Abstrak
Tradisi dan budaya masyarakat Jawa tidak hanya memberikan warna dalam percaturan kenegaraan, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktik-praktik keagamaan. Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budayanya, meskipun terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Tradisi ruwatan dilakukan sebagai suatu permohonan agar manusia diselamatkan dari gangguan dan bencana yang mengancam hidup dan kehidupannya. Tradisi ruwatan juga bukan tradisi yang bertentangan dengan agama Islam, karena penggunaan media seperti dupa, air yang ada filosofi tersendiri yang pada kesimpulannya adalah sesaji sebagai bentuk persembahan. Persembahan dalam arti yang berbeda dengan persembahan kepada Tuhan yang bukan Allah pada zaman sekarang. Agar kegiatan ruwatan tidak dilupakan, maka dihadirkan sebuah penelitian kebahasaan terkait makna kata ruwatan. Teknik pengumpulan data adalah cara untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk menjawab permasalahan. Data dikumpulkan dari sejumlah sumber seperti hasil penelitian, jurnal, seminar, dan buku.Â
Â
A. Pendahuluan
Indonesia pada dasarnya memiliki keanekaragaman suku bangsa yang melahirkan bermacam-macam budaya. Setiap bangsa memiliki kebudayaan sendiri yang berbeda antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lainnya. Kebudayaan tersebut juga menjadikan masyarakat sebagai media pelestarian kebudayaan yang dimiliki suatu bangsa. Kebudayaan ini beraneka ragam bentuk dan jenisnya. Masing-masing kebudayaan menempati wilayah tertentu yang sesuai dengan adat istiadat, tradisi, dan nilai budayanya. Salah satunya adalah dalam masyarakat terdapat tradisi ritual yang dipercaya dan akan membawa mereka dalam menata kehidupan untuk yang lebih baik. Hal ini digunakan untuk menjaga kepercayaan agar adat yang telah menjadi kebiasaan dan memberikan identitas tersendiri bagi masyarakat setempat juga terjaga.
Agama dan budaya menjadi akulturasi yang banyak terdapat dalam tradisi di Indonesia. Ada beberapa cara yang dapat yang dipakai dalam memandang hubungan agama dan budaya, hubungan antara keberagamaan dan kebudayaan. Pertama, melihat agama sebagai menghargai budaya sebagai sumber kearifan. Kedua, melihat budaya sebagai warisan hikmah ketuhanan yang diturunkan lewat nabi-nabi yang di utus Tuhan sepanjang sejarah umat manusia.
Agama mayoritas masyarakat Indonesia ialah Islam, maka tidak heran banyak akulturasi budaya yang terjadi antara tradisi Indonesia dengan agama Islam. Akulturasi antara Islam dengan Budaya Nusantara ini dibawa oleh Walisongo dan para pendakwah setelahnya dengan teologi Hinduisme yang telah tertanam dalam budaya pemikiran bangsa Nusantara sebelumnya.
Salah satu tradisi yang masih dilakukan di Nusantara yaitu Ruwatan, Ruwatan merupakan tradisi adat Jawa yang memiliki keunikan sendiri atau berbeda dengan tradisi-tradisi di daerah lainnya. Ruwatan merupakan suatu tradisi budaya peninggalan nenek moyang sejak zaman dahulu. Tradisi ini secara turun temurun dilestarikan oleh para pendukungnya dengan berbagai motivasi dan tujuan yang tidak lepas dari pandangan hidup masyarakat Jawa pada umumnya. Seperti halnya di beberapa daerah di kabupaten Jember terdapat tradisi Ruwatan. Tradisi dan budaya adalah darah daging dalam tubuh masyarakat di manapun berada. Sehingga ketika tradisi dan budaya tersebut terakomodasi dalam suatu agama, akhirnya ajaran agama itu sendiri muncul juga sebagai hal yang mendarah daging dalam suatu komunitas masyarakat.
Pengertian ruwatan dalam bahasa Jawa Kuno, ruwat berarti lebur (melebur) atau membuang, ruwatan adalah salah satu cara untuk melepaskan diri dari dominasi energi negatif yang dalam bahasa Jawa Kuno disebut dengan Sengkala dan Sukerta. Orang yang diruwat adalah orang yang mengikis energi negatif (kesialan) berupa sengkala dan sukerta yang melekat pada dirinya, yaitu diri setiap orang sebagai efek dari dosa dan kesalahan. Tradisi upacara Ruwatan dilatarbelakangi oleh usaha penolakan terhadap suatu peristiwa yang telah dipercayai akan membawa petaka ataupun bencana bagi kelangsungan hidup diri dan keluarga dalam masyarakat. Maka dari itu, usaha untuk menghindari atau menanggulangi malapetaka tersebut diadakan upacara (ritual) penangkal (tolak bala) yang disebut dengan nama Ruwatan.
Peneliti merasa prihatin terhadap ketidakpedulian generasi muda Jawa terhadap tradisi-tradisi leluhur mereka, sehingga diharapkan dengan adanya penelitian seperti ini generasi muda tergugah untuk melestarikan kebudayaan daerahnya yang telah diwarisi secara turun temurun oleh nenek moyangnya. Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu ruwatan dalam rangka memyambut tahun.baru Hijriah di dusun Krajan desa Jatisari kecamatan Jenggawah kebupaten Jember. Ruwatan didesa ini dilakukan setiap tanggal 1 Muharram.
Ruwatan ini di bagi menjadi beberapa tahap. Yang pertama, yaitu pada sore hari pada pukul 14.30 WIB. Acara pertama ini ialah arak-arakan atau karnaval mengelilingi desa dengan pakaian layaknya JFC di Jember dan tidak lupa terdapat sebagian bapak-bapak ada yang membuat gunung-gunungan yang terbuat dari bambu dengan di kelilingi hasil panen desa mulai dari macam-macam buah hingga macam-macam sayuran sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki yang di peroleh para petani . da juga uang kertas yang dipasang mulai dari 2.000 hingga 100.000.Â
Yang kedua, yaitu pada malam hari pada pukul 18.00 WIB atau bada magrib. Acara ini mengundang seluruh masyarakat desa untuk datang dan berkumpul di tempat yang telah ditentukan untuk membaca tawasul, yasin, tasbih, tahlil, sholawat, hingga do'a bersama-sama. Yang terakhir, ialah do'a ruwat yang dipimpin oleh seorang ustadz. Setaelah serangkaian acara selesai masyarakat berbondong-bondong untuk mengambil buah-buahan, sayur-sayuran, dan juga uang yang telah dibentuk gunung tersebut. Acara ini ditujukan untuk seluruh masyarakat desa Jatisari khususnya dusun Krajan semoga seluruh dosa-dosa diampuni oleh Allah SWT, dan Seluruh amal baik diterima disisi-Nya, dan untuk kedepannya semoga masyarakat desa menjadi lebih baik iman dan Islamnya, dijauhi dari segala penyakit, dilimpahkan rejekinya serta diberikan umur yang barokah.
Ruwatan ini sesungguhnya bukan hanya akulturasi antara budaya dan agama Islam semata, Namun juga memiliki makna tersendiri. Menurut Clifford Geertz, kegiatan budaya manusia merupakan hal yang luar biasa dan sangat khas. Maka yang terpenting dalam memahami budaya adalah menggunakan pendekatan "interpretasi budaya" Clifford Geertz menjelaskan tentang definisi agama dalam lima kalimat, antara lain :Â
Agama sebagai sebuah system budaya berawal dari sebuah kalimat tunggal yang mendefinisikan agama sebagai berikut : 1) Sebuah sistem simbol yang bertujuan; 2) Membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang dengan cara; 3) Merumuskan tatanan konsepsi kehidupan yang umum; 4) Melekatkan konsepsi tersebut pada pancaran yang factual; 5)Yang pada akhirnya konsepsi tersebut akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik.
Dalam ruwatan desa Jatisari, nilai-nilai yang terkandung didalamnya sangat berati untuk kehidupan, seperti bentuk rasa syukur masyarakat dan lainnya. Banyak masyarakat mengatakan bahwa Ruwatan merupakan hal yang tidak ada dalam ajaran agama Islam. Karena dalam ruwatan terdapat sesaji yang digunakan untuk menjalankan ritual. Sama saja hal tersebut adalah melakukan syirik. Syirik merupakan dosa besar yang harus dihindari oleh orang yang taat beragama. Tetapi masyarakat tetap melakukan tradisi ruwatan ini karena mereka mempercayai bahwa tradisi tersebut bukan tradisi yang syirik karena dalam pelaksanaan tradisinya tetap menggunakan do'a-do'a yang ditujukan kepada Allah SWT, hanya saja dalam pelaksanaannya memang terdapat sesaji tetapi itu bukan berarti mereka meminta kepada selain Allah, itu hanya sebuah media saja.
Â
B. Metode Penelitian
Penelitian dalam karya ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati . Penggunaan metode kualitatif adalah mencari pengertian yang mendalam tentang suatu gejala, fakta atau realita. Fakta, realita, rnasalah, gejala serta peristiwa hanya dapat dipaharni bila peneliti rnenelusurinya secara mendalarn dan tidak hanya terbatas pada pandangan di permukaan saja. Jadi dalam penelitian ini, peneliti berupaya untuk mengkaji lebih dalam tentang suatu gejala, realita, fakta, masalah, peristiwa serta makna dalam Ruwatan yang ada di desa Jatisari ini.
Data yang terkumpul dalam penelitian ruwatan desa Jatisari dianalisis dengan melakukan pengecekan data observasi lapangan dan disesuaikan data utama yakni hasil wawancara dengan informan. Kemudian data ini dikelompokkan dan diorganisasikan menurut jenis, kualitas, dan relevansi nya terhadap penelitian. Komponen analisis yang digunakan adalah reduksi data, sajian data, pemeriksaan kesimpulan. Ketiga komponen tersebut terlibat dalam suatu proses dan saling berkaitan, sehingga menentukan hasil akhir dari penelitian. Reduksi data dilakukan dengan cara mengkategorikan berdasarkan tema tema yang ada. Kemudian data disajikan secara sistematis berdasarkan yang telah dirumuskan. Tampilan data yang dihasilkan digunakan untuk interpretasi data. Kesimpulan ditarik setelah di adakan kroscek terhadap sumber lain melalui wawancara, dokumentasi, serta pengamatan.
Â
C. Hasil Penelitian
Ruwatan dalam bahasanya adalah membuang sengkala dan dari adat Jawa kuno makuno. Ruwat adalah suatu konsep tradisional adat Jawa yang dipercaya dapat mendamaikan sesuatu demi tercapai keselamatan. Banyak orang Jawa yang melaksanakan tradisi ini, tetapi tidak hanya orang Jawa saja, masyarakat luar Jawa juga banyak yang melaksakan tradisi ini meskipun ada nama atau istilah lain yang membedakannya. Tujuan dilaksanakan tradisi ini adalah membebaskan seseorang dari pengaruh negatif atau buruk. Mereka percaya bahwa jika melaksanakan tradisi ruwatan ini mampu membebaskan seseorang dari negatif dan bahaya serta kesialan dalam hidupnya. Ruwatan tidak harus dilakukan pada bulan Suro. Ruwatan dapat dilakukan pada bulan apa saja selain Suro dan juga bisa pada hari apa saja. Tetapi tidak boleh dilakukan pada hari naas atau hari dalam hitungan Jawa yaitu hari apes.Karena manusia pasti mempunyai apes. Tetapi semua itu tergantung kepercayaan setiap individu. Jika masyarakat yang masih mengikuti adat Jawa dengan kental pasti akan percaya dengan hal semacam itu.
Pelaksanaan Ruwatan biasanya dilakukan dengan pagelaran wayang kulit/wayang purwa. Dalam Ruwatan Sukerto sebagai suatu sarana dilakukan menggelar wayang dengan cerita Murwakala/Ruwatan Murwakala dengan tokoh utama Batara Kala dan Dhalang Kandhabawana, atau cerita Sudamala/Ruwatan Sudamala dengan tokoh utama Durga dan Sadewa. Dalam Ruwatan Lingkungan/Sasana mengetengahkan pagelaran wayang, antara lain dengan cerita: Sri Boyong (tokoh utamanya Batari Sri), Semar Boyong (tokoh utamanya Ismaya), Babat Wanamarta (tokoh utamanya Pandawa lima), Nawa Ruci (tokoh utamanya Bratasena). Namun di desa Jatisari tidak ada pagelaran pewayangan sama sekali karena tidak adanya dalang di desa tersebut yang bisa melakukan pagelaran tersebut. Ruwatan tidak harus ada pertunjukkan wayang, tetapi kalau Murwakala harus ada pertunjukkan wayang. Murwakala dalam bahasa Jawa berarti ngeruwat kala, maksudnya adalah menghilangkan sengkala.
Semua kegiatan manusia tindakan, mantra-mantra, cerita dari mulut ke mulut, pada umumnya melibatkan simbolisme. Oleh karena itu, manusia bukan hanya sebagai animal rationale, tetapi juga homo simbolicus. Dalam lingkungan religius, fakta-fakta religius itu sendiri menurut kodratnya sudah menunjukkan sifatnya yang mengandung simbol. Dalam hal ini Clifford Geertz mengungkapkan tentang kebudayaan yang merupakan suatu pola makna yang ditularkan secara historis, yang diejawantehkan dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk simbol.
Dalam masyarakat desa Jatisari pasti ada pro dan kontra mengenai tradisi ini, termasuk tradisi ruwatan. Tidak semua masyarakat dapat menerima dengan baik tradisi ini. Karena sebagian masyarakat ada yang menganggap bahwa tradisi ruwatan itu adalah musyrik dan tidak boleh dilakukan karena sama saja meminta pertolongan kepada selain Tuhan. Jika kita meminta pertolongan kepada selain Allah, sama saja hal tersebut adalah melakukan syirik. Syirik merupakan dosa besar yang harus dihindari oleh orang yang taat beragama.
Sedangkan dalam tradisi ruwatan, bagi umat Islam yang taat, ruwatan adalah bisa dibilang berbau syirik. Tetapi tidak sedikit juga masyarakat yang tetap melakukan tradisi ruwatan karena mereka mempercayai bahwa tradisi tersebut bukan tradisi yang syirik karena dalam pelaksanaan tradisinya tetap menggunakan do'a-do'a yang ditujukan kepada Allah SWT, hanya saja dalam pelaksanaannya memang terdapat sesaji tetapi itu bukan berarti mereka meminta kepada selain Allah, itu hanya sebuah media saja.
Dalam hal ini Clifford Geertz juga telah merumuskan konsep keberagamaan mempunyai korelasi dengan penelitian ini. Teori Clifford Geertz yang merumuskan tiga konsep keberagamaan yaitu :
Abangan, yaitu varian dengan penekanan pada unsur-unsur tradisi lokal terutama pada upacara selamatan, kepercayaan kepada makhluk halus dan terhadap magis dan sihir.
Santri, yang menekankan pada aspek Islam murni.
Priyayi, yang menekankan pada aspek Hinduisme dan tergolong pada elemen birokrat.
Melalui pandangan 3 varian tersebut juga dapat dilihat indikasi dari pelaku pelaksanaan ruwatan dalam masih melaksanakannya tradisi lokal dengan keyakinannya dengan hal magis serta atribut sesaji dan pelaksanaan selamatan atau ruwatan sesuai dengan kategori abangan, hal tersebut dapat dilihat dari unsur yang ada pada ruwatan, penggunaan media yang masyarakat umum menganggap itu hal klenik yang ada pada kegiatan ini. Makna dari sesaji itu yang pada akhirnya dikonsumsi oleh anggota maupun masyarakat ditujukan sebagai rasa syukur atas nikmat dan rahmat yang telah ada. Pergeseran makna dan kepada siapa dari sesaji yang ditujukan pada zaman dahulu dan sekarang tentu berbeda.
Ruwatan merupakan prosesi yang diselenggarakan oleh masyarakat Jawa. Tujuan ruwatan membersihkan atau membebaskan diri dari sejumlah permasalahan hidup yang timbul akibat suatu peristiwa yang menciptakan nasib tidak baik, kesialan, dan berpotensi mencelakakan. Dengan demikan, pemaknaan terhadap tradisi Ruwatan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Jatisari didasari oleh latar belakang budaya, keyakinan kultural dan media kultural.
Â
D. Kesimpulan
Tujuan ruwatan dilaksanakan adalah membebaskan seseorang dari pengaruh negatif atau buruk. Mereka percaya bahwa jika melaksanakan tradisi ruwatan ini mampu membebaskan seseorang dari negatif dan bahaya serta kesialan dalam hidupnya. Ruwatan tidak harus dilakukan pada bulan Suro. Ruwatan dapat dilakukan pada bulan apa saja selain Suro dan juga bisa pada hari apa saja. Tetapi tidak boleh dilakukan pada hari naas atau hari dalam hitungan Jawa yaitu hari apes.
Sebagian masyarakat ada yang menganggap bahwa tradisi ruwatan itu adalah musyrik. Tetapi tidak sedikit juga masyarakat yang tetap melakukan tradisi ruwatan karena mereka mempercayai bahwa tradisi tersebut bukan tradisi yang syirik karena dalam pelaksanaan tradisinya tetap menggunakan do'a-do'a yang ditujukan kepada Allah SWT. Hanya saja dalam pelaksanaannya memang terdapat sesaji. Makna dari sesaji itu yang pada akhirnya dikonsumsi oleh anggota maupun masyarakat ditujukan sebagai rasa syukur atas nikmat dan rahmat yang telah ada.
Â
Daftar Pustaka
Cahyanti, "Mitos dalam Ritual Ruwatan Masyarakat Madura di Kecamatan Gending Kabupaten Probolinggo", Jurnal Edukasi, UNEJ, IV (1): 13-19, 2017.
Istaghfarin, Ida Fitria. "Agama dan Budaya (Studi Tentang Tradisi Ruwatan Masal di Kelurahan Kadipaten Kabupaten Bojonegoro)". Skripsi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018.
Rahmawati, Fira. "Makna Tradisi Ruwat Agung Nusantara Majapahit Dalam Komunikasi Budaya di Desa Trowulan Mojokerto." Skripsi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018.
Rahmat. "Makna Leksikal dan Makna Gramatikal: Ruwatan, Sukerta, dan Murwakala". Literasi: Universitas Sebelas Maret Surakarta, Vol. 5, No. 2, 2015.
Sahal, Aziz, "Islam Nusantara Dari Ushul Fiqh Hingga Konsep Historis", Bandung: Mizan Pustaka, 2015.
Yanti, Fitri. "Pola Komunikasi Islam Terhadap Tradisi Hertodoks (Studi Kasus Tradisi Ruwatan)". Analisis: IAIN Raden Intan Lampung, Vol. XIII, No. 1, 2013.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI