Mohon tunggu...
HilmyAnis
HilmyAnis Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Senang membagikan berbagai tulisan sebagai sarana untuk bertukar pikiran dan opini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sayapku Patah

4 Februari 2024   21:00 Diperbarui: 4 Februari 2024   21:10 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini Melisa sangat bersemangat. Mulai dari bangun lebih awal, memasak bekal sendiri, menyetrika baju seragam, hingga menyiapkan segala perlengkapan sekolahnya yang cukup banyak. Senyum di wajahnya tak pernah pudar. Dengan sepeda kesayangannya, ia dengan cepat melaju berangkat ke sekolah. Jarak rumah dan sekolahnya terbilang cukup dekat, sehingga ia hanya membutuhkan waktu 10 menit. 

Sesampainya di sekolah, perhatian Melisa teralihkan dengan adanya secarik kertas yang tertempel pada papan pengumuman. Dalam kertas tersebut tertulis "Perlombaan Karya Tulis Teruntuk Siswa/Siswi SMA Dapatkan Kesempatan Mendapatkan Beasiswa". Senyumnya semakin melebar ketika ia tau bahwa perlombaan tersebut membuka peluangnya untuk mendapatkan beasiswa. Ia langsung mengambil handphonenya lalu memotretnya.

"Dor!" kejut Diva yang tiba-tiba ada di belakang Melisa.

"Div, ngagetin aja kamu. Eh liat deh ada perlombaan karya tulis, ikut yuk!" ajak Melisa dengan penuh antusias.

"Ngga dulu deh, males," keluh Diva sambil berlalu meninggalkan Melisa.

"Kalau kita ikutan lomba itu kita bisa dapet kemungkinan dapet beasiswa, ayolah Div daftar yuk!" ajak Melisa lagi yang menyusul Diva yang masih bermuka malas.

"Masa sih?" balas Diva dengan melirik lewat sudut matanya.

"Iya beneran! Kan itu yang mengadakan lembaga besar, lagipula tadi tertulis begitu di posternya! Ini kesempatan kita Div, lumayan beasiswa buat kuliah nanti!" desak Melisa agar Diva berubah pikiran. 

"Itu lombanya perorangan kan? Yaudah kamu aja yang ikutan!" jawab Diva dengan santainya.

"Lho? Kamu ga mau ikutan?" tanya Melisa yang kaget dengan jawaban Diva.

"Engga Melisa, aku kan masih ada OSIS, otakku penuh sama rapat, rapat, dan rapat. Mendingan kamu aja," jelas Diva dengan perlahan agar Melisa tidak sakit hati.

"Oh yaudah deh, beneran kamu ga mau ikutan?" ucap Melisa pasrah.

"Iya Melisa, semangat yah buat lomba itu! Semoga kamu menang!" ujar Diva memberi energi positif untuk Melisa agar tetap mempertahankan senyumannya.

"Makasih Div," balas Melisa dengan senyum yang kembali muncul.

Melisa memantapkan keputusannya untuk serius mengikuti perlombaan tersebut. Harapannya untuk menang cukup besar. Tak lupa meminta doa kedua orang tuanya agar bisa lolos. Setiap hari ia berusaha untuk terus mencari bahan untuk dibahas dalam karya tulisnya. Bahkan ketika jam istirahat ia sempatkan untuk pergi ke perpustakaan demi mengoptimalkan hasil karyanya tersebut. Ia tak ingin hasilnya nanti kurang memungkinkan untuk menang.

"Sibuk amat," sapa Diva sambil menyenggol lengan Melisa.

"Intinya ngga boleh gagal," balas Melisa yang masih fokus dengan laptopnya.

"Makan siang dulu kali, nih udah aku beliin jus," ujar Diva sambil menyodorkan sebotol jus kemasan yang manjadi favorit Melisa.

"Widihh terimakasih Diva cantik, kamu perhatian banget sih!" jawab Melisa dnegan penuh pujian manis.

"Jangan terlalu keras sama diri sendiri yah, semoga lolos!" ucap Diva sambil menepuk pundaknya lalu pergi berlalu.

"Makasih banyak yak, semangat rapatnya!" balas Melisa sambil tersenyum ke arah Diva yang meninggalkan ruangan itu. Diva hanya mengacungkan jempolnya.

Malam itu Melisa masih sibuk dengan laptopnya, ia masih menjelajah dunia maya dari segala dimensi. Mulai dari artikel, jurnal nasional, hingga jurnal internasional telah ia temui. Kesibukannya ini ternyata memengaruhi jam tidurnya. Ia yang awalnya jam 9 sudah tidur, kini rela lembur hingga jam 11 malam. Kemarin ia kepergok ibunya tertidur di atas laptopnya yang masih menyala.

"Sayang, tidur itu di kasur," ucap ibunya dengan lembut sambil mengusap kepalanya.

"Hm? Iya Bu," balas Melisa yang masih setengah tertidur. 

"Nulisnya besok lagi yuk, sini ibu temenin sampe tidur," ujar ibunya menuntunnya ke kasur lalu berbaring disampingnya. Melisa adalah anak bungsu dan ketiga kakaknya sudah berkuliah di luar kota, wajar jika perhatian ibunya teralihkan padanya semua.

"Tapi Bu, lusa harus sudah selesai," balas Melisa dengan nada bicara yang rendah dan mata yang tinggal lima watt.

"Besok kan masih ada, besok ibu bantu," bujuk ibunya sambil mengelus rambut panjangnya.

Malam itu Melisa tentram sekali. Tertidur dalam dekapan ibu adalah hal yang akan selalu ia rindukan. Tempat pulang dari segala macam kehidupan dunia. Tidak ada yang bisa menggantikan rasa nyaman dan kasih sayang yang penuh ini.

Kesibukan Melisa terus berlanjut hingga pengumpulan karya tulis. Namun rasa cemasnya berlanjut hingga tanggal pengumuman tiba. Jantungnya berdetak lebih kencang ketika ia membuka web pengumuman tersebut. Ia terus memanjatkan doa agar harapannya terwujud. Dengan tangan yang gemetar ia memencet ikon tersebut. 

Seketika jantungnya terhenti. Warna merah mendomisi layar laptopnya. Matanya melotot tidak menyangka hal itu akan terjadi. Bak petir di siang bolong, otak Melisa tak sanggup memproses dan menerima kejadian itu. Dengan lemas, air matanya mulai menetes membasahi pipi putihnya. Harapannya pupus begitu saja. Segala usaha yang telah ia pejuangkan terpatahkan oleh warna merah. 

Ia langsung melemparkan dirinya ke atas kasur. Ia menangis tersedu-sedu hingga bantalnya basah. Seakan dunia runtuh semua. Ibunya yang mendengar suara tangis langsung membuka pintu kamarnya. Ibunya langsung mengelus kepalanya lembut.

"Kamu kenapa sayang?" tanya ibunya khawatir.

Melisa tidak sanggup menjawabnya, ia kembali menangis dengan nafas yang semakin terisak-isak. Karena tidak mendapatkan jawaban pasti dari Melisa, ibunya melihat laptopnya yang masih menyala. Dengan penuh warna merah dan tulisan "maaf anda tidak lolos", ibunya sudah mengetahui apa yang menjadi Melisa menangis itu.

"Sini sayang, kepalanya di atas paha ibu," ucap ibunya berusaha menenangkan, Melisa hanya bisa menurut.

"Sayang, kalah itu wajar, namanya juga perlombaan. Kalau menang semua nanti ngga ada tantangannya. Dengan warna merah gini, kamu bisa tau mana yang sebaiknya diperbaiki biar menjadi warna emas, bukan lagi hijau. Percaya ngga sama ibu?" tanya ibunya dengan nada yang penuh kasih sayang.

"Tapi kesempatan Melisa buat mendapatkan beasiswa itu hilang ibu," keluh Melisa dengan nada bicara yang tersedak-sedak dan mata yang masih sembab.

"Beasiswa bisa didapatkan tidak hanya dengan cara seperti itu kan?" tanya ibunya lagi agar Melisa kembali berpikir positif.

"Apa iya Melisa bisa Bu?" ucap Melisa dengan rasa ragu.

"Iyaa, ibu percaya sama kamu," jawab ibunya sambil memeluknya erat, mencoba memberi semangat anak bungsunya itu. Senyum Melisa kembali terukir cantik.

Beberapa jam setelah itu, Melisa mencoba menghubungi Diva. Ia mengirimkan chat agar Diva mau datang ke rumah dengan alasan ada yang mau dibicarakan serius. Beruntung Diva menyetujuinya. Tak lama, Diva datang dan langsung menghampiri Melisa ke atas balkon.

"Ga dingin disini?" tanya Diva basa-basi. 

"Engga," jawab Melisa singkat.

"Hari ini ada kejutan apa?" tanya Diva yang tak tega melihat Melisa dengan tatapan kosong.

"Sayapku patah," jawab Melisa singkat lagi.

"Waduhh sejak kapan kamu punya sayap? kok bisa aku ga tau," jawab Diva tak tau arah.

"Harapan maksudnya," jawab Melisa pelan. Diva terlihat merasa bersalah telah membuat lelucon tidak lucu, dan malah membuat Melisa semakin menunduk.

"Kenapa?" tanya Diva lembut.

"Aku kalah diperlombakan itu," jawab Melisa sambil memandang bintang kecil di atas sana. Melisa dan Diva kini saling terdiam. Diva tau, Melisa menaruh harapan dalam perlombaan ini cukup besar, dan kini tergagalkan. 

"Brati emang bukan jalan kamu. Kalau itu jalan kamu, ga mungkin pindah ke tangan orang lain," jawab Diva berusaha realistis. 

"Aku tau," jawab Melisa singkat lagi dan lagi.

"Udahh gapapa, kita coba cara lain. Sayap boleh patah. Harapan boleh hancur. Tapi semangat ga boleh turun. Hayok kita terbang bebas bareng-bareng lagi. Ini baru satu langkah mundurmu. Kita masih butuh 10 kali langkah majumu. Tenang, nanti sayapmu bisa sembuh sendiri seiiring dengan kamu tersenyum," jelas Diva sambil tersenyum. Melisa melihat itu lalu ikut tersenyum. Wajahnya manis, hanya saja pipinya masih memerah dan matanya masih terlihat sembab. Beruntung emosi Melisa kian stabil dan membaik. Ia tak takut lagi untuk kalah, ia siap untuk menerima kenyataan, dan berusaha mencoba lagi dan lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun