Pada bahasan keenam mengulas tentang pencatatan perkawinan seperti akta nikah dan perjanjian perkawinan. Dalam fikih tidak dicantumkan secara jelas tentang pencatatan perkawinan, dalam Al-Quran hanya ada dalil tentang anjuran mencatat segala bentuk transaksi muamalah. Dalil inilah yang dijadikan acuan tentang pencatatan perkawinan, karena jika dicerna lagi dalil ini memiliki pembahasan yang sama yaitu anjuran untuk mencatatakan hal yang penting seperti perkawinan.
Ditinjau dari undang-undang nomor 1 tahun 1974, tepatnya pada pasal 2 ayat 2 yang mengatur tentang pencatatan perkawinan. Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam Undang-Undang Perkawinan hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan tampak dengan jelas menyangkut tata cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan.
Pada kompilasi hukum pencatatan perkawinan terletak pada pasal 5 dan 6. Walaupun aturan-aturan di dalam kompilasi hukum islam ini sudah lebih dalam dan tidak hanya membahas tentang administratif saja, penulis buku ini mengomentari tentang tidak dijelaskanya makna dari tidak mempunyai kekuatan hukum yang disebutka di kompilasi hukum Islam. Penulis buku, memberikan masukan, jika sehatusnya tidak memiliki kekuatan hukum disini diterjemahkan dengan tidak sah (la yasihhu).
Buku ini juga membahas tentang tata cara atau prosedur melaksanakan perkawinan yang sesuai, yang dijelaskan cukup lengkap dan runtut mulai dari pemberitahuan, penelitian, pengumuman hingga pelaksanaan perkawinan yang dibahas menggunakan pandangan hukum seperti mencamtumkan pasal-pasal yang terkait dengan pembahasan. Sehingga pembaca dapat melaksanakan urutan pelaksanaan perkawinan tanpa harus melanggar hukum yang sedang berlaku. Jika dianalisa sebenarnya pencatatan perkawinan disadari pengkaji hukum Islam memiliki kedudukan yang sangat penting terlebih lagi untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Pada bahasana keenam ini juga membahas tentang perjanjian perkawinan, di sini penulis juga masih memadukan perspektif dari undang-undang perkawinan dan juga kompilasi hukum Islam. Ada poin penting pada pembahasan yaitu adanya pertentangan antara penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam. Pada buku ini dijelaskan cukup rinci tentang perbedaan antara dua hukum yang membahasa masalah yang sama akan tetapi berbeda dalam sudut pandangnya. Komparasi terhadap perspektif hukum yang berbeda ini cukup diperhatikan agar pembaca tidak kebingungan ketika mendapati aturan yang bertentangan.
Selanjutnya ada larangan perkawinan yang dijelaskan pada bab tersendiri, yaitu pada pembahasaan ketujuh. Dalam hukum Islam sendiri larangan perkawinan memiliki arti mahram (orang yang haram dinikahi), dan dalam Al-Quran menjelaskan tentang larangan perkawinan dengan aturan yang tegas dan terperinci. Tepatnya pada surah an Nisaa ayat 22-23. Pada buku ini menjelaskan ayat tersebut dengan rumusan-rumusan yang sistematis dari perpektif ulama.
Larangan perkawinan juga terdapat pada undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang diatur dalam pasal 8. Pada buku ini memberikan penjelasan tentang pasal ini bahwa larangan bagi seorang pria dan wanita untuk melakukan poligami, kecuali terdapat ketentuan lain yang memperbolehkan seorang pria untuk menikah lagi. Jadi bahwa, Undang-Undang Perkawinan maju selangkah dengan poligami sebagai salah satu larangan kawin.
Dijelaskan lagi di buku ini dari pandangan kompilasi huku Islam. Kompilasi hukum Islam dalam masalah larangan perkawinanan, cukup berbeda dengan undang-undang perkawinan. Kompilasi hukum Islam menjelaskanya lebih rinci dan tegas serta dalam persoalaan ini menggunakam metode yang sama dengan sistematika fikih yang telah baku. Tepatnya tercantum dalam Bab VI pasal 39 sampai pasal 44. Dalam buku ini masing-masing pasal dicantumkan dan diberikan gambaran awal isi pasal tersebut. Setelah itu, diberikan analisa dengan mengkomparasi antar hukum diatas dan mencamtumkan juga pendapat dari tokoh.
Pembahasan yang kurang diperhatikan kebanyakan buku lain yang membahas tentang perkawinan yaitu poligami, padahal poligami ini termasuk masalah yang berhubungan erat dengan perkawinan dan banyak dipertanyakan serta diperdebatkan di kalangan masyarakat. Pada buku ini memperhatikan masalah ini dengan membahasnya dalam salah satu bab tersendiri yang berisi tentang alasan dan prosedur poligami.
Poligami disini, jika dilhat dari hukum Islam, Al-Quran juga menyinggung tentang masalah poligami ini pada surah an-Nisaa ayat 3 dan ayat 129, dan pada buku ini juga dilengkapi juga dengan penafsiran serta dipaparkan juga pendapat penulis mengenai poligami dan juga diberikan pendapat dari ulama-ulama fikih yang juga menjelaskan tentang syarat-syarat dan alasan dari poligami itu sendiri. Sehingga pemabaca dapat memehami benar hukum dari poligami yang sesuai dengan syariat Islam.
Namun dalam Undang-undang perkawinan menganut asas monogami yang tercantum pada pasal 3, akan teteapi pada bagian pasal lain ad juga yang menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami bisa dibenarkan. Contohnya pada pasal 4 undang-undang perkawinan yang berisi tentang syarat suami jika ingin berpoligami. Namun dalam praktik berpoligami harus melalaui kewenangan da izin dari hakim pengadilan, seprti yang dinyatakan pada pasal 3 dan ayat 2.Â