Perkembangan teknologi saat ini tidak saja berdampak pada kemajuan dan modernisasi di berbagai bidang yang memudahkan manusia dalam menjalankan berbagai aktivitas sehari-hari. Perubahan tersebut menuntut manusia untuk dapat beradaptasi dan mengikuti perubahan tersebut. Arus informasi yang demikian deras karena teknologi membuat ruang private menjadi ruang publik dan mudah dikonsumsi orang lain. Tentunya ada manusia yang dapat mudah menerima dan beradaptasi dengan kondisi tersebut, tetapi di sisi lain tuntutan tersebut menjadikan individu lainnya dihadapkan kepada problem karena pada dasarnya tidak semua individu mampu beradaptasi dengan cepat. Munculnya problem tersebut otomatis menimbulkan konflik batin dalam diri mereka sehingga diperlukan cara efektif untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Kemajuan teknologi tersebut mengubah sebagian budaya manusia ke arah materialistis dan individualistis sehingga cenderung menempatkan manusia pada posisi yang tidak lagi memiliki kepribadian merdeka karena otomatisasi mesin secara tidak sadar telah mengatur kehidupan mereka sehingga mereka terjebak kepada rutinitas yang menjemukan. Kesibukannya kepada hal-hal yang bersifat materi dan bergaya hedonisme tersebut membuat kesadaran keagamaan menjadi berkurang. Dalam kondisi tersebut terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan materi dan kebutuhan rohani. Dari sinilah kemudian seringkali muncul konflik atau krisis mental. Krisis Krisis mental tersebut biasanya terjadi akibat dari terhalangnya seseorang dari apa yang di inginkan oleh salah satu motifnya yang kuat atau dipengaruhi oleh kondisi sosial dan moral dirinya sendiri. Orang akan menjadi sasaran kegalauan psikologis dan fisik, jika ia tidak mampu mengatasi krisis psikologis dengan cara yang cepat dan tepat.[1]Â Salah satu upaya mengatasi problem tersebut adalah melalui psikoterapi.
Psikoterapi adalah serangkaian metode berdasarkan ilmu-ilmu psikologi yang digunakan oleh para profesional (psikologi, guru, konselor, dsb) untuk mengatasi gangguan kejiwaan atau mental seseorang. Psikoterapi bertujuan memperkuat motivasi untuk melakukan hal-hal yang positif mengurangi tekanan emosi melalui pemberian kesempatan untuk mengekspresikan perasaan yang dalam; membantu klien mengembangkan potensinya; mengubah kebiasaan dan  membentuk tingkah laku baru; mengubah struktur kognitif; meningkatkan pengetahuan dan kapasitas untuk mengambil keputusan dengan meningkatkan pengetahuan diri dan insight, hubungan antar pribadi, lingkungan sosial individu,  proses somatik supaya mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kesadaran tubuh melalui latihan-latihan fisik, status kesadaran untuk mengembangkan kesadaran, kontrol dan kreativitas diri.[2]
Fitrah manusia
Pemahaman fitrah Secara etimologi menggambarkan konsep dasar struktur kepribadian, secara terminologi menggambarkan integritas hakekat struktur kepribadian, dan secara nasabi menggambarkan aktivitas, natur, watak, kondisi, dan dinamisme kepribadian. Berkaitan hal tersebut, Al-Ghazali memandang bahwa aktivitas, watak dan kondisi manusia pada dasarnya memiliki potensi yang baik karena dalam perspektif Al-Ghazali hakikat manusia sebagai al-ruh al-rabbaniyyah yang berarti manusia memiliki potensi dari sifat-sifat ilahiyah. Hal ini menunjukkan bahwa potensi dasar manusia atau tabiat, watak asli manusia adalah positif.
Untuk mencapai fitrah tersebut manusia memiliki dua kebutuhan, yaitu kebutuhan mutlak dan kebutuhan terikat (muqayyad).[5] Â Kebutuhan mutlak (kebutuhan vertikal) adalah kebutuhan seseorang kepada Allah Swt untuk mendapatkan petunjuk agar mengenal Allah Swt, yang kemudian dikenal dengan istilah metaneeds. Adapun kebutuhan terikat (muqayyad) adalah kebutuhan seseorang atas orang lain atau makhluk Allah Swt lainnya. Â Kebutuhan muqayyad ini digunakan untuk memperoleh sesuatu yang dapat mengantar seseorang melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Hubungan dua kebutuhan tersebut merupakan media dan sarana untuk melaksanakan kewajiban manusia mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Pandangan Al-Ghazali tersebut dapat dilihat dari hasil karyanya yang membahas mengenai adab dalam kitab Ihya ulum al-Din. Dalam kitab itu Al-Ghazali menyebutkan bagaimana seseorang memenuhi kebutuhannya seperti makan, minum, berpakaian, cinta dan kasih sayang yang seharusnya. Kebutuhan-kebutuhan yang dimaksud Al-Ghazali secara jelas tampak mengandung nilai-nilai moral dalam pemenuhannya. Sekalipun kebutuhan tersebut dalam tingkat rendah jika didasari akhlak yang baik maka kebutuhan tersebut memiliki nilai baik. Sebaliknya, sekalipun kebuthan tersebut adalah kebutuhan yang memliki sifat tertinggi, harga diri misalnya, apabila dicapai melalui perilaku yang tidak berakhlak baik maka kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang rendah.
Gambaran mengenai kebutuhan manusia di atas menjelaskan bagaimana manusia harus dapat mengendalikan kebutuhan-kebutuhan tersebut agar mencapai tujuan tertinggi, yaitu untuk dapat mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pergerakan hati (I’rab al-qalb) dan penilaian akal (al-’aql) terhadap doronga-dorongan yang muncul sangat berperan dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan dorongan-dorongan tersebut ke dalam sebuah perilaku manusia.
Struktur Kepribadian
Al-Ghazali membagi manusia dalam 4 (empat) bagian, yaitu al-qalb, al-ruh, al-nafs, dan al-‘aql. Keempat bagian tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pertama al-qalb, merupakan esensi dari manusia sekaligus menjadi obyek pertanggungjawaban terhadap perilaku manusia. Terdapat tingkatan pergerakan al-qalb menurut Al-Ghazali, yaitu raf’, fath, khafd, dan waqf.[6] Kondisi al-qalb berada pada tingkatan pertama ketiak seseorang melakukan zikir kepada Allah melalui muraqabah, hilangnya penyimpangan, dan lestarinya kerinduan. Ketika seseorang merasakan hatinya terbuka manakala ia rdha kepada Allah yang diaktualisasikan dalam bentuk tawakal, tulus, dan yakin maka al-qalb dalam kondisi fath. Namun di saat individu menyibukkan diri dari selain Allah Swt yang ditandai dengan perilaku bangga diri, riya, dan tamak maka sesunguhnya Âal-qalb seseorang dalam kondisi khafad. Kondisi yang terburuk dari al-qalb pada situasi waqf adalah disaat perilaku individu lalai dari Allah Swt dnegan ciri hilangnya rasa manis ketaatan, tiadanya rasa pahit kemaksiatan, dan ketidakjelasan halal.
Kedua, makna al-ruh memiliki arti seperti udara yang dibawa darah hitam dan disebarkan ke bagian tubuh melalui perataraan pembuluh darah. Al-ruh juga dimaknai Al-Ghazali sebagaimana makna latifah yaitu esensi manusia sekaligus obyek perbuatan yang menjadi pertanggung jawaban individu.