Mohon tunggu...
Hilman Gufron
Hilman Gufron Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Republik Islam Iran adalah Gambaran NKRI Bersyariah

26 Agustus 2019   06:44 Diperbarui: 26 Agustus 2019   07:04 2401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal Agustus kemarin, PA 212 menggelar Ijtimak Ulama IV yang menghasilkan empat poin pertimbangan dan delapan poin rekomendasi. Salah satunya meminta umat Islam untuk sama-sama mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bersyariah. Pada poin pertimbangan, Ijtimak Ulama IV menyebut seluruh ulama menyepakati penegakan khilafah adalah kewajiban agama Islam.

Peristiwa ini menimbulkan berbagai respon yang beragam. Mahfud MD misalnya, mengatakan bahwa slogan NKRI bersyariah itu berlebihan. Pasalnya, Indonesia sendiri sudah bersyariah dengan Pancasila nya. Ibarat memasang logo "Menjual Ikan" di pasar ikan.

Begitu pula Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Menurutnya, Indonesia bersyariah itu sudah ada pada sila ke satu Pancasila Ketuhanan yang Maha Esa. Pancasila sudah menjadi kesepakatan bersama antara kelompok nasionalis, kelompok Islam, dan kelompok kebangsaan.

Namun, Ketua PA 212 Haikal Hassan menjelaskan rumusan NKRI syariah yang tertuang dalam Ijtima Ulama IV hanya istilah. Pancasila dan UUD 1945 tetap sebagai dasar negara yang sah.

"Itu cuma istilah. Jangan jadi mentang-mentang NKRI bersyariah terus Pancasila hilang gitu, ya enggak. UUD 45 ilang? Ya enggaklah," kata Haikal usai menghadiri acara silaturahim dan dialog tokoh bangsa tentang Pancasila di Jakarta.

Tidak bakunya Ide bersyariah.

Fenomena sekelompok masyarakat yang menawarkan ide tentang keislaman kepada konsep bernegara bukan sesuatu yang baru. Namun, ide dan konsep yang ditawarkan sangat beragam oleh masing-masing kelompok.

Ada yang memutuskan untuk menjadi partai politik dan mewarnai kehidupan bernegara melalui legislatif, tanpa menyentuh konsep dasar. Ada yang bermanuver di luar partai seperti Ijtima' Ulama kemarin yang juga mencetuskan NKRI bersyariah dengan segala macam usulannya. Ada pula yang lebih ekstrim lagi, yaitu dengan cara mengganti dasar negara seperti ide-ide yang selama ini ditawarkan oleh HTI.

Menjadi negara agama pada era ini bukan sesuatu yang populer. Negara-negara di dunia pada umumnya adalah negara sekuler. Negara yang memiliki satu agama resmi bisa dihitung dengan jari. 

Malaysia, Pakistan, dan Mesir misalnya, sekalipun memiliki satu agama resmi, Islam, namun ketiganya memiliki konstitusi sendiri dan tidak berdasarkan kitab suci.

Arab Saudi dan Brunei, sekalipun keduanya dua dari sedikit negara yang Rajanya memiliki kekuasaan absolut, sejauh ini hanya Arab Saudi yang secara terang-terangan menyatakan bahwa konstitusi negaranya adalah kitab suci Al-Quran.

Ide yang dibawa oleh HTI tentang Khilafah 'Ala Minhajin Nubuwwah sendiri sebenarnya mustahil untuk dilakukan saat ini. Penambahan kata "Indonesia" pada Hizbut Tahrir sendiri menunjukan bahwa HTI hanya memperjuangkan ide nya di Indonesia.

Sedangkan konsep khilafah yang dibawa HTI cenderung negatif terhadap Nasionalisme. Penafsiran mereka terhadap Islam itu satu adalah bahwa Islam tidak boleh berserikat sendiri-sendiri. 

Apabila mayoritas masyarakat Indonesia setuju dengan konsep khilafah HTI, maka hanya Indonesia saja yang akan tepengaruh. Pada akhirnya HTI justru menciptakan negara Islam baru dan memberi jarak pada negara-negara Islam lain yang berdaulat. Sebagaimana yang dilakukan oleh ISIS.

Meniru Republik Islam Iran

Revolusi sebuah negara sekuler ke negara agama bukan sesuatu yang sering ditemukan, justru vice versa. Satu-satunya negara yang dirasa cukup berhasil merevolusi dirinya dari yang tadinya sekuler ke negara agama adalah Iran, Republik Islam Iran.

Apabila Indonesia yang masih dianggap sebagai negara sekuler ini ingin menjadi negara agama. Maka satu-satunya yang layak untuk menjadi contoh adalah Republik Islam Iran. Bukan hanya pengaruh Sosial dan Budaya, Segi Politik dan Ekonomi pun hampir serupa.

Meningkatnya Minat terhadap Islam

Trend meningkatnya minat umat muslim terhadap agama nya di Indonesia saat ini, sama seperti yang terjadi di Iran 40 tahun silam. Pemimpin Iran, Shah Pahlevi, memoles negara nya se sekuler mungkin. Ia sangat dekat dengan pemimpin-pemimpin barat. Hal ini memicu kebencian kaum-kaum agama yang pada saat itu cenderung pasif.

Pada 1960, Shah meluncurkan Revolusi Putih alias proyek modernisasi besar-besaran. Di antara program Revolusi Putih adalah nasionalisasi sumber daya air, pendidikan gratis, pemberantasan korupsi dan buta huruf, pemberian hak mencoblos dalam pemilu untuk perempuan, dan banyak lagi.

Sayang, administrasi Shah yang mengejar pertumbuhan mengabaikan pemerataan pendapatan. Dampaknya terasa ketika inflasi meroket ketika boom minyak berakhir pada 1976. 

Kaum-kaum marjinal selama ini melihat hanya segelintir oligarki saja yang menikmati kekayaan Iran. Oleh karena itu, Golongan Agama dan Golongan Komunis membentuk persekutuan untuk menggulingkan Shah.

Ketokohan Agama yang Kuat

Terjadinya inflasi dan hancurnya ekonomi Iran dijadikan sebagai senjata utama kaum agama untuk mempengaruhi masyarakat bahwa semua ini terjadi karena jauhnya Iran dengan perintah-perintah agama.

Jauh sebelum inflasi terjadi, tokoh-tokoh agama Islam di Iran sudah sering memperingatkan masyarakat akan bencana yang akan terjadi jika kekukasaan shah langgeng di Iran. Terbuktinnya peringatan itu menjadi dorongan baru bagi masyarakat untuk melakukan Revolusi.

Ayatollah Khomeini, tokoh tinggi agama Islam Iran, yang berada dalam daftar buronan shah, berpindah-pindah pengungsian. Hampir serupa dengan apa yang terjadi pada Habib Rizieq Shihab. 

Dipuja oleh pengikutnya, Tersangkut pidana di negaranya. Setelah dirasa tidak aman di tempat persembunyiannya di Irak, Khomeini pun memutuskan untuk mengasingkan diri ke Prancis.

Dari tempat yang jauh, Khomeini masih bisa memberikan propaganda-proganda terhadap shah kepada pendukung setianya di Iran yang semakin hari semakin bertambah.

1979, pasca jatuhnya Shah, 98,2 persen rakyat Iran menjawab "Ya" untuk pilihan dengan satu pertanyaan: "Apakah monarki digantikan oleh sebuah Republik Islam?".

Membangun Sebuah Republik Islam

Hal pertama yang dilakukan oleh Khomeini adalah mendirikan Dewan Revolusi dan komite-komite revolusi seantero negeri dengan masjid sebagai pusat kegiatannya. Kebijakannya yang paling besar adalah Revolusi Kebudayaan. Dikutip dari tirto.id oleh Windu Yusuf:

"Sebelum revolusi, orang minum di depan umum dan berdoa di kamar. Setelah revolusi, orang berdoa di depan umum dan minum di kamar," demikian pepatah yang populer beberapa tahun setelah Republik Islam Iran berdiri.

Revolusi kebudayaan ini benar-benar merubah kehidupan sosial dan budaya Iran. Dari yang tadinya kebarat-baratan diklaim menjadi lebih Islami.

Tanggung jawab presiden adalah memastikan konstitusi negara diikuti, dan juga mempraktikkan kekuasaan eksekutif. Tetapi presiden tidak berkuasa atas perkara-perkara yang di bawah kekuasaan Pemimpin Agung.

Pemimpin Agung merupakan pemimpin tertinggi di Iran. Ia bertanggung jawab terhadap "kebijakan-kebijakan umum Republik Islam Iran". Ia juga merupakan ketua pasukan bersenjata, dan badan intelijen Iran, dan mempunyai kuasa mutlak untuk menyatakan perang. 

Ketua kehakiman, stasiun radio, dan rangkaian televisi, ketua polisi, dan tentara, dan enam dari dua belas anggota Majelis Wali Iran juga dilantik oleh Pemimpin Agung.

Majelis Wali Iran mempunyai dua belas ahli undang-undang, dan enam dari mereka dilantik oleh Pemimpin Agung. Ketua Kehakiman akan mencadangkan enam anggota cadangan, dan mereka akan dilantik secara resmi oleh parlemen Iran atau Majles.

Majelis ini akan menafsirkan konstitusi, dan mempunyai hak veto untuk keputusan, dan keanggotaan parlemen Iran. Jikalau terdapat undang-undang yang tidak sesuai dengan hukum syariah, maka akan dirujuk kembali oleh parlemen.

Ijtima Ulama dengan usulan NKRI bersyariahnya sangat memungkinkan untuk meniru model ini. Dengan model seperti Republik Islam Iran ini, maka negara tetap memiliki konstitusi, dengan Majelis yang diisi oleh tokoh agama berpengaruh untuk memutuskan undang-undang mana yang sesuai syariat dan mana yang tidak.

Menjadi Calon Presiden pun harus dengan restu Majelis Wali, yang juga diisi oleh ulama-ulama dan agamawan-agamawan agar presiden terpilih kelak tetap selaras dengan gagasan negara Islam.

Hanya saja, halangan terbesarnya, sama seperti halangan bagi negara lain, persetujuan dari masyarakat Indonesia sendiri. Tokoh agama di Iran berhasil mengumpulkan 98,2% dukungan warga Iran. 

Sayang, warga negara Indonesia yang bila dilihat saat ini, sepertinya masih setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa embel-embel Syariah.

Rujukan

Tirto.id: Ayatullah Khomeini dan Revolusi Iran, Aliansi Getir Kiri dan Kanan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun