, bagaimana cara mencapai kebahagiaan itu? Ini merupakan pertanyaan besar bagi manusia dalam mencapai kebahagiaannya. Sebab, bahagia tidak hanya sebatas pada konsep saja. kebahagiaan harus dicapai dengan tindakan.

            Sebagaimana manusia adalah makhluk sosial, tentu ia tidak hidup sendirian. Ia membutuhkan orang lain atau Liyan dalam kehidupannya. Jadi, manusia bukan saja semata-mata makhluk individual melainkan juga makhluk sosial. Menurut Plato manusia dalam kodratnya adalah makhluk sosial yang hidup dalam Negara (polis).

            Plato mengajarkan bahwa:

Manusia hendaknya mencapai hidup yang baik (eudaimonia) atau kebahagiaan. Namun, hidup yang baik tidak mungkin kecuali dalam polis. Kalau hanya sendiri, niscaya kebahagiaan tidak akan dicapainya.

            Secara tersirat Plato hendak menyampaikan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, manusia memerlukan kehadiran orang lain. Hal ini terbukti, sebab manusia hidup dengan sesama dalam lingkungan hidupnya.

            Selain membutuhkan orang lain, berkat kodrat manusia sebagai animale rationale, kebahagiaan juga tercapai berkat akal budi. Lebih jauh Plato menarik manusia untuk kembali pada ‘kerajaan ide’ Plato. Manusia sebagai animale rationale hendaknya juga mengandalkan akal budi. Akal budi memegang peranan penting bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan. Menurut Plato, kebahagiaan juga dapat dicapai kalau jiwa manusia semakin dikuasai oleh akal budi. Akal budi berfungsi untuk mengatur dan mengarahkan manusia pada ide ‘yang baik’.

            Menurut Aristoteles untuk mencapai kebahagiaan perlu adanya tindakan konkret. Aristoteles mengkritik gurunya yang hanya mengandalkan pengetahuan dalam mencapai kebahagiaan. Tentu pula, tindakan yang dimaksudkan oleh Aristoteles bukanlah tindakan sembarang. Melainkan tindakan yang mencerminkan akal budi.

            Lebih jauh Aristoteles mengatakan, bahwa: Kebahagiaan diperoleh lewat kebajikan dan semacam pembelajaran atau latihan, karena nilai dan tujuan kemuliaan dan kebajikan adalah hal yang terbaik dari semua-nya dan merupakan sesuatu yang agung dan berkah.

            Secara jelas Aristoteles menyampaikan, bagaimana memperoleh kebahagiaan itu. Memperoleh kebahagiaan tidak melulu hanya dengan berpikir saja. Tetapi, lebih jauh untuk memperoleh kebahagiaan perlu adanya pembelajaran atau latihan. Tentu pembelajaran atau latihan ini merupakan sebuah tindakan konkret manusia. Tindakan yang menegaskan bahwa diri manusia bukanlah diri yang menetap. Manusia merupakan makhluk yang bergerak, menuju pada kesempurnaan hidup.

            Menurut Thomas Aquinas, ada empat hal yang dibutuhkan dalam mencapai kebahagiaan. Ada pun empat hal yang dibutuhkan itu, yakni kasih, keinginan yang terarah pada tujuan dan segala tindakan dari keinginan itu, ada forma yang diterima oleh intelek, dan terakhir perasaan yang dirasakan dari proses pencarian manusia. Namun, secara lebih terperinci Thomas Aquinas membeberkan hal-hal lain yang dibutuhkan dalam mencapai kebahagiaan, selain empat hal di atas.

            Ada pun empat hal lain itu, yakni sukacita dan kegembiraan, ketulusan kehendak atau kejujuran, tubuh rohaniah dan jiwa, serta kesempurnaan dalam arti kebaikan tubuh. Thomas Aquinas menilai bahwa tanpa keempat unsur ini, mustahil manusia mencapai kebahagiaan sejati atau mencapai Kebaikan Tertinggi.

2. Manusia Hidup Dalam Kebahagiaan

2.1. Membagi Kebahagiaan Kepada Sesama

            Ketika manusia telah mencapai tujuan utama hidupnya, ia akan menjadi manusia yang bebas. Ia tidak terikat lagi pada hal yang sementara saja. Oleh karena itu, ketika manusia telah mencapai kebahagiaan, manusia dituntut untuk membagi kebahagiaan hidupnya kepada sesama. Membagi di sini sebagai ungkapan hormat manusia kepada sesamanya. Hormat yang tinggi bagi yang membantunya mencapai kebahagiaan hidupnya. Bahagia itu bukan milik-ku, bukan pula sejauh yang bisa Aku nikmati atau melegakanku. Bahagia itu milik Liyan dan Aku yang dengannya larut dalam kebahagiaan dengannya.

            Pernyataan di atas secara jelas menegaskan bahwa kebahagiaan menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ketika aku mampu membahagiakan sesamaku (Liyan) tentu aku akan merasakan kebahagiaan itu. Tentu kebahagiaan yang aku dapatkan itu berlipat karena telah dirasakan oleh orang lain pula. Aku bahagia jika Engkau juga bahagia. Singkat kata, bahagia itu merupakan wujud hormatku kepada Liyan, sesamaku, dan siapa pun. Wujud terima kasihku kepada sesamaku.

2.2. Membagi Yang Utama

            Ketika manusia mampu membagikan kebahagiaan kepada sesamanya, apa yang mesti manusia bagikan atau berikan? Yang perlu diberikan, sebagaimana manusia adalah makhluk sosial adalah pemberiaan diri. Lantas, mengapa pemberian diri?

            Dalam kesehariannya manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia hidup dengan sesamanya dalam suatu lingkungan tempatnya tinggal. Begitu pun dalam proses manusia mencari kebahagiaan, Ia tidak berjalan sendirian dalam mencapai kebahagiaan itu. Masih ada orang yang peduli kepada sesamanya, apalagi hal ini berkaitan dengan mencari tujuan utama dari kehidupan. Karena itu, sebagai wujud hormat dan terima kasih manusia kepada sesamanya manusia perlu memberi dirinya. Sebab itu merupakan pemberian yang paling mulia.

            Pemberian diri itu merupakan balas jasa kita kepada sesama yang telah lebih dahulu memberikan dirinya kepada Aku. Niscaya aku tidak akan dapat mencapai kebahagiaan tanpa campur tangan orang lain. Ini merupakan wujud dari kehadiran manusia dalam membantu proses pencarian makna hidup dari sesamanya.

Memberi merupakan sebuah penyeberangan diri dari kepentingan sendiri kepada orang lain. Memberi memungkinkan aku sebagai manusia yang menjadi, atau semakin menjadi manusiawi. Memberi-diri identik dengan membagi diri (Armada Riyanto. Menjadi Mencintai, 2013: 110).

            Ketika bahagia manusia tidak perlu membutuhkan apa-apa lagi. Karena apa yang menjadi tujuan hidupnya telah tercapai. Maka, dengan tidak melakukan banyak perhitungan, manusia yang telah mencapai kebahagiaan itu semestinya memberi dirinya untuk membantu Liyan dalam peziarahannya mencapai kebahagiaan.

            Jika manusia telah mencapai kebahagiaan, manusia akan menjadi makhluk yang bebas. Tentu saja bebas yang tidak merugikan orang lain, merugikan siapa pun, atau pun merugikan apa pun. Melainkan bebas yang identik dengan tanggung jawab. Jika manusia bertanggungjawab ia telah turut memperbaiki sendi-sendi kehidupan yang semakin hari, semakin tergerus oleh rakus dan angkuhnya manusia.

2.3. Konsekuensi dari Manusia yang Bahagia

            Jika manusia telah mencapai kebahagiaannya, lalu apa konsekuensi dari pencapaiannya itu? Ada banyak hal yang didapatkan dari manusia yang bahagia itu. Ini terutama nian berkaitan erat dengan manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, tentu apa yang didapatkan atau dicapai oleh seseorang akan turut dirasakan oleh orang lain. Tentu hal ini terjadi jika, manusia mampu membuka dirinya terhadap Liyan, sesama, atau siapa saja.

            Manusia yang bahagia akan menjadi, pertama makhluk yang bebas. Sebagaimana kebahagiaan merupakan kepenuhan dari semua peziarahan manusia dalam mencari tujuan utama hidup. Itu berarti bahwa manusia telah memperoleh arti hidup yang sesungguhnya. Jika semuanya itu telah tercapai, maka manusia akan menjadi makhluk yang bebas. Dalam arti, manusia tidak lagi menjadi manusia yang cemas dan gelisah. Tidak lagi menjadi manusia yang dikungkung oleh kehidupannya sendiri. Ia menjadi manusia yang merdeka. Ia bebas mengekspresikan dirinya, sebagai kepenuhan eksistensinya.

            Kedua, menjadi manusia yang bertanggung jawab. Setelah mencapai kebahagiaan dan menjadi makhluk yang bebas, masih ada tugas lain yang harus diemban oleh manusia. Manusia tidak hanya bebas, tetapi bagaimana ia mampu mempertanggungjawabkan kebebasannya itu. Dalam arti bahwa, manusia tidak dengan serta-merta bebas melakukan apa saja yang diinginkannya. Hanya manusia pecundang yang melakukan kebebasan tanpa mempertanggungjawabkan kebebasannya itu.

