Menurut riset Lembaga Demografi FEB UI, upah rata-rata mitra Go-Ride di Jabodetabek sebesar Rp 4,9 juta (2018). Walaupun di atas tingkat UMR Jabodetabek (Rp 3,9 juta), tingkat ini belum mumpuni untuk memiliki tabungan yang cukup sampai pensiun. Sebuah studi kasus dari eropa (Caixabank, 2018) menunjukkan bahwa, secara rata-rata, pekerja On-demand di ekonomi berbagi bekerja untuk durasi yang lebih pendek relatif terhadap durasi jam kerja rata-rata, dan mengalami penurunan pendapatan median relatif terhadap pendapatan minimum nasional.Â
Menurunnya pendapatan median  dan meningkatnya pendapatan rata-rata menyarankan bahwa distribusi pendapatan pekerja-pekerja ini bersifat positively skewed (Ini berdasarkan asumsi bahwa pendapatan median pekerja on-demand di Indonesia juga mengalami penurunan, tentunya analisis data lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi ini).Â
Lantas, menurunnya durasi kerja serta meningkatnya pendapatan bulanan menyarankan bahwa terdapat peningkatan upah per jam rata-rata yang didapatkan para mitra. Ini merupakan permasalahan trade-off antara bekerja dan waktu luang, dan dapat dijelaskan menggunakan efek pendapatan dan substitusi. Disini, upah rata-rata per jam (w) ekuivalen dengan tingkat Marginal Rate of Substitution (MRSM,l) antara income (M) dan waktu luang (l).Â
Arti dari MRSM,l= w adalah, seorang pekerja harus rela mengorbankan upah w demi mendapatkan satu jam tambahan untuk waktu luang. Saat upah per jam (w) meningkat, efek pendapatan akan memberikan insentif pada pekerja untuk bekerja lebih lama.Â
Pekerja akan terus memilih untuk bekerja, sampai suatu titik dimana pendapatan mereka sudah cukup bagi kebutuhan mereka. Lantas mereka akan memilih untuk mensubstitusi pekerjaan dengan kegiatan waktu luang. Saat pekerja lebih memilih waktu luang, dapat dikatakan efek substitusi lebih mendominasi dari efek pendapatan. Fenomena ini dapat dijelaskan menggunakan Backwards Bending Labour Supply Curve:
Uniknya, 30% dari mitra Go-Ride bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta sebelum bergabung dengan Gojek (LD FEB UI, 2018). Untuk Go-Car, tingkatnya bahkan lebih tinggi, pada 43%. Dapat dilihat bahwa terdapat pergerakan masif dari sektor formal ke sektor informal, yang memiliki tingkat keamanan pekerjaan yang minim.Â
Dalam ekonomi berbagi, jasa transportasi seperti Go-Ride merupakan salah satu jasa yang memiliki otonomi pekerja paling rendah. Tidak seperti pekerja freelance, mitra-mitra Go-Ride tidak memiliki daya tawar mengenai tarif yang mereka terima maupun standar dari jasa yang mereka berikan.Â
Kemampuan mitra Gojek untuk melakukan tawar-menawar kolektif melalui serikat buruh pun lemah. Lantas, hak fundamental seperti perlakuan non-diskriminatif pada pekerja (e.g. UMR, cuti) tidak terjamin karena sebagai kontraktor independen, dilindungi atau tidaknya mereka oleh UU Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003) masih rancu.Â