Jika tren asset-light era ini meluas, dependensi masyarakat akan perusahaan-perusahaan sharing akan meningkat dan kepemilikan aset akan menurun. Lantas, banyak individu tidak akan memiliki collateral jika mereka ingin mengambil pinjaman, serta kehilangan proteksi jika sebuah krisis ekonomi terjadi.Â
Permasalahan ini mungkin akan lebih mudah ditanggulangi oleh negara-negara dengan tingkat Tabungan Domestik Bruto yang tinggi, seperti Singapura (46.1%) dan Tiongkok (45.7%). Dengan tingkat Tabungan Domestik Bruto sebesar 30% (CEIC, 2019), ketahanan Indonesia masih relatif lebih rendah. Meningkatnya tren asset-light era seharusnya didampingi dengan peningkatan kebiasaan menabung.Â
Selain itu, inklusivitas juga merupakan salah satu permasalahan krusial dalam ekonomi berbagi. Inklusivitas mengacu pada rendahnya harga akibat hubungan antara penyedia serta pengguna jasa yang bersifat langsung, serta besarnya jangkauan karena penggunaan internet.Â
Namun, terdapat beberapa hambatan yang mengurangi inklusivitas, seperti ketentuan umur kendaraan maksimal 5 tahun oleh Gojek dan Grab, maupun akses ke internet dan telepon genggam pintar (smartphone). Lantas, 'inklusivitas' ini secara implisit masih memerlukan pekerja untuk mencapai sebuah status ekonomi tertentu sebelum berpartisipasi. Tak heran bahwa jumlah mitra Gojek yang sebelum bergabung tidak memiliki pekerjaan tetap/serabutan relatif sedikit, di tingkat 5% (LD FEB UI, 2018).Â
Meskipun adanya beberapa kekhawatiran, tidak bisa dipungkiri bahwa ekonomi berbagi memiliki banyak dampak positif. Selain menciptakan nilai tambah dari aset yang tidak digunakan, ekonomi berbagi juga telah menciptakan banyak lapangan kerja. Sebagai respons, pemerintah dapat men-klarifikasi ulang kejelasan hubungan perusahaan dan penyedia jasa. Ini dapat dicapai dengan menciptakan kategori jenis pekerjaan baru antara pekerja tetap dan kontraktor independen (EU-OSHA, 2018).Â
Acevedo (2016) juga menyarankan bahwa pemerintah seharusnya dapat mengecilkan ketimpangan daya tawar dengan mendorong kegiatan dialog dua arah antara perusahaan dan penyedia jasa. Menurut Acevedo, banyaknya perusahaan dalam ekonomi berbagi yang masih dalam fase titik impas dan kerugian berarti bahwa mewajibkan perusahaan-perusahaan ini untuk memberikan benefit pekerjaan merupakan kebijakan yang kurang tepat.
Lantas, perkembangan industri ini sebaiknya disertai oleh kebijakan pemerintah yang akomodatif akan model bisnis sharing. Kearney & Mogstad (2019) menyarankan bahwa Universal Basic Income (UBI) dapat menjadi solusi untuk membantu orang berpendapatan rendah melewati hambatan-hambatan pasar kerja. Walaupun belum diuji dalam konteks ekonomi berbagi, kebijakan ini dapat bertindak sebagai safety net bagi para pekerja yang tidak menerima benefit dari perusahaan-perusahaan ekonomi berbagi.Â
Jika tren beberapa tahun belakangan ini berlanjut, perkembangan teknologi yang pesat tidak hanya akan memunculkan dampak positif, namun juga masalah-masalah yang baru. Walaupun kita tidak dapat memprediksi dengan pasti, perkembangan-perkembangan baru mengenai ekonomi berbagi merupakan suatu isu yang patut menerima lebih banyak eksposur.Â
Referensi
(2020). Pwc.fr. Retrieved 26 March 2020, from https://www.pwc.fr/fr/assets/files/pdf/2015/05/pwc_etude_sharing_economy.pdf
(2020). Norden.diva-portal.org. Retrieved 6 April 2020, from https://norden.diva-portal.org/smash/get/diva2:1072087/FULLTEXT02.pdf