            Ketiga, menjadi manusia yang adil. Manusia semestinya adil. Ketika manusia bahagia tentu ia menjadi pribadi yang bebas dan pribadi yang tanggungjawab terhadap kehidupannya dan terhadap orang lain. Namun, tidak sebatas itu saja. Manusia harus menjadi makhluk yang adil. Makhluk yang tidak pilih kasih. Ia harus memandang sesamanya sebagai Aku-nya yang lain. Dalam hal apakah manusia adil dan kepada siapakah ia harus adil?

Saya berpikir Adil itu milik hidup manusia, menjadi perkara tata hidup bersama yang memiliki fondasi nyata dalam hidup manusia sebagai manusia. Adil adalah natura dari kehadiran manusia dalam berelasi dengan sesamanya. Tetapi Adil sekaligus mencetuskan realitas yang kerap menjadi pertaruhan dalam hidup bersama (MM, 74).

            Secara jelas adil merupakan bukti dari kehadiran manusia dalam relasinya dengan sesama. Manusia bahagia harus adil dalam hidupnya. Ia tidak boleh semena-mena dalam melakukan segala tindakannya. Hendaknya ia bertindak sesuai dengan norma yang ada. Menjadi manusia bahagia berarti menjadi manusia yang adil. Adil terhadap sesamanya.  Karena manusia harus melihat sesama dalam kodratnya sebagai Aku yang lain. Aku yang membutuhkan bantuan.

            Adil terutama merupakan keutamaan yang tertuju kepada orang lain. Orang lain menjadi obyek keadilan. Mengapa? Karena aku dalam peziarahanku mencapai tujuan utama hidup, dibantu dan berjalan bersama yang lain. Jadi, orang lain juga mengalami seperti apa yang aku alami. Ia juga melakukan perjalanan untuk mencapai tujuan hidup.

            Keempat, menjadi manusia yang benar. Karena manusia telah mencapai kebahagiaan, manusia dituntut untuk menjadi yang benar. Lalu, jika manusia dituntut untuk benar, sebenarnya apa itu kebenaran? Wacana sehari-hari mengatakan, Benar berarti selaras dengan apa adanya, peristiwanya, realitasnya. Jika tidak sesuai dengan realitas, itu sebuah ketidak-benaran. Benar dan Ada adalah sama, identik.        

            Benar berarti manusia mengatakan apa yang terjadi sesuai dengan realitasnya sendiri. Benar menjadi omong kosong jika apa yang kita bagikan kepada sesama hanya berangkat dari ide-ide saja. Benar berangkat dari realitas atau fakta. Manusia yang bahagia untuk selalu bahagia hendaklah ia menjadi orang benar. Jika tidak, ia akan membohongi dirinya. Berbohong jika ia telah mencapai kebahagiaan.

            Kebenaran menggerakkan manusia yang bahagia. Ia membawa manusia untuk tidak sekedar menjadi penonton. Untuk tidak menjadi ‘penikmat’ yang sedang menikmati sandiwara dunia. Kebenaran mendorong manusia untuk senantiasa bergerak membantu Liyan, sesama, dan siapa pun. Manusia bahagia, jika ia mampu menjadi manusia yang benar. Menjadi manusia yang tulus dan bukan manusia yang munafik.

            Dalam tradisi Kristen Kebahagiaan akan terwujud jika manusia dalam mencapai peziarahannya mengenal Sang Kebenaran Tertinggi. Sebab hanya dengan mengenal Sang Kebenaran Tertinggi, smanusia dapat dengan mudah mencapai kebahagiaannya. Kebenaran membantu manusia untuk menemukan makna terdalam dari peziarahannya. Ia dibantu oleh Sang Kebenaran Tertinggi dalam mencapai kebahagiaan. Bahagia menjadi mutlak jika yang menjalankannya adalah makhluk yang benar. Makhluk yang senantiasa berbicara, bersaksi, dan berkata benar dalam hidupnya.

            Singkat kata, ketika manusia telah mencapai kebahagiaan, Ia mesti membagi atau memberikannya kepada sesama. Membagi itu haruslah tanpa perhitungan, tidak dengan sungut-sungut. Melainkan membagi dengan tanpa pamrih. Praktisnya ketika manusia bahagia, ia harus melakukan hal-hal utama lainnya. Hal utama yang lain itu adalah menjadi manusia yang bebas, manusia yang bertanggungjawab, adil, dan manusia yang benar. Hal-hal ini juga haruslah mengalir dalam seluruh segi atau norma-norma kehidupan manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun