Pelaksanaan Ruwatan biasanya dilakukan dengan pagelaran wayang kulit/wayang purwa. Dalam Ruwatan Sukerto sebagai suatu sarana dilakukan menggelar wayang dengan cerita Murwakala/Ruwatan Murwakala dengan tokoh utama Batara Kala dan Dhalang Kandhabawana, atau cerita Sudamala/Ruwatan Sudamala dengan tokoh utama Durga dan Sadewa. Dalam Ruwatan Lingkungan/Sasana mengetengahkan pagelaran wayang, antara lain dengan cerita: Sri Boyong (tokoh utamanya Batari Sri), Semar Boyong (tokoh utamanya Ismaya), Babat Wanamarta (tokoh utamanya Pandawa lima), Nawa Ruci (tokoh utamanya Bratasena). Namun di desa Jatisari tidak ada pagelaran pewayangan sama sekali karena tidak adanya dalang di desa tersebut yang bisa melakukan pagelaran tersebut. Ruwatan tidak harus ada pertunjukkan wayang, tetapi kalau Murwakala harus ada pertunjukkan wayang. Murwakala dalam bahasa Jawa berarti ngeruwat kala, maksudnya adalah menghilangkan sengkala.
Semua kegiatan manusia tindakan, mantra-mantra, cerita dari mulut ke mulut, pada umumnya melibatkan simbolisme. Oleh karena itu, manusia bukan hanya sebagai animal rationale, tetapi juga homo simbolicus. Dalam lingkungan religius, fakta-fakta religius itu sendiri menurut kodratnya sudah menunjukkan sifatnya yang mengandung simbol. Dalam hal ini Clifford Geertz mengungkapkan tentang kebudayaan yang merupakan suatu pola makna yang ditularkan secara historis, yang diejawantehkan dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk simbol.
Dalam masyarakat desa Jatisari pasti ada pro dan kontra mengenai tradisi ini, termasuk tradisi ruwatan. Tidak semua masyarakat dapat menerima dengan baik tradisi ini. Karena sebagian masyarakat ada yang menganggap bahwa tradisi ruwatan itu adalah musyrik dan tidak boleh dilakukan karena sama saja meminta pertolongan kepada selain Tuhan. Jika kita meminta pertolongan kepada selain Allah, sama saja hal tersebut adalah melakukan syirik. Syirik merupakan dosa besar yang harus dihindari oleh orang yang taat beragama.
Sedangkan dalam tradisi ruwatan, bagi umat Islam yang taat, ruwatan adalah bisa dibilang berbau syirik. Tetapi tidak sedikit juga masyarakat yang tetap melakukan tradisi ruwatan karena mereka mempercayai bahwa tradisi tersebut bukan tradisi yang syirik karena dalam pelaksanaan tradisinya tetap menggunakan do'a-do'a yang ditujukan kepada Allah SWT, hanya saja dalam pelaksanaannya memang terdapat sesaji tetapi itu bukan berarti mereka meminta kepada selain Allah, itu hanya sebuah media saja.
Dalam hal ini Clifford Geertz juga telah merumuskan konsep keberagamaan mempunyai korelasi dengan penelitian ini. Teori Clifford Geertz yang merumuskan tiga konsep keberagamaan yaitu :
Abangan, yaitu varian dengan penekanan pada unsur-unsur tradisi lokal terutama pada upacara selamatan, kepercayaan kepada makhluk halus dan terhadap magis dan sihir.
Santri, yang menekankan pada aspek Islam murni.
Priyayi, yang menekankan pada aspek Hinduisme dan tergolong pada elemen birokrat.
Melalui pandangan 3 varian tersebut juga dapat dilihat indikasi dari pelaku pelaksanaan ruwatan dalam masih melaksanakannya tradisi lokal dengan keyakinannya dengan hal magis serta atribut sesaji dan pelaksanaan selamatan atau ruwatan sesuai dengan kategori abangan, hal tersebut dapat dilihat dari unsur yang ada pada ruwatan, penggunaan media yang masyarakat umum menganggap itu hal klenik yang ada pada kegiatan ini. Makna dari sesaji itu yang pada akhirnya dikonsumsi oleh anggota maupun masyarakat ditujukan sebagai rasa syukur atas nikmat dan rahmat yang telah ada. Pergeseran makna dan kepada siapa dari sesaji yang ditujukan pada zaman dahulu dan sekarang tentu berbeda.
Ruwatan merupakan prosesi yang diselenggarakan oleh masyarakat Jawa. Tujuan ruwatan membersihkan atau membebaskan diri dari sejumlah permasalahan hidup yang timbul akibat suatu peristiwa yang menciptakan nasib tidak baik, kesialan, dan berpotensi mencelakakan. Dengan demikan, pemaknaan terhadap tradisi Ruwatan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Jatisari didasari oleh latar belakang budaya, keyakinan kultural dan media kultural.
Â