Mohon tunggu...
Hilda Inayatul Fadila
Hilda Inayatul Fadila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar/Universitas Islam Negeri Sunan Gunug Djati

Hilda Inayatul Fadila, seorang mahasiswa di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. saat ini, ia sedang berfokus pada studinya dan aktif dalam kegiatan ekstern kampus.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Noemodernisme di Indonesia: Gagasan Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid

13 Desember 2024   06:30 Diperbarui: 16 Desember 2024   11:03 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Menurut saya, gagasan Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid tentang Neomodernisme Islam di Indonesia merupakan suatu gerakan pemikiran positif yang muncul sebagai respons terhadap tantangan modernisasi dan kebutuhan untuk memperbarui pemikiran Islam. keduanya berkontribusi signifikan dalam merumuskan ide-ide neomodernis yang menggabungkan nilai-nilai Islam dengan konteks sosial dan budaya Indonesia.

       Sejarah Neomodernisme di Indonesia

Neomodernisme di Indonesia merupakan suatu gerakan pemikiran yang muncul sebagai respons terhadap tantangan modernitas dan kebutuhan untuk memperbarui pemikiran Islam. Gerakan ini dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan konteks sosial dan budaya Indonesia.

Neomodernisme berakar dari pemikiran ‘Fazlur Rahman’, seorang cendekiawan Muslim yang menekankan perlunya pembaruan dalam pemikiran Islam untuk menjawab tantangan zaman modern. Di Indonesia, neomodernisme mulai berkembang pada tahun 1970-an, ketika generasi intelektual baru yang terdidik di pesantren mulai menyerap pemikiran Barat dan tradisi keilmuan Islam klasik.

Pada akhir 1960-an hingga 1970-an, muncul gelombang baru pemikiran modern yang dikenal sebagai neomodernisme. Ini ditandai dengan kritik terhadap kelemahan gerakan pembaruan sebelumnya dan penawaran alternatif non-Barat untuk membangkitkan umat Islam dari ketertinggalan. Cak Nur, dalam seminar pada tahun 1970, mengemukakan pentingnya desakralisasi dan sekularisasi dalam konteks pemikiran Islam, yang memicu perdebatan sengit di kalangan intelektual Muslim.

1. Nurcholish Madjid (Cak Nur)

Nurcholish Madjid, yang akrab dipanggil ‘Cak Nur’, lahir pada 17 Maret 1939 di Jombang, Jawa Timur. Ia adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia yang dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam gerakan neomodernisme Islam di Indonesia.

Cak Nur lahir dalam keluarga yang memiliki latar belakang pendidikan agama yang kuat. Ayahnya, K.H. Abdul Madjid, adalah seorang kyai terkemuka yang berpengaruh di pesantren Tebuireng, yang didirikan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Cak Nur dibesarkan dalam lingkungan pesantren dan menerima pendidikan agama sejak dini. Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat dan melanjutkan ke Madrasah al-Wathaniyah yang dikelola oleh keluarganya sendiri.

Setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren, Cak Nur melanjutkan studi ke Kulliyyat al-Mu'allim al-Islamiyyah (KMI) di Pondok Modern Gontor dan lulus pada tahun 1960. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Chicago, Amerika Serikat, di mana ia meraih gelar doktor dalam bidang Studi Islam di bawah bimbingan Fazlur Rahman.

Cak Nur aktif dalam berbagai organisasi mahasiswa dan pernah menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) selama dua periode. Ia dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan modernisasi dalam Islam dengan mengusung gagasan-gagasan tentang toleransi, pluralisme, dan sekularisasi. Salah satu slogan terkenalnya adalah "Islam Yes, Partai Islam No," yang mendorong umat Islam untuk tidak terjebak dalam politik identitas sempit.

Selain itu, Cak Nur juga menjabat sebagai Rektor Universitas Paramadina di Jakarta dari tahun 1998 hingga wafatnya pada tahun 2005. Ia berkontribusi besar dalam pengembangan pemikiran Islam moderat dan sering menjadi pembicara dalam seminar-seminar internasional.

Nurcholis Madjid memperkenalkan gagasan bahwa Islam harus relevan dengan konteks sosial dan budaya Indonesia. Ia menekankan pentingnya sekularisasi dan pluralisme, serta memisahkan antara agama dan politik formal.

Nurcholish Madjid dikenal dengan jargon "Islam Yes, Partai Islam No!" yang mencerminkan pandangannya tentang perlunya memisahkan antara identitas keagamaan dan politik formal. Ia mendorong sekularisasi dan pluralisme dalam masyarakat, serta menekankan pentingnya toleransi antaragama.

Karena dikenal dengan gagasannya yang progresif dan sering kali kontroversial, Ia berusaha mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan konteks sosial budaya Indonesia. Beberapa publikasi pentingnya mencakup artikel tentang tantangan modernisasi bagi umat Islam di Indonesia serta pentingnya memperbarui pemikiran keagamaan agar relevan dengan perkembangan zaman Pemikirannya berfokus pada:

  • Sekularisasi: Mendorong pemisahan antara urusan agama dan negara.
  • Pluralisme: Menerima keberagaman sebagai bagian dari kehidupan beragama.
  • Indigenisasi Islam: Mengadaptasi nilai-nilai Islam dengan tradisi lokal tanpa kehilangan esensi ajaran.

Nurcholis Madjid merupakan simbol pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Melalui karya-karyanya dan pengaruhnya dalam pendidikan serta aktivisme sosial, ia telah meninggalkan warisan intelektual yang mendalam bagi generasi penerus dan terus menjadi referensi penting dalam diskursus keagamaan di Indonesia. Nurcholish Madjid meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata sebagai penghormatan atas jasa-jasanya bagi bangsa dan negara.

2. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal sebagai Gus Dur, lahir pada 7 September 1940 di Jombang, Jawa Timur. Gus Dur adalah putra dari KH Wahid Hasyim, seorang tokoh terkemuka dalam Nahdlatul Ulama (NU), dan Hj. Sholichah. Ia adalah cucu dari KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU. Dalam lingkungan keluarga yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan, Gus Dur tumbuh dengan pendidikan agama yang kuat.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Indonesia, Gus Dur memperdalam ilmu agama di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta dan kemudian melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, di mana ia mendalami ilmu keislaman dan memperluas wawasan tentang pluralisme dalam Islam. Ia merupakan seorang tokoh Muslim, pemimpin politik, dan Presiden keempat Republik Indonesia yang menjabat dari 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.

Gus Dur aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama dan menjabat sebagai Ketua Umum PBNU dari tahun 1984 hingga 1999. Ia dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan moderasi, toleransi, dan pluralisme dalam Islam. Selain itu, Gus Dur juga terlibat dalam berbagai kegiatan kebudayaan dan sosial, termasuk mendirikan Teater Bengkel di Yogyakarta.

Pada era Orde Baru, Gus Dur menjadi kritikus vokal terhadap rezim Soeharto dan berperan penting dalam gerakan reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Ia mendukung perubahan politik menuju demokrasi yang lebih terbuka dan inklusif.

Setelah jatuhnya rezim Soeharto, Gus Dur terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia keempat melalui pemilihan oleh MPR hasil Pemilu 1999. Selama masa kepemimpinannya, ia dikenal sebagai "Bapak Pluralisme" karena upayanya untuk mempromosikan keberagaman di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Beberapa kebijakan pentingnya meliputi:

  • Pencabutan Inpres nomor 14 tahun 1967 yang melarang perayaan Imlek bagi warga Tionghoa.
  • Memisahkan TNI dari Polri.
  • Membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial.
  • Menerapkan otonomi daerah.

Meskipun masa pemerintahannya hanya berlangsung selama kurang lebih dua tahun, Gus Dur berhasil meninggalkan jejak signifikan dalam upaya menjaga toleransi antaragama dan memperkuat demokrasi di Indonesia. Gus Dur dikenang sebagai sosok yang memperjuangkan hak asasi manusia, toleransi antaragama, dan demokrasi. Warisan pemikirannya terus hidup dalam semangat keberagaman dan perjuangan untuk menciptakan masyarakat yang inklusif di Indonesia. Sebagai salah satu tokoh inspiratif dalam sejarah modern Indonesia, kontribusi Gus Dur tetap relevan hingga saat ini. Gus Dur meninggal dunia pada 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta akibat penyakit jantung koroner. Ia dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.

            Pemikiran Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid, yang juga dikenal sebagai Gus Dur, Menyuarakan pentingnya demokrasi dan hak asasi manusia dalam konteks Islam. Menurut saya, pemikiran Gus Dur berfokus pada integrasi antara agama dan negara, mendorong toleransi antaragama. mengedepankan ide-ide tentang pluralisme, demokrasi, dan perlindungan hak-hak minoritas. Ia percaya bahwa Islam harus menjadi kekuatan budaya yang berkontribusi pada pembangunan bangsa. Beberapa gagasannya meliputi:

  • Pluralisme. Ia menekankan bahwa Indonesia adalah negara yang multikultural dengan beragam kepercayaan agama, dan semua harus dihormati dan hidup berdampingan.
  • Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Gus Dur adalah pendukung teguh demokrasi dan hak asasi manusia. Sebagai Presiden Indonesia ke-4, ia berkomitmen untuk memperkuat demokrasi, kebebasan berpendapat, dan perlindungan hak-hak individu. Kontribusinya dalam memastikan masa transisi demokrasi Indonesia berjalan lancar sangat dihargai.
  • Anti-Korupsi. Gus Dur juga memiliki pandangan tegas terhadap korupsi. Ia mendukung langkah-langkah anti-korupsi dan memandangnya sebagai salah satu penyebab utama ketidaksetaraan dan ketidakadilan di masyarakat.
  • Kesejahteraan Sosial. Pemikiran Gus Dur juga mencakup kepeduliannya terhadap kesejahteraan sosial rakyat. Ia mendukung program-program yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan pendidikan, dan memperbaiki akses kesehatan bagi masyarakat yang kurang beruntung.
  •  Pendidikan dan Budaya Gus Dur adalah seorang intelektual yang memiliki cinta yang mendalam terhadap pendidikan dan budaya. Gusdur mendorong pengembangan pendidikan yang inklusif dan bervariasi, serta melestarikan budaya Indonesia yang kaya dan beragam.

Pemikiran Gus Dur adalah warisan berharga yang terus mempengaruhi masyarakat Indonesia dan dunia. Ia adalah sosok yang berkomitmen untuk menciptakan Indonesia yang lebih demokratis, inklusif, dan beradab. Pemikiran dan gagasannya tentang pluralisme, hak asasi manusia, dan perdamaian antaragama tetap relevan dan memberi inspirasi bagi generasi berikutnya dalam membangun negara yang lebih baik

    Kontribusi Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid Terhadap Pemikiran Islam di Indonesia

Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) dan Nurcholish Madjid (Cak Nun) adalah dua tokoh penting dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Keduanya memberikan kontribusi yang signifikan dalam mengembangkan pemikiran Islam yang moderat, inklusif, dan adaptif terhadap konteks sosial dan budaya Indonesia. Berikut adalah ringkasan kontribusi mereka:

A. Kontribusi Gus Dur

1. Konsep Islam Nusantara

Gus Dur mengembangkan gagasan tentang “Islam Nusantara”, yang menekankan nilai-nilai keislaman yang damai, toleran, dan berkeadilan sosial. Ia percaya bahwa Islam harus berakar dalam budaya lokal Indonesia dan mampu beradaptasi dengan dinamika sosial serta menerima keberagaman sebagai bagian dari kekayaan ajaran Islam.

2. Pluralisme dan Toleransi

Gus Dur adalah advokat kuat untuk ‘pluralisme’ dan ‘toleransi’ antaragama. Ia meyakini bahwa keberagaman adalah kekuatan bangsa, dan dialog antarumat beragama perlu dibangun untuk menciptakan masyarakat yang harmonis. Ia juga menyatakan bahwa "Tuhan tidak perlu dibela, tetapi umat-Nya perlu dibela," menegaskan pentingnya melindungi hak-hak manusia.

3. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Gus Dur mendorong penerapan ‘demokrasi’ sebagai elemen penting dalam Islam. Ia percaya bahwa prinsip musyawarah (as-syura) harus diintegrasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menekankan perlunya penghormatan terhadap hak asasi manusia.

4. Pribumisasi Islam

Ia mengusulkan ‘pribumisasi Islam’, yang berarti penyesuaian ajaran Islam dengan konteks budaya lokal, sehingga ajaran tersebut lebih relevan bagi masyarakat Indonesia tanpa kehilangan esensinya. 

Kontribusi Nurcholish Madjid (Cak Nun)

1. Pemikiran Kebudayaan dan Spiritualitas

Cak Nun menekankan pentingnya ‘kebudayaan’ dalam pengembangan spiritualitas. Ia percaya bahwa seni dan budaya dapat menjadi media untuk menyampaikan nilai-nilai moral dan etika. Pendekatan ini membantu menjembatani kesenjangan antara agama dan budaya lokal.

2. Dialog Antaragama

Cak Nun aktif mendorong ‘dialog antaragama’, serupa dengan Gus Dur, dengan tujuan membangun saling pengertian di antara berbagai komunitas keagamaan di Indonesia. Ia berargumen bahwa setiap agama memiliki hak untuk diakui dan dihormati.

3. Pendidikan Karakter

Ia juga menekankan pentingnya ‘pendidikan karakter’, yang tidak hanya fokus pada aspek akademis tetapi juga pada pengembangan moral dan etika siswa, agar mereka menjadi individu yang bertanggung jawab dalam masyarakat.

4. Kritik terhadap Materialisme

Cak Nun sering mengkritik budaya materialisme yang berkembang di masyarakat modern, menyerukan kembali kepada nilai-nilai spiritual yang lebih mendalam dalam kehidupan sehari-hari.

Kontribusi Gus Dur dan Cak Nun terhadap pemikiran Islam di Indonesia sangat berharga, terutama dalam konteks moderasi, pluralisme, dan integrasi nilai-nilai lokal ke dalam ajaran agama. Keduanya telah membantu membentuk wacana keagamaan yang lebih inklusif dan adaptif, serta mendorong masyarakat untuk menghargai keberagaman sebagai bagian dari identitas bangsa Indonesia.

Persamaan dan Perbedaan Gagasan Neo-Modernisme Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid

Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) dan Nurcholish Madjid (Cak Nur) adalah dua tokoh penting dalam pemikiran neomodernisme Islam di Indonesia. Meskipun keduanya memiliki tujuan yang sama dalam merespons tantangan modernitas, terdapat perbedaan dalam pendekatan dan fokus pemikiran mereka. Berikut adalah perbedaan pemikiran neomodernisme antara Gus Dur dan Cak Nur:

1. Pendekatan Terhadap Tradisi dan Modernitas

Gus Dur berusaha mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dengan modernitas. Ia percaya bahwa Islam harus ditafsirkan secara aktif untuk menjawab tantangan zaman, dengan tetap menghargai tradisi lokal. Ia menekankan pentingnya pluralisme dan toleransi sebagai bagian dari ajaran Islam yang relevan dengan konteks sosial Indonesia. sedangkan Cak Nur lebih menekankan pada desakralisasi ajaran agama dan sekularisasi nilai-nilai sosial. Ia berargumen bahwa umat Islam perlu melepaskan diri dari pandangan yang terlalu religius dalam hal-hal duniawi, sehingga dapat lebih terbuka terhadap perubahan sosial dan modernitas tanpa kehilangan identitas keagamaan.

2. Pandangan tentang Demokrasi

 Gus Dur melihat demokrasi sebagai manifestasi dari ajaran Islam yang menghargai pluralitas, keadilan, dan kebebasan berpendapat. Ia berkomitmen untuk memperjuangkan hak asasi manusia dan menganggap demokrasi sebagai inti perjuangannya. sedangkan Cak Nur lebih fokus pada pendidikan sebagai alat untuk mendorong transformasi sosial. Ia percaya bahwa pendidikan yang baik akan membentuk masyarakat yang kritis dan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, serta mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.

3. Gagasan tentang Sekularisme

Gus Dur tidak menolak sekularisme, tetapi lebih pada pemahaman bahwa negara harus netral terhadap agama tanpa menghilangkan peran agama dalam kehidupan masyarakat. Ia mendorong agar agama bisa berkontribusi dalam pembangunan moral masyarakat tanpa mengintervensi kebijakan negara secara langsung. sedangkan Cak Nur memandang sekularisasi sebagai proses penting untuk membebaskan umat Islam dari dogma-dogma yang membatasi pemikiran kritis. Ia ingin agar umat Islam mampu menduniawikan nilai-nilai agama sehingga tidak terjebak dalam pemikiran yang sempit.

4. Pengaruh Terhadap Gerakan Sosial

Sebagai tokoh NU, Gus Dur mempengaruhi gerakan kultural di kalangan santri untuk lebih terbuka terhadap modernitas sambil tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional. sedangkan Cak Nur mendirikan Paramadina sebagai lembaga pendidikan yang mendorong dialog antara tradisi keagamaan dan pemikiran modern, serta menjadi pusat bagi generasi muda untuk mengembangkan pemikiran kritis.

Kedua tokoh ini memiliki kontribusi besar dalam perkembangan pemikiran neomodernisme Islam di Indonesia, namun dengan pendekatan yang berbeda. Gus Dur lebih menekankan pada integrasi tradisi dengan modernitas serta penerapan prinsip-prinsip demokrasi, sementara Cak Nur lebih fokus pada desakralisasi nilai-nilai agama dan pendidikan sebagai alat transformasi sosial. Keduanya telah memberikan sumbangsih signifikan dalam menjawab tantangan zaman bagi umat Islam di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun