Gojek, Grab, Airbnb. Apa yang membedakan mereka dengan perusahaan-perusahaan pada umumnya? Selain mengutamakan teknologi sebagai bagian dari core business mereka, mayoritas perusahaan-perusahaan ini tidak menggunakan aset pribadi mereka sebagai bagian dari jasa yang mereka tawarkan. Beberapa tahun belakangan ini, banyak negara mengalami bergesernya bentuk perekonomian, dari ekonomi konvensional menjadi "ekonomi berbagi".Â
Dalam bentuk ekonomi konvensional, sebuah perusahaan yang menyediakan jasa biasanya memiliki aset yang diperlukan untuk penyediaan jasa tersebut. Contoh, sebuah perusahaan taksi pastinya memiliki armada mobil sebagai aset. Lantas, ukuran modal yang signifikan diperlukan untuk investasi awal.Â
Modal sebesar ini tidak diperlukan dalam model ekonomi berbagi, karena perusahaan hanya perlu menyediakan platform yang menghubungkan individu pemilik aset dengan pengguna dari user end. Lantas, pemerolehan, penyediaan, serta distribusi barang dan jasa terjadi dalam basis interaksi peer-to-peer. Meningkatnya popularitas ekonomi berbagi merupakan bentuk transisi dari asset-heavy ke asset-light era, di mana kepentingan untuk memiliki benda tidak signifikan lagi bagi banyak orang (Bardhi dan Eckhardt, 2012).Â
Analisis Industri
Konsep dasar dari ekonomi berbagi merupakan "Konsumsi Kolaboratif", sebuah sistem yang merevolusikan perilaku-perilaku pasar, seperti menyewa, meminjamkan, berbagi, serta barter, dalam skala dan dengan metode yang tidak mungkin dilakukan sebelum adanya internet (Botsman dan Rogers, 2010). Tak heran bahwa dewasa ini, perusahaan pegiat 'ekonomi berbagi' berlomba-lomba untuk memajukan teknologi mereka sebagai keunggulan kompetitif.Â
Keberadaan 'ekonomi berbagi' telah menciptakan banyak lapangan kerja dan membolehkan penciptaan nilai tambah dari aset-aset yang sebelumnya underutilized.Â
Menurut sebuah studi dari PWC di tahun 2015, 43% konsumen setuju bahwa konsep sharing jauh lebih praktis dibandingkan konsep kepemilikan aset. Studi tersebut mengidentifikasi bahwa generasi millennial (orang-orang berumur 21-34 tahun) merupakan segmen pasar yang memiliki tingkat kesediaan untuk berbagi paling tinggi: 49% di Asia-Pasifik dan 35% secara global.Â
Lantas, terdapat potensi yang signifikan bagi bisnis-bisnis sharing di kawasan Asia-Pasifik. Di Asia Tenggara, Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi industri sharing yang paling besar, dengan 86% konsumen rela menyewakan aset pribadi mereka, serta 87% konsumen yang  mau menggunakan barang/jasa sharing (Nielsen, 2013).Â
Sebanyak 62% konsumen bisnis akomodasi berbasis sharing, serta 42.2% konsumen transportasi berbasis sharing, setuju bahwa rendahnya harga merupakan sebuah faktor yang krusial. Kemampuan perusahaan-perusahaan sharing dalam menyediakan harga yang sangat rendah dapat dikaitkan dengan model bisnis yang mereka gunakan.
Model Access-Based merupakan model yang memanfaatkan kapasitas cadangan (spare capacity) karena beberapa aset tidak dimanfaatkan secara penuh.Â
Dalam model ini, perusahaan penyedia platform akan menyediakan aset yang nyata maupun tidak nyata, yang disediakan oleh penyedia platform maupun organisasi mitra. Karena konsumen hanya akan mengakses barang/jasa tersebut saat mereka membutuhkannya, nilai tambah dalam model ini terciptakan berdasarkan aksesibilitas dan fleksibilitas dari penyediaan aset antara perusahaan dan pengguna (Barbu et al, 2018).Â
Salah satu contoh perusahaan Access-Based adalah Get Pony, perusahaan penyewaan mobil yang meletakkan mobilnya di tempat-tempat strategis di sebuah kota. Konsumen dapat menyewa serta mengakses mobil dari aplikasi, menggunakannya, dan meninggalkannya dimana saja.
Selanjutnya, model Ekonomi Marketplace merupakan sebuah model yang menghubungkan penawaran dengan permintaan, dimana interaksi antara pemilik serta pengguna di otomasikan oleh platform (Barbu et al, 2018).Â
Model ini menciptakan disrupsi karena penawaran baru yang diciptakan merupakan saingan bagi sektor-sektor konvensional yang mengalami kelebihan kapasitas. Harga-harga rendah yang dapat ditawarkan lantas mengalihkan permintaan dari penyedia jasa konvensional ke penyedia jasa berbasis sharing, mengakibatkan turunnya pendapatan bagi para penyedia jasa konvensional.Â
Dalam model ini, nilai tambah terciptakan melalui partisipasi transaksi pasar yang lebih cepat dan aman. Perbedaan model ini dari model Access-Based merupakan adanya hubungan tiga arah antara perusahaan, penyedia jasa, serta konsumen di model ini. Sebagai contoh, Airbnb merupakan salah satu bisnis dengan model Marketplace yang paling dikenal.Â
Terakhir, model bisnis Jasa On-demand merupakan model yang menyediakan jasa-jasa konsumer-sentris, dimana jasa akan 'datang' ke konsumen pada waktu dan tempat yang mereka tentukan. Penyedia serta pengguna jasa dalam model ini merupakan individu yang dicocokkan oleh platform, di mana setiap pelaku memiliki kesempatan untuk mengevaluasi satu sama lain melalui sebuah sistem rating (Barbu et al, 2018). Grab dan Gojek merupakan salah satu perusahaan yang memenuhi kriteria ini.Â
Permasalahan
Permasalahan pertama merupakan keamanan finansial para pekerja. Dalam ekonomi berbagi, hubungan antara penyedia jasa serta perusahaan merupakan kemitraan. Penyedia jasa diklasifikasikan sebagai kontraktor independen sehingga mereka tidak menerima Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Permasalahan ini mungkin lebih kentara bagi model bisnis On-demand, dikarenakan minimnya investasi yang diperlukan untuk berpartisipasi sebagai mitra, relatif terhadap model lainnya.
Sebagai contoh, untuk menjadi mitra Airbnb, seorang individu harus menjadi pemilik properti. Data dari Colliers (2018) menunjukkan bahwa harga lahan apartemen per meter persegi di daerah non-prima Jakarta sudah mencapai Rp 25,3 juta. Ukuran modal yang diperlukan model bisnis ini mengimplikasikan bahwa mitra-mitranya merupakan individu dengan pendapatan relatif tinggi. Bandingkan dengan individu-individu yang menjadi mitra Gojek.Â
Menurut riset Lembaga Demografi FEB UI, upah rata-rata mitra Go-Ride di Jabodetabek sebesar Rp 4,9 juta (2018). Walaupun di atas tingkat UMR Jabodetabek (Rp 3,9 juta), tingkat ini belum mumpuni untuk memiliki tabungan yang cukup sampai pensiun. Sebuah studi kasus dari eropa (Caixabank, 2018) menunjukkan bahwa, secara rata-rata, pekerja On-demand di ekonomi berbagi bekerja untuk durasi yang lebih pendek relatif terhadap durasi jam kerja rata-rata, dan mengalami penurunan pendapatan median relatif terhadap pendapatan minimum nasional.Â
Menurunnya pendapatan median  dan meningkatnya pendapatan rata-rata menyarankan bahwa distribusi pendapatan pekerja-pekerja ini bersifat positively skewed (Ini berdasarkan asumsi bahwa pendapatan median pekerja on-demand di Indonesia juga mengalami penurunan, tentunya analisis data lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi ini).Â
Lantas, menurunnya durasi kerja serta meningkatnya pendapatan bulanan menyarankan bahwa terdapat peningkatan upah per jam rata-rata yang didapatkan para mitra. Ini merupakan permasalahan trade-off antara bekerja dan waktu luang, dan dapat dijelaskan menggunakan efek pendapatan dan substitusi. Disini, upah rata-rata per jam (w) ekuivalen dengan tingkat Marginal Rate of Substitution (MRSM,l) antara income (M) dan waktu luang (l).Â
Arti dari MRSM,l= w adalah, seorang pekerja harus rela mengorbankan upah w demi mendapatkan satu jam tambahan untuk waktu luang. Saat upah per jam (w) meningkat, efek pendapatan akan memberikan insentif pada pekerja untuk bekerja lebih lama.Â
Pekerja akan terus memilih untuk bekerja, sampai suatu titik dimana pendapatan mereka sudah cukup bagi kebutuhan mereka. Lantas mereka akan memilih untuk mensubstitusi pekerjaan dengan kegiatan waktu luang. Saat pekerja lebih memilih waktu luang, dapat dikatakan efek substitusi lebih mendominasi dari efek pendapatan. Fenomena ini dapat dijelaskan menggunakan Backwards Bending Labour Supply Curve:
Uniknya, 30% dari mitra Go-Ride bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta sebelum bergabung dengan Gojek (LD FEB UI, 2018). Untuk Go-Car, tingkatnya bahkan lebih tinggi, pada 43%. Dapat dilihat bahwa terdapat pergerakan masif dari sektor formal ke sektor informal, yang memiliki tingkat keamanan pekerjaan yang minim.Â
Dalam ekonomi berbagi, jasa transportasi seperti Go-Ride merupakan salah satu jasa yang memiliki otonomi pekerja paling rendah. Tidak seperti pekerja freelance, mitra-mitra Go-Ride tidak memiliki daya tawar mengenai tarif yang mereka terima maupun standar dari jasa yang mereka berikan.Â
Kemampuan mitra Gojek untuk melakukan tawar-menawar kolektif melalui serikat buruh pun lemah. Lantas, hak fundamental seperti perlakuan non-diskriminatif pada pekerja (e.g. UMR, cuti) tidak terjamin karena sebagai kontraktor independen, dilindungi atau tidaknya mereka oleh UU Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003) masih rancu.Â
Jika tren asset-light era ini meluas, dependensi masyarakat akan perusahaan-perusahaan sharing akan meningkat dan kepemilikan aset akan menurun. Lantas, banyak individu tidak akan memiliki collateral jika mereka ingin mengambil pinjaman, serta kehilangan proteksi jika sebuah krisis ekonomi terjadi.Â
Permasalahan ini mungkin akan lebih mudah ditanggulangi oleh negara-negara dengan tingkat Tabungan Domestik Bruto yang tinggi, seperti Singapura (46.1%) dan Tiongkok (45.7%). Dengan tingkat Tabungan Domestik Bruto sebesar 30% (CEIC, 2019), ketahanan Indonesia masih relatif lebih rendah. Meningkatnya tren asset-light era seharusnya didampingi dengan peningkatan kebiasaan menabung.Â
Selain itu, inklusivitas juga merupakan salah satu permasalahan krusial dalam ekonomi berbagi. Inklusivitas mengacu pada rendahnya harga akibat hubungan antara penyedia serta pengguna jasa yang bersifat langsung, serta besarnya jangkauan karena penggunaan internet.Â
Namun, terdapat beberapa hambatan yang mengurangi inklusivitas, seperti ketentuan umur kendaraan maksimal 5 tahun oleh Gojek dan Grab, maupun akses ke internet dan telepon genggam pintar (smartphone). Lantas, 'inklusivitas' ini secara implisit masih memerlukan pekerja untuk mencapai sebuah status ekonomi tertentu sebelum berpartisipasi. Tak heran bahwa jumlah mitra Gojek yang sebelum bergabung tidak memiliki pekerjaan tetap/serabutan relatif sedikit, di tingkat 5% (LD FEB UI, 2018).Â
Meskipun adanya beberapa kekhawatiran, tidak bisa dipungkiri bahwa ekonomi berbagi memiliki banyak dampak positif. Selain menciptakan nilai tambah dari aset yang tidak digunakan, ekonomi berbagi juga telah menciptakan banyak lapangan kerja. Sebagai respons, pemerintah dapat men-klarifikasi ulang kejelasan hubungan perusahaan dan penyedia jasa. Ini dapat dicapai dengan menciptakan kategori jenis pekerjaan baru antara pekerja tetap dan kontraktor independen (EU-OSHA, 2018).Â
Acevedo (2016) juga menyarankan bahwa pemerintah seharusnya dapat mengecilkan ketimpangan daya tawar dengan mendorong kegiatan dialog dua arah antara perusahaan dan penyedia jasa. Menurut Acevedo, banyaknya perusahaan dalam ekonomi berbagi yang masih dalam fase titik impas dan kerugian berarti bahwa mewajibkan perusahaan-perusahaan ini untuk memberikan benefit pekerjaan merupakan kebijakan yang kurang tepat.
Lantas, perkembangan industri ini sebaiknya disertai oleh kebijakan pemerintah yang akomodatif akan model bisnis sharing. Kearney & Mogstad (2019) menyarankan bahwa Universal Basic Income (UBI) dapat menjadi solusi untuk membantu orang berpendapatan rendah melewati hambatan-hambatan pasar kerja. Walaupun belum diuji dalam konteks ekonomi berbagi, kebijakan ini dapat bertindak sebagai safety net bagi para pekerja yang tidak menerima benefit dari perusahaan-perusahaan ekonomi berbagi.Â
Jika tren beberapa tahun belakangan ini berlanjut, perkembangan teknologi yang pesat tidak hanya akan memunculkan dampak positif, namun juga masalah-masalah yang baru. Walaupun kita tidak dapat memprediksi dengan pasti, perkembangan-perkembangan baru mengenai ekonomi berbagi merupakan suatu isu yang patut menerima lebih banyak eksposur.Â
Referensi
(2020). Pwc.fr. Retrieved 26 March 2020, from https://www.pwc.fr/fr/assets/files/pdf/2015/05/pwc_etude_sharing_economy.pdf
(2020). Norden.diva-portal.org. Retrieved 6 April 2020, from https://norden.diva-portal.org/smash/get/diva2:1072087/FULLTEXT02.pdf
(2020). Caixabankresearch.com. Retrieved 6 April 2020, from https://www.caixabankresearch.com/sites/default/files/documents/im_1807_36-37_dossier_3_en.pdf
(2020). Aseankorea.org. Retrieved 6 April 2020, from https://www.aseankorea.org/uploads/2018/08/Sharing_Economy_in_ASEAN_Full.pdf
Global Consumers Embrace the Share Economy. (2014). Nielsen.com. Retrieved 6 April 2020, from https://www.nielsen.com/lb/en/press-releases/2014/global-consumers-embrace-the-share-economy/
The sharing economy and the labour market. (2018). CaixaBank Research. Retrieved 6 April 2020, from https://www.caixabankresearch.com/en/sharing-economy-and-labour-market
Dreyer, B., Ldeke-Freund, F., Hamann, R., & Faccer, K. (2017). Upsides and downsides of the sharing economy: Collaborative consumption business models' stakeholder value impacts and their relationship to context. Technological Forecasting And Social Change, 125, 87-104. doi:10.1016/j.techfore.2017.03.036
(2020). Ldfebui.org. Retrieved 6 April 2020, from https://ldfebui.org/wp-content/uploads/2019/03/Lembaga-Demografi-FEB-UI-Dampak-Sosial-dan-Ekonomi-GOJEK-2018.pdf
(2020). Alvara-strategic.com. Retrieved 6 April 2020, from https://alvara-strategic.com/wp-content/uploads/whitepaper/The-Urban-Middle-Class-Millenials.pdf
Lee, Cassey. (2016). To Uberize or Not to Uberize? Opportunities and Challenges in Southeast Asia's Sharing Economy. ISEAS Perspective. 2016.Â
Benefits and Concerns of the Sharing Economy: Economic Analysis and Policy Implications. (2020). Kdijep.org. Retrieved 6 April 2020, from http://www.kdijep.org/v.41/1/15/Benefits+and+Concerns+of+the+Sharing+Economy+Economic+Analysis+and+Policy+Implications#body-section-2
Investments, I. (2016). Low National Savings: People of Indonesia Fail to Save Incomes | Indonesia Investments. Indonesia-investments.com. Retrieved 6 April 2020, from https://www.indonesia-investments.com/finance/financial-columns/low-national-savings-people-of-indonesia-fail-to-save-incomes/item7328
Colliers International | Colliers Quarterly | Property Market Report | Q4 2018 | Jakarta Expatriate Housing. (2019). Www2.colliers.com. Retrieved 30 April 2020, from https://www2.colliers.com/en-ID/Research/Colliers-Quarterly-Property-Market-Report-Q4-2018-Jakarta-Expatriate-Housing
(2020). Law.upenn.edu. Retrieved 6 April 2020, from https://www.law.upenn.edu/cf/faculty/ddasacev/workingpapers/EREPJ-Regulating%20Employment.pdf
(2020). Law.upenn.edu. Retrieved 6 April 2020, from https://www.law.upenn.edu/cf/faculty/ddasacev/workingpapers/EREPJ-Regulating%20Employment.pdf
(2020). Osha.europa.eu. Retrieved 6 April 2020, from https://osha.europa.eu/fr/publications/protecting-workers-online-platform-economy-overview-regulatory-and-policy-developments
(2020). Bi.edu. Retrieved 6 April 2020, from https://www.bi.edu/globalassets/forskning/h2020/working-paper-version-for-web-power.pdf
-paper-version-for-web-power.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H