Mohon tunggu...
Karimah
Karimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis genre Moody

Percaya Tuhan, dan zodiak kelahiran. Anak pertama yang berzodiak Aquarius, suka ngemil garlic, doyan ikan, dan warna putih.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Payung Kuning

10 Juli 2021   21:30 Diperbarui: 10 Juli 2021   21:53 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara sepatu orang berjalan terdengar diantara lorong kelas yang kosong. Mata itu adalah fokus perjalananannya setelah tempat persinggahan yakni kelas seni. Bayangannya, menjadi alasan dirinya hadir mengikuti kelas hari ini. Berbunga-bunga, adalah perasaanku yang sama dengan  bajumu hari ini. Tak mudah mencarimu, namun tepat sekali aku tak pernah salah memanggilmu. Ini kisah tentang lika-liku perjuangan cinta yang tidak ada yang tahu akhirnya.

"Jam kedua, telah selesai. Dimohon untuk para pengajar meninggalkan kelas", bunyi bel elektronik sebagai pengingat jam kelas untuk mengganti mata kuliah atau tetap melanjutkannya.

Yura dan Febrian adalah mahasiswa seni dikampus kesenian di Jawa Timur Mereka adalah senior dan junior yang dipertemukan di kelas pintar melukis karena mereka memiliki kemampuan melukis yang unik dan indah. Yura adalah perempuan introvert yang kemana-mana selalu sendiri. Sedangkan Febrian meskipun introvert namun memiliki teman bernama Raffi dan Angga yang selalu ada untuknya. Terkecuali saat kelas pintar melukis karena, mereka tidak tergolong mahasiswa yang memiliki lukisan yang unik dan bagus. 

Pagi hari itu, Yura berada di perpustakaan karena suasananya yang nyaman untuk menemani dirinya mengerjakan tugas. Dibalik jendela kaca perpustakaan, laki-laki itu sedang berdiri dengan tangan kiri buku gambar kanvas dengan pensil di tangan kanannya. Melukis objek perempuan yang sedang memakai blouse motif bunga-bunga yang sedang duduk namun mampu membuat ilustrasi dengan dengan jelas dan mirip sekali. Dengan jarak dari kejauhan, laki-laki itu kini sedang ditemani kedua temannya yang berisik dan menggangu fokus menggambar.

 "Nampaknya ada pelanggan baru", tanya Angga menggoda.

"Bajunya  bunga-bunga bro," jawab Raffi karena tidak sengaja melirik gambar Febrian.

"Beda daripada sebelumnya", balas Angga setelah mengetahui target temannya.

Febrian menyembunyikan diri dibalik buku gambar miliknya dan berlari karena tertangkap oleh Yura.

Senin pagi hari itu, suasana kelas seperti biasa selalu ramai. