Oleh: Yusuf Fajar Mukti (Ilmu Ekonomi 2017) dan Sisilia Juliana Hanamaria (Ilmu Ekonomi 2016)
Prolog
Pada tahun 2030, jumlah populasi penduduk di dunia diperkirakan akan mencapai 8,5 milyar jiwa, 3 milyar diantaranya adalah mereka yang berasal dari kelas menengah ke atas. Bertambahnya jumlah populasi kelas menengah tersebut tentunya akan mendorong peningkatan tingkat konsumsi. Dengan meningkatnya tingkat konsumsi, akan memberikan 'tekanan' terhadap sumber daya alam untuk dapat memenuhi permintaan konsumen di masa depan.Â
Jangka panjangnya, sumber daya alam tersebut dapat mengalami kelangkaan. Masalah lain yang muncul adalah terjadinya peningkatan jumlah total limbah akibat tingkat konsumsi yang juga mengalami kenaikan. Limbah plastik serta limbah elektronik adalah dua jenis limbah populer di dunia. Keduanya dikatakan populer disebabkan totalnya yang sangat banyak dan selalu mengalami kenaikan jumlah tiap tahunnya.Â
Untuk limbah plastik, penggunaannya meningkat 20 kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Selain itu, seperti yang dilansir dari BBC (2018), menurut kajian dari The Ocean Cleanup Foundation, setidaknya terdapat 80.000 ton plastik berada di 'Area Sampah Pasifik Raya' yang membentang antara California dan Hawaii, Amerika Serikat, jumlah tersebut 16 kali lipat dari yang sebelumnya dilaporkan.Â
Sedangkan untuk limbah elektronik, berdasarkan laporan dari United Nation's International Telecommunication Union, the U.N University (UNU), serta International Solid Waste Association (2017), pada tahun 2016 dunia menghasilkan sampah elektronik sebanyak 44,7 juta ton. Jumlah tersebut hampir setara dengan 4.500 Menara Eiffel, serta 8 persen lebih banyak dari dua tahun sebelumnya.Â
Permasalahan terhadap sumber daya alam yang terbatas serta pengelolaan sampah adalah dua hal yang menjadi masalah utama yang terjadi dewasa ini. Bersamaan dengan permasalahan tersebut, organisasi internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) gencar mengkampanyekan suatu mekanisme pembangunan berkelanjutan.Â
Mekanisme tersebut dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan hasil Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Rio+20 di Brazil pada tahun 2012. Oleh karena itu, berdasarkan identifikasi dari permasalahan tersebut, agar negara-negara di dunia dapat bergerak menuju pola konsumsi yang berkelanjutan pada 2030 diperlukan kesadaran untuk pengurangan jejak ekologi, yaitu dengan mengubah cara memproduksi dan mengkonsumsi makanan, serta sumber daya lainnya.Â
Selain itu, pengelolaan efisien dalam penggunaan sumber daya alam milik bersama, serta cara pengelolaan limbah beracun yang tepat, seperti mendaur ulang, adalah target penting yang harus dilaksanakan. Solusi terhadap permasalahan tersebut adalah pengurangan penggunaan sumber daya melalui desain dan pemilihan bahan serta proses yang cerdas untuk meningkatkan produktivitas secara keseluruhan (Lehmann et al., 2014).Â
Circular economy atau ekonomi lingkaran adalah suatu konsep yang dipercaya para ahli lingkungan serta ekonom-ekonom dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Konsep tersebut menawarkan suatu paradigma baru terhadap sistem ekonomi, yaitu kerangka kerja yang berkelanjutan.