Kevin Kelly, ahli kultur digital mengatakan meningkatnya Attention Economy menyebabkan kekuatan sebuah produk makin terletak pada hal-hal yang tak tampak dan tak bisa diproduksi ulang. Produk dan cara memenangkan perhatian menjadi sangat personal, otentik, dan memiliki siklus hidup sangat singkat. Contoh: ketika meme kucing Maru mendapatkan perhatian dari 289 juta orang, lalu seminggu kemudian Anda membuat iklan produk bertema kucing Maru, Anda sudah kehilangan momentum.
Dengan demikian, setiap brand mesti mampu menempa kekuatannya yang tak tampak (intangible) untuk mentransaksikan perhatian ini. Setidaknya ada 8 bentuk: kesegeraan, personalisasi, interpretasi, otentik, aksesibilitas, wujud, patronase, dan mudah ditemukan. Masalahnya, di dunia yang makin personalized, tak ada metode one-fit-for-all untuk ini dan tak bisa direpetisi terus-menerus. Untuk bisa memenangkan perhatian, brand mesti dinamis, adaptif, otentik, dan terpersonalisasi. Iklan dengan model generik makin tak relevan.
Iklan masa depan hanya eksis untuk satu tujuan: memenangkan perhatian untuk mengubah tindakan. Menggunakan intrusi dengan pendekatan baru dan makin terhubung dengan konsumen secara otentik (more authentic engagement).
Berharap bahwa tindakan konsumen akan terjadi dengan segera setelah perhatian berhasil dimenangkan memang terdengar berlebihan. Tapi ini harus. Karena di era banjir informasi memenangkan perhatian saja sudah sulit, terlebih lagi merawatnya. Iklan masa lalu berjuang membangun awareness atau kesadaran. Dengan kata lain, tak masalah melihat iklan kita hari ini tapi membelinya minggu depan, karena dalam rentang waktu seminggu itu konsumen akan kita asupi setiap hari dengan iklan yang sama.
Cara itu tidak berhasil karena setiap orang melakukannya. Otak konsumen akan terus dibombardir dan didistraksi dengan berbagai macam informasi yang membuat daya tahan awareness/kesadaran itu menyusut dan hilang. Waktu rata-rata daya tahan sebuah perhatian hanya bertahan 8 detik. Bila dalam 8 detik itu konsumen tak mengambil tindakan atas perhatian, yang kita menangkan hanya perhatian yang singkat, tidak lebih.
Namun menambah volume iklan untuk memperbesar rasio awareness juga bukan lagi formula manjur. Pertama, selalu ada orang yang punya lebih banyak uang untuk membeli volume iklan lebih banyak daripada kita. Kedua, mungkin kita hanya menabur garam ke laut; menambah kebisingan di dunia user generated content. Ketiga, orang tidak suka iklan, titik.
Setiap penjual (sales person) tahu bahwa penjualan hanya terjadi pada moment of truth atau momen kritikal yang sangat menentukan sebuah keputusan pembelian. Ketika faktor kepercayaan, kebutuhan, keinginan, kemampuan, dan akses bersatu-padu dalam satu waktu dan ruang. Siapapun yang bisa mengeksploitasi faktor-faktor ini pada moment of truth dialah pemenangnya. Pada masa lalu, atau saat ini, momen tersebut sangat sulit ditemukan. Sehingga yang dilakukan brand umumnya adalah memperbesar volume iklan demi memperbesar peluang. Seperti ayam dan telur, kita akan terputar lagi pada dilema banjir informasi dan kebisingan.
Tapi kita tidak sedang bicara tentang masa sekarang, melainkan masa depan. Masa dimana uang tak lagi relevan dalam dunia periklanan. Kuncinya terletak pada kombinasi teknologi, data, dan kreativitas.
MENGGUGAT Â HOLY GRAIL DUNIA PERIKLANAN
Media sosial dan mesin pencari pada awalnya menjadi platform yang dulu hanya bisa diimpikan pengiklan sebagai sebuah ruang yang memungkinkan terjadinya brand advocacy dalam skala besar. Word of mouth seketika berubah menjadi world of mouth dalam ekosistem peer network. Hyper-trusted endorsement bukan fantasi lagi. Sebuah informasi bisa viral dalam waktu sekejap di medis sosial karena diinteraksikan secara masif, atau menempati peringkat tertinggi di mesin pencari karena klik dalam jumlah besar. Ditambah lagi dengan kecanggihan machine learning platform-platform tersebut yang mampu menyaring informasi (filtering) agar tetap relevan dengan individu. Dikatakan Mark Zuckerberg, rekomendasi jejaring (trusted refferal) adalah holy grail (cawan suci) dalam dunia periklanan.
Namun kita sekarang menyaksikan sendiri bahwa sistem rekomendasi ini punya masalah besar: masifnya hoax, echo chamber, permusuhan, dan makin menjauhnya kita dari hal-hal yang penting. Jujur saja, saya tak melihat ada yang penting dari keramaian #OmTeloletOm. Anak saya membeli sebuah spinner -- barang yang minim manfaat untuk dia -- karena viral di Youtube. Meme #MoneyCat tersebar puluhan juta kali. Semua ini untuk apa? Namun ikut serta di dalamnya seakan menjadi penting karena ia diputuskan secara kolektif oleh khalayak dalam dunia rekomendasi.
Apakah sistem rekomendasi yang kita kenal sekarang masih layak dipertahankan dan berkelanjutan? Apakah benar ini holy grail yang kita butuhkan?
Dalam buku Hooked: How to Build Habit-Forming Products, Nir Eyal menyebut bahwa sebuah produk mampu mengubah atau menciptakan perilaku. Media sosial adalah teknologi yang memungkinkan terjadinya pembentukan perilaku yang berdampak langsung pada tindakan sehari-hari. Buku ini secara praktikal menjelaskan tentang Hook Model: empat langkah mengoptimalkan engagement agar mampu mengubah perilaku orang lain. Buku ini disebut sebagai petunjuk bagi brand dalam memenangkan persaingan dan membentuk perilaku dalam dunia jejaring. Saya setuju. Hooked adalah buku untuk memenangkan hari ini. Namun Eyal tidak memberikan jawaban atas sesuatu yang justru ia kritik: sistem rekomendasi yang bermasalah pada sebuah dunia dimana informasi bisa dengan mudahnya direkayasa dan dibengkokkan.