Mohon tunggu...
Hilmi Tsaqif Muzakki
Hilmi Tsaqif Muzakki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hukum - Traveling

Selanjutnya

Tutup

Book

Book Review: Hukum Perdata Islam di Indonesia

7 Maret 2023   23:45 Diperbarui: 7 Maret 2023   23:54 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Book Review

 

Judul               : Hukum Perdata Islam di Indonesia

Penulis            : Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal

Penerbit           : Prenadamedia Group

Terbit              : 2019

Cetakan           : Ketujuh, Oktober 2019

Buku Tulisan Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal yang berjudul "Hukum Perdata Islam di Indonesia" mendeskripsikan secara lengkap dan rinci tentang hukum yang mengatur tentang keperdataan yang bermotifkan Islam di Indonesia yang pada cetakan ketujuh ini lebih berfokus kepada studi kritis yang membahas bagaimana sebenarnya perkembangan konseptual hukum perdata islam Indonesia di bidang perkawinan, mulai dari fikih, undang-undang nomor 1tahun 1974 sampai kompilasi hukum islam (KHI)

Buku ini tampil dengan fokus kajian yang berbeda untuk melihat perkembangan atau lebih tepatnya pergeseran hukum Islam dan ditambah dengan komparasi dari berbagai aspek. Mengingat persoalan ini cukup serius sekaligus menantang, maka diharapkan buku ini akan dapat memperkaya dan memperdalam kelimuan kita mengenai hukum perdata Islam di Indonesia khususnya pada hal perkawinan.

Buku ini berisi 260 halaman yang mana di dalam buku ini terdiri dari 14 bahasan yang ditungakan dalam beberapa bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang latar belakang sejarah dan perkembangan hukum perdata Islam di Indonesia, bagian kedua menjelaskan tentang prinsip-prinsip perkawinan dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum Islam, bagian ketiga sampai ke dua belas menjelaskan tentang perkawinan mulai dari rukun, syarat, pencatatan, larangan, dan putusnya sebuah perkawinan hingga membahas hak dan kewajiban suami isteri, bahkan membahas juga tentang poligami. 

Kemudian bagian ketiga belas dan keempat belas yang merupakan bagian akhir pembahasan yang menjelaskan tentang Anak mulai dari asal usul, pemeliharaan hingga tanggung jawab orang tua terhadap anak. Yang mana dari setiap pembahasan diberikan perspektif dari fikih, undang-undang nomor 1 tahun 1974, dan kompilasi hukum Islam serta diberikan analisis juga di setiap bagaian pembahasaan yang juga diberi penjelasannya masing-masing.

Pada pembahasan pertama, penulis menyampaikan lima poin penting  mengenai sejarah dan pekembangan hukum perdata Islam di Indonesia, yaitu sejarah masuknya Islam ke Indonesia, kemudian hukum Islam pada masa penjajahan Belanda, Jepang, masa kemerdekaan dan masa pemerintahan orde baru. Penulis menjelaskan bahwa isalam masuk ke Indonesia pada abad ke 1 H atau abad VII M yang dibawa oleh pedagang-pedagang arab, dan perkembangan Islam di Indonesia ini bercorak Syafiyyah. 

Hal ini juga dibuktikan dengan masyrakat Indonesia sekarang yang mayoritas menganut mazhab syafii. Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa-masa menjelang abad XVII, XVIII, dan XIX, baik pada tataran intelektual dalam bentuk pemikiran dan kitab-kitab juga dalam praktik-praktik keagamaan dapat dika- takan cukup baik. Dikatakan cukup baik karena hukum Islam dipraktikkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna, mencakup masalah muamalah, ahwal al- syakhsiyyah (perkawinan, perceraian, dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah.

Kemudian Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat ke dalam dua bentuk. Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC (Vereenigde Oots Indische Compagnie) yang memberikan ruang yang agak luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya pada hukum adat. Setelah Belanda jatuh ditangan Jepang, pengaruh kebijakan Jepang terhadap hukum Islam di Indonesia tidak begitu tampak. 

Setelah Indonesia bebas dari penjajahan (masa kemerdekaan) semua hukum yang berlaku di Indonesia diatur oleh Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia, perkembangan hukum islam pada masa ini dapat dikatakan bahwa pada era Soekarno penataan hukum Islam baik yang berkenaan dengan administrasi dan kelembagaan hukum Islam yang mengatur masalah perkawinan, rujuk, talak, dan wakaf telah dilakukan di bawah pengawasan menteri agama.

Kemudian pada buku ini menjelaskan perkembangan hukum Islam pada masa pemerintahan orde baru, yang memiliki strategi marginalisasi peranan partai-partai politik dan menabukan pembicaraan masalah-masalah ideologis (selain Pancasila) terutama yang bersifat keagamaan atau bisa dikatakan pada era ini partai politik sangat berpengaruh. Hal ini menyebabkan banyaknya perbedaan pendapat yang terjadi pada saat membuat hukum, khususnya hukum Islam. 

Contohnya pengesahan Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang muncul karena banyaknya pasal pada undang-undang perkawinan yang bertentangan dengan syariat Islam dan menuai banyak pertentangan dari umat Islam, dan disahkannya Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, hukum Islam me masuki fase baru dengan apa yang disebut fase taqnin (fase pengundangan). Banyak sekali ketentuan-ketentuan fikih Islam tentang perkawinan ditransformasikan ke dalam undang-undang tersebut kendati dengan modifikasi di sana-sini.

Pada fase ini juga perkembangan Islam cukup terlihat dengan seperti, pengesahan RUU Pendidikan Nasional, RUU Peradilan Agama, kelahiran ICMI, kelahiran BMI (Bank Muamalat Indonesia) dan yang paling terakhir adalah Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Perbankan, Undang- Undang Haji, dan Undang-Undang Zakat. 

Kompilasi Hukum Islam ini yang merupakan sebuah prestasi yang dicapai umat Islam diharapkan dapat melengkapi pilar Peradilan Agama dan menyamakan persepsi penerapan hukum. Setidaknya dengan adanya Kompilasi Hukum Islam itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme keputusan Peradilan Agama, karena kitab yang dijadikan rujukan para hakim di Peradilan Agama adalah sama.

Kemudian pada pembahasan ke dua menjelaskan tentang prinsip perkawinan dalam undang-undang no 1 tahun 1974 yang menurut buku ini bahwa Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai di sini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani tetapi juga memiliki unsur batin atau rohani. 

Jika disederhanakan, asas perkawinan itu menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ada enam. (1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, (2) Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing, (3) Asas monogami, (4) Calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa dan raganya (5) Mempersulit terjadinya perceraian, (6) Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.

Dalam buku ini juga menjelaskan dari sudut pandang kompilasi hukum Islam tepatnya pada pasal 2 dan kemudian dikuatkan lagi melalui dalil dan nash dari Al-Quran surah An Nisa ayat 21 dan Ar Rum ayat 21. Ada juga sudut pandang dari Musdah Mulia, yang memaparkan prinsip perkawinan yaitu (1) Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh, (2) Prinsip Mawaddah warrahmah, (3) Prinsip saling melengkapi dan melindungi, (4) Prinsip mu'asrah bi al-ma'ruf. 

Dapat diapahami juga pada buku ini bahwa perkawinan sebagai langkah awal untuk membentuk keluarga yang selanjutnya kumpulan keluarga inilah yang akan membentuk warga masyarakat yang pada akhirnya menjadi sebuah negara.

Pada bagian ke tiga membahas tentang rukun dan syarat perkawinan. Rukun perkawinan dari perspektif fikih ada lima dan masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pemabaca dalam memahami rukun dan syarat perkawinan, disini penulis menguraikan rukun perkawinan disamakan dengaan uraian syarat-syarat dari rukun rukun tersebut.

Pada buku ini juga memperhatikan tentang mahar sebagai syarat sah perkawinan. Alasannya karena buku-buku lain tentang hukum perkawinan Islam banyak yang membahas bahkan menempatkanya pada pembahasan tersendiri. Mahar disini berhubungan dengan rukun dan syarat perkawinan dan para ulama telah menetapkan mahar itu hukumnya wajib berdasarkan Al-Quran Sunnah dan Ijma. kendatipun mahar itu wajib, namun dalam penentuannya tetaplah harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya, bentuk dan harga mahar tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak pula menganggap remeh sebuah mahar.

Berbeda dengan perspektif fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Tampaknya Undang-Undang Perkawinan hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan. Yang tercantum dalam Bab II pas 6 dan 7. 

Ternyata Undang-Undang Perkawinan melihat persyaratan perkawinan itu hanya menyangkut persetujuan kedua calon dan batasan umur serta tidak adanya halangan perkawinan antara kedua calon mempelai tersebut. Jika dilihat dari kompilasi hukum Islam memiliki perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu KHI ketika membahas rukun perkawinan tampaknya mengikuti sitematika fikih yang mengaitakan rukun  dan syarat. Namun Kompilasi hukum Islam juga mengikuti undang-undang perkawinan yang melihat syarat hanya berkenaan dengan persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur.

Kemudian pembahasan keempat, berisi tentang pendahuluan perkawinan meliputi peminangan, syarat, dan akibat hukumnya. Dalam perspektif Islam, peminangan atau dalam istilah fikih disebut dengan khitbah itu lebih mengacu untuk melihat kepribadian calon mempelai wanita seperti ketakwaan, keluhuran budi pekerti, kelembutan dan ketulusannya. Kendati demikian, bukan berarti masalah fisik tidak penting. Bisa dikatakan peminangan adalah Langkah awal untuk menuju sebuah perjodohan anatara laki-laki dan perempuan.

Dalam undang-udang perkawinan peminangan ini tidak ada, alasanya mungkin karena peminagan tidak dapat disebut sebagai peristiwa hukum. Jadi, tidak ada implikasi hukum dari sebuah peminangan. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam tampaknya mengapresiasi dengan cukup luas peminangan ini. Contohnya seperti yang tercantum dalam Pasal 1 bab 1 huruf a, yang berisi definisi dari peminangan itu sendiri. Jika dianalisa Kompilasi Hukum Islam mengatur  peminangan ini seperti yang terlihat di dalam Pasal 12-13. Bedanya dengan fikih, aturan-aturan di dalam Kompilasi Hukum Islam terlihat lebih sederhana.

Selanjutnnya pada pembahasan mengenai pencegahan dan pembatalan perkawinan, tepatnya pada pembahasan ke lima buku ini. Jika ditinjau dari fikih Islam tidak dijelaskan adanya pencegahan dalam perkawinan. Namun masalah pencegahan dan pembatalan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang tujuannya untuk menghindarkan terjadinya perkawinan yang terlarang karena melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama.

Pencegahan perkawinan dan pembatalan dalam buku ini dijelakan melalui dua sudut pandang, yaitu memalui undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum Islam dengan mencantumkan setiap pasal yang didalamnya mengandung tentang pencegahan dan pembatalan perkawinan dan kemudian memadukan semua pasal berikut dengan penjelasnya. Dengan cara seperti ini pembaca dapat informasi yang cukup lengkap dari perspektif 2 hukum yang berbeda.

Pada buku ini juga menambahkan materi tentang akibat pemabatalan perkawinan. Karena penulis buku ini cukup kritis dalam memperhatikan masalah yang ada saat ini, hal ini bisa terlihat dari timbulnya petanyaan tentang bagaimana status anak, ektika terjadi pembatalan perkawinan. Karena anak disini posisinya sebagai korban yang tidak tahu menahu tentang permasalahan yang terjadi yang juga dapat mempengaruhi masa depan dari anak itu sendiri, sehingga menurut saya, hal-hal kecil seperti ini harus diulas seperti yang dicantumkan pada buku ini.

Menurut Analisa buku ini, mengenai pencegahan dan pembatalan perkawinan. Sebenarnnya aturan-aturan yang berkenaan dengan rukun dan syarat dan berfungsi sebagai lembaga perkawinan sudah dapat dijadikan acuan sahnya sebuah perkawinan. Dan jika senadainya masalah administrative tidak lengkap, yang dilakukan adalah penundaan dan bukan pencegahan. Dalam buku ini dijelaskan lagi dengan contoh kasus-kasus nyata yang menunjukan adanya pembatalan perkawinan, agar pembaca lebih paham dengan materi yang sedang diulas.

Pada bahasan keenam mengulas tentang pencatatan perkawinan seperti akta nikah dan perjanjian perkawinan. Dalam fikih tidak dicantumkan secara jelas tentang pencatatan perkawinan, dalam Al-Quran hanya ada dalil tentang anjuran mencatat segala bentuk transaksi muamalah. Dalil inilah yang dijadikan acuan tentang pencatatan perkawinan, karena jika dicerna lagi dalil ini memiliki pembahasan yang sama yaitu anjuran untuk mencatatakan hal yang penting seperti perkawinan.

Ditinjau dari undang-undang nomor 1 tahun 1974, tepatnya pada pasal 2 ayat 2 yang mengatur tentang pencatatan perkawinan. Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam Undang-Undang Perkawinan hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan tampak dengan jelas menyangkut tata cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan.

Pada kompilasi hukum pencatatan perkawinan terletak pada pasal 5 dan 6. Walaupun aturan-aturan di dalam kompilasi hukum islam ini sudah lebih dalam dan tidak hanya membahas tentang administratif saja, penulis buku ini mengomentari tentang tidak dijelaskanya makna dari tidak mempunyai kekuatan hukum yang disebutka di kompilasi hukum Islam. Penulis buku, memberikan masukan, jika sehatusnya tidak memiliki kekuatan hukum disini diterjemahkan dengan tidak sah (la yasihhu).

Buku ini juga membahas tentang tata cara atau prosedur melaksanakan perkawinan yang sesuai, yang dijelaskan cukup lengkap dan runtut mulai dari pemberitahuan, penelitian, pengumuman hingga pelaksanaan perkawinan yang dibahas menggunakan pandangan hukum seperti mencamtumkan pasal-pasal yang terkait dengan pembahasan. Sehingga pembaca dapat melaksanakan urutan pelaksanaan perkawinan tanpa harus melanggar hukum yang sedang berlaku. Jika dianalisa sebenarnya pencatatan perkawinan disadari pengkaji hukum Islam memiliki kedudukan yang sangat penting terlebih lagi untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum bagi masyarakat.

Pada bahasana keenam ini juga membahas tentang perjanjian perkawinan, di sini penulis juga masih memadukan perspektif dari undang-undang perkawinan dan juga kompilasi hukum Islam. Ada poin penting pada pembahasan yaitu adanya pertentangan antara penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam. Pada buku ini dijelaskan cukup rinci tentang perbedaan antara dua hukum yang membahasa masalah yang sama akan tetapi berbeda dalam sudut pandangnya. Komparasi terhadap perspektif hukum yang berbeda ini cukup diperhatikan agar pembaca tidak kebingungan ketika mendapati aturan yang bertentangan.

Selanjutnya ada larangan perkawinan yang dijelaskan pada bab tersendiri, yaitu pada pembahasaan ketujuh. Dalam hukum Islam sendiri larangan perkawinan memiliki arti mahram (orang yang haram dinikahi), dan dalam Al-Quran menjelaskan tentang larangan perkawinan dengan aturan yang tegas dan terperinci. Tepatnya pada surah an Nisaa ayat 22-23. Pada buku ini menjelaskan ayat tersebut dengan rumusan-rumusan yang sistematis dari perpektif ulama.

Larangan perkawinan juga terdapat pada undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang diatur dalam pasal 8. Pada buku ini memberikan penjelasan tentang pasal ini bahwa larangan bagi seorang pria dan wanita untuk melakukan poligami, kecuali terdapat ketentuan lain yang memperbolehkan seorang pria untuk menikah lagi. Jadi bahwa, Undang-Undang Perkawinan maju selangkah dengan poligami sebagai salah satu larangan kawin.

Dijelaskan lagi di buku ini dari pandangan kompilasi huku Islam. Kompilasi hukum Islam dalam masalah larangan perkawinanan, cukup berbeda dengan undang-undang perkawinan. Kompilasi hukum Islam menjelaskanya lebih rinci dan tegas serta dalam persoalaan ini menggunakam metode yang sama dengan sistematika fikih yang telah baku. Tepatnya tercantum dalam Bab VI pasal 39 sampai pasal 44. Dalam buku ini masing-masing pasal dicantumkan dan diberikan gambaran awal isi pasal tersebut. Setelah itu, diberikan analisa dengan mengkomparasi antar hukum diatas dan mencamtumkan juga pendapat dari tokoh.

Pembahasan yang kurang diperhatikan kebanyakan buku lain yang membahas tentang perkawinan yaitu poligami, padahal poligami ini termasuk masalah yang berhubungan erat dengan perkawinan dan banyak dipertanyakan serta diperdebatkan di kalangan masyarakat. Pada buku ini memperhatikan masalah ini dengan membahasnya dalam salah satu bab tersendiri yang berisi tentang alasan dan prosedur poligami.

Poligami disini, jika dilhat dari hukum Islam, Al-Quran juga menyinggung tentang masalah poligami ini pada surah an-Nisaa ayat 3 dan ayat 129, dan pada buku ini juga dilengkapi juga dengan penafsiran serta dipaparkan juga pendapat penulis mengenai poligami dan juga diberikan pendapat dari ulama-ulama fikih yang juga menjelaskan tentang syarat-syarat dan alasan dari poligami itu sendiri. Sehingga pemabaca dapat memehami benar hukum dari poligami yang sesuai dengan syariat Islam.

Namun dalam Undang-undang perkawinan menganut asas monogami yang tercantum pada pasal 3, akan teteapi pada bagian pasal lain ad juga yang menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami bisa dibenarkan. Contohnya pada pasal 4 undang-undang perkawinan yang berisi tentang syarat suami jika ingin berpoligami. Namun dalam praktik berpoligami harus melalaui kewenangan da izin dari hakim pengadilan, seprti yang dinyatakan pada pasal 3 dan ayat 2. 

Pada pasal ini jelas bahwa undang-undang perkawinan secara tidak langsung melibatkan pengadilan agama sebagai institusi yang menaungi segala jenis permasalahan perkawinan seperti poligami. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami jika ingin poligami yang ditur dalam pasal 5 ayat 1 undang-undang perkawinan, dan dipertegas lagi dengan pasal 5 ayat 2. Penulis juga mencantumkan prosedur poligami menurut PP nomor 9 tahun 1975, tepatnya pada pasal 40 sampai 43.

Dari analisis penulis mengenai poligami adalah: Pertama, menyangkut prosedur poligami yang tampaknya memberikan wewenang yang cukup besar terhadap pengadilan. Kedua, makna keadilan sebagai syarat kualitatif poligami. Ketiga, berkenaan dengan substansi kebolehan poligami yang sering disalah pahami. Yang jelas poligami merupakan syariat agama yang keberadaannya jelas di dalam Al-Qur'an, terlepas bagaimana ayat tersebut di terapkan.

Selanjutnya, pada pembahasan kesembilan di buku ini mengenai hak dan kewajiban suami dan istri. Pada pembahasan ini melalui perspektif fikih, buku ini sedikit menarik dengan mengambil refrensi dari buku yang berjudul 'Uqud al-Lujian karangan Imam al-Nawawi al Batani. Alasanya karena pada buku tersebut popular dikalangan pesantren. Penulis mengambil semua aspek mulai dari pengertian kewajiban suami istri hingga hal-hal yang harus dialakukan suami istri sampai penjelasan Imam Nawawi al-Batani tentang materi ini. Sepertinya penulis memang benar-benar tertarik dengan bahasan dari Uqud al-Lujian mengenai padangan pengarang buku tersebut mengenai hak dan kewajiban suami dan istri.

Kemudia seperti biasa pada buku ini selalu mencantumkan perpektif Undang-udang perkawinan dan kompilasi hukum Islam. Pada Kompilasi Hukum Islam mengatur masalah hak dan kewajiban suami istri ini sangat perinci.

Pembahasannya dimulai dari Pasal 77-78 mengatur hal-hal yang umum, Pasal 79 menyangkut kedudukan suami istri, Pasal 80 berkenaan dengan kewajiban suami, Pasal 81 tempat kediaman dan Pasal 82 kewajiban suami terhadap istri yang lebih dari seorang, dan Pasal 83 bekenaan de ngan kewajiban istri. Sedangakan pada Undang-Undang Perkawinan memberikan aturan yang jelas berkenaan hak dan kewajiban suami istri. Hak dan kewajiban suami istri ini diatur di dalam Pasal 30 sampai 34.

Pembahasan mengenai putusnya perkawinan dan tata cara perceraian tidak luput dibahas pada buku ini. Tepatnya pada bahasan kesepuluh. Pada buku ini menurut saya agak berlebihan dalam membahas definisi dari putusnya perkawinan menurut fikih. Karena menyantumkan beberapa definisi yang isinya mirip-mirip. Putusnya perkawinan juga dibahas oleh kitab suci Al-Quran surah an-Nisaa ayat 43 dan 34. Penulis juga menyatumkan hadis yang dibahas secara komperhensif dan jelas mengenai pemicu terjadinya perceraian.

Putusnya perkawinan juga sudah ada pada pasal 1 undang-udanag perkawinan pasal 38. Buku ini juga menyenggol hukum perdata yang juga mebahas perihal yang sama pada pasal 493 dan kemudian juga mengambil pendapat dari para tokoh yang disertai dengan pendapat penulis. Pada kompilasi hukum Islam sepertinya juga mencontoh alur yang digunakaan undang-undang perkawinan, walau pun pasal-pasl yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan yang lebih terperinci. Pada materi kesepuluh ini juga memberikan paparan tentang permohonan cerai yang diulas secara lengkap.

Pembahasaan berikutnya yang kesebelas menegenai idah dan masalahnya. Iddah sendiri memeiliki makna yaitu perhitungan atau masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami. Pada buku ini juga dicantumkan pendapat ulama fikih masalah idah lalau menggali hikmahnya.

Ada hal penting juga yang di ulas buku ini yaitu hak dan kewajiban wanita dalam masalah idah. Hal ini dibahas melalaui beberapa pendapat dari banyak tokoh dan diberi penjelasan dari sudut pandang penulis. Hukum memang tidak menetapkan berapa lama, suami tersebut harus menjalani masa idahnya, tetapi paling tidak dengan berpijak pada asas kepatutan, seorang suami juga mestinya dapat menahan diri untuk tidak langsung menikah, ketika istrinya baru saja meninggal.

Pembahasaan ini dilengkapi dengan biaya penghidupan setelah perceraian. Hal ini ditetapkan pengadilan yang mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Namun ada ketentuan tersendiri bagi pegawai negri sipil tentang penentuan kewajiban untuk memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri, diatur tersendiri dalam PP Nomor 10 Tahun 1983 yang telah diubah dengan PP Nomor 45 Tahun 1990.

Menyangkut tentang idah sebenarnya tidak ada pergeser- an konseptual yang signifikan antara Fikih, Undang-Undang Perkawinan, PP Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 39 dan Kompila- si Hukum Islam. Mungkin ini disebabkan karena idah bersifat normatif seperti yang dinyatakan di berbagai ayat Al-Qur'an. Penulis juga memberikan pendapat yang menarik yang membandingkan KUH Perdata, hukum Islam, baik di dalam fikih, Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, sebenarnya jauh lebih rasional dan realistis.

Pada pembahasan yang keduabelas mengenai rujuk, agak berbeda dengan pembahasan lainya karena tidak mencantukan perspektif fikih. Namun demikian tetap menyantumkan pendapat ulama-ulama fikih tentang rujuk, seperti Wahbah al Zuhaliy yang memberikan persyaratan rujuk ada 3 dengan juga mengambil pandangan dari Al-Quran. Kemudian mengambil sudut pandang Mazhab az-zahri mengenai saksi dari rujuk merupakan suatu kewajiban.

Pada Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur masalah rujuk, demikian pula halnya di dalam PP Nomor 9 Tahun 1975. Kendati demikian, jauh sebelum kelahiran Undang-Undang Perkawinan, di dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954 beserta Nomor 22 tahun 1946,  yang sudah dibuat aturan mengenai pencatatan nikah, talak dan rujuk. Jadi, walaupun aturan rujuk tidak di muat, keharusan penca- tatan rujuk ternyata telah diatur jauh-jauh hari sebelumnya. 

Berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam sepertinya telah memuat aturan-aturan rujuk yang dapat dikatakan rinci. Dalam tingkat tertentu, Kompilasi Hukum Islam hanya mengulang penjelasan fikih. Pada akhir pembahasaan, buku ini juga meberikan penjelasan mengenai hikmah rujuk dalam Islam.

Pada bahasan terakhir buku ini, pada pembahasaan ketigabelas dan keempat belas, sama-sama menyinggung materi yang sama yaitu tentang anak yang merupakan hasil dari perkawinan itu sendiri. Pertama mengnai asal usul anak, yang dilihat dari segi agama Islam penjelasnya tidak ada pada Al-Quran. Di dalam Al-Quran adanya bahasan dari anak zina yang dicantumkan pada surah al-Mu'minun ayat 5 sampai 6 dan al_isra' ayat 32. Secara tidak langsung hal diatas juga bermaksud sebagai larangan untuk berbuat zina. Dengan ini jelaslah bahwa anak zina atau anak luar perkawinan menurut fikih Islam, hanya dinasabkan kepada ibunya saja.

Asal usul anak yang secara hukum dianggap sah baru dijealaskan pad undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 pada pasal 42 sampai 44. Dan pembuktiaan asal usul anak juga diatur dalam pasal 55 yang juga dilengkapi dengan penjelasan dari penulis di buku ini. Jika dilhat di kompilasi hukum Islam hampir mirip isinya dengan undang-undang perkawinan, jika di kompilasi hukum Islam asal usul anak dijelaskan pada pasal 99 sampai pasal 104 dan pasal 126 sampai pasal 128. Penjelasan pada pasal diatas sudah cukup lengkap yang tidak hanya mebahas tentang asal usul anak saja tapi juga melebar mengikuti permasalahan yang ada.

Penulis dalam buku ini mencerna tentang materi Undang-Undang Perkawinan dan Kom- pilasi Hukum Islam, terlihat adanya persamaan dalam merumus- kan definisi anak yang sah. Jika fikih dengan tegas merumuskan anak yang sah adalah anak yang lahir akibat perkawinan yang sah, maka Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mendefinisikannya dengan dua kategori.

Dan pembahasaan terakhir buku ini adalah hadanah yang berarti pemeliharaan anak dan tanggung jawab orangtua terhadap anak bila terjadi perceraian. Seperti pada pembahasaan-pembahaasaan yang sudah ada yang selalu mengaitkan dan menkomparasi beberapa perspektif seperti fikih, undang-undang perkawinan, dan kompilasi hukum islam yang kemudian diberikan analisa dari penulis buku ini sendiri.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menegaskan bahwa bapak bertanggung jawab atas semua pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan si anak, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan agama dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya dimaksud. Bagaimanapun pemeliharaan anak merupakan kewajiban kedua orangtua, oleh karenanya setiap orangtua tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya begitu saja, sebab baik buruknya sifat dan kelakuan anak-anak, sepenuhnya tergantung baik buruknya pendidikan yang diberikan oleh kedua orangtuanya.

Buku dengan judul " Hukum Perdata Islam di Indonesia Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, ini memiliki beberapa kelebihan diantaranya seperti penggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, kemudian yang membuat special pada buku ini terletak pada konsep pembahasaaan di setiap sub babnya selalu diberikan perspektif dari beberapa hukum yang juga dipakai sampai sekarang sebagai acuan aturan masyarakat Indonesia sepereti perspektif Fikih.

Kemudian perspektif undang-undang nomor 1 tahun 1974, dan juga kompilasi hukum Islam selanjutnya pada penulis buku ini selalu diberikan analisanya yang memberikan pemahaman kepada pembaca, jika seumpama tidak paham tentang maksud pasal yang tedapat pada undang-undang dan hukum terkait materi yang disampaikan. Buku ini juga sangat menambah wawasan kita terhadap bidang hukum terutama bidang hukum perdata Islama yang berfokus pada hukum keluarga islam di indonesia, terutama untuk mahasiswa yang sedang belajar tentang hukum perkawinan.

Selain terdapat kelebihan, buku ini memiliki juga memiliki kekurangan seperi, pembahasaannya yang terkesan monoton sehingga bagi pembaca bisa mudah bosan ketika membacanya. Kemudian ada juga beberapa pasal yang dicantumkan belum diberi penjelasaan yang bisa membuat pembaca puas dengan jawaban dan alasan tersebut. Alangkah baiknya jika setiap pembahasan dilengkapi dengan contoh kasus nyata yang terjadi pada masyarakat, sehingga pembaca bisa relate dan tertarik ketika membacanya.

( Reviewer : Hilmi Tsaqif Muzakki) / (NIM: 212121141)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun