Mohon tunggu...
Hilmi Tsaqif Muzakki
Hilmi Tsaqif Muzakki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hukum - Traveling

Selanjutnya

Tutup

Book

Book Review: Hukum Perdata Islam di Indonesia

7 Maret 2023   23:45 Diperbarui: 7 Maret 2023   23:54 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Pada pasal ini jelas bahwa undang-undang perkawinan secara tidak langsung melibatkan pengadilan agama sebagai institusi yang menaungi segala jenis permasalahan perkawinan seperti poligami. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami jika ingin poligami yang ditur dalam pasal 5 ayat 1 undang-undang perkawinan, dan dipertegas lagi dengan pasal 5 ayat 2. Penulis juga mencantumkan prosedur poligami menurut PP nomor 9 tahun 1975, tepatnya pada pasal 40 sampai 43.

Dari analisis penulis mengenai poligami adalah: Pertama, menyangkut prosedur poligami yang tampaknya memberikan wewenang yang cukup besar terhadap pengadilan. Kedua, makna keadilan sebagai syarat kualitatif poligami. Ketiga, berkenaan dengan substansi kebolehan poligami yang sering disalah pahami. Yang jelas poligami merupakan syariat agama yang keberadaannya jelas di dalam Al-Qur'an, terlepas bagaimana ayat tersebut di terapkan.

Selanjutnya, pada pembahasan kesembilan di buku ini mengenai hak dan kewajiban suami dan istri. Pada pembahasan ini melalui perspektif fikih, buku ini sedikit menarik dengan mengambil refrensi dari buku yang berjudul 'Uqud al-Lujian karangan Imam al-Nawawi al Batani. Alasanya karena pada buku tersebut popular dikalangan pesantren. Penulis mengambil semua aspek mulai dari pengertian kewajiban suami istri hingga hal-hal yang harus dialakukan suami istri sampai penjelasan Imam Nawawi al-Batani tentang materi ini. Sepertinya penulis memang benar-benar tertarik dengan bahasan dari Uqud al-Lujian mengenai padangan pengarang buku tersebut mengenai hak dan kewajiban suami dan istri.

Kemudia seperti biasa pada buku ini selalu mencantumkan perpektif Undang-udang perkawinan dan kompilasi hukum Islam. Pada Kompilasi Hukum Islam mengatur masalah hak dan kewajiban suami istri ini sangat perinci.

Pembahasannya dimulai dari Pasal 77-78 mengatur hal-hal yang umum, Pasal 79 menyangkut kedudukan suami istri, Pasal 80 berkenaan dengan kewajiban suami, Pasal 81 tempat kediaman dan Pasal 82 kewajiban suami terhadap istri yang lebih dari seorang, dan Pasal 83 bekenaan de ngan kewajiban istri. Sedangakan pada Undang-Undang Perkawinan memberikan aturan yang jelas berkenaan hak dan kewajiban suami istri. Hak dan kewajiban suami istri ini diatur di dalam Pasal 30 sampai 34.

Pembahasan mengenai putusnya perkawinan dan tata cara perceraian tidak luput dibahas pada buku ini. Tepatnya pada bahasan kesepuluh. Pada buku ini menurut saya agak berlebihan dalam membahas definisi dari putusnya perkawinan menurut fikih. Karena menyantumkan beberapa definisi yang isinya mirip-mirip. Putusnya perkawinan juga dibahas oleh kitab suci Al-Quran surah an-Nisaa ayat 43 dan 34. Penulis juga menyatumkan hadis yang dibahas secara komperhensif dan jelas mengenai pemicu terjadinya perceraian.

Putusnya perkawinan juga sudah ada pada pasal 1 undang-udanag perkawinan pasal 38. Buku ini juga menyenggol hukum perdata yang juga mebahas perihal yang sama pada pasal 493 dan kemudian juga mengambil pendapat dari para tokoh yang disertai dengan pendapat penulis. Pada kompilasi hukum Islam sepertinya juga mencontoh alur yang digunakaan undang-undang perkawinan, walau pun pasal-pasl yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan yang lebih terperinci. Pada materi kesepuluh ini juga memberikan paparan tentang permohonan cerai yang diulas secara lengkap.

Pembahasaan berikutnya yang kesebelas menegenai idah dan masalahnya. Iddah sendiri memeiliki makna yaitu perhitungan atau masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami. Pada buku ini juga dicantumkan pendapat ulama fikih masalah idah lalau menggali hikmahnya.

Ada hal penting juga yang di ulas buku ini yaitu hak dan kewajiban wanita dalam masalah idah. Hal ini dibahas melalaui beberapa pendapat dari banyak tokoh dan diberi penjelasan dari sudut pandang penulis. Hukum memang tidak menetapkan berapa lama, suami tersebut harus menjalani masa idahnya, tetapi paling tidak dengan berpijak pada asas kepatutan, seorang suami juga mestinya dapat menahan diri untuk tidak langsung menikah, ketika istrinya baru saja meninggal.

Pembahasaan ini dilengkapi dengan biaya penghidupan setelah perceraian. Hal ini ditetapkan pengadilan yang mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Namun ada ketentuan tersendiri bagi pegawai negri sipil tentang penentuan kewajiban untuk memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri, diatur tersendiri dalam PP Nomor 10 Tahun 1983 yang telah diubah dengan PP Nomor 45 Tahun 1990.

Menyangkut tentang idah sebenarnya tidak ada pergeser- an konseptual yang signifikan antara Fikih, Undang-Undang Perkawinan, PP Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 39 dan Kompila- si Hukum Islam. Mungkin ini disebabkan karena idah bersifat normatif seperti yang dinyatakan di berbagai ayat Al-Qur'an. Penulis juga memberikan pendapat yang menarik yang membandingkan KUH Perdata, hukum Islam, baik di dalam fikih, Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, sebenarnya jauh lebih rasional dan realistis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun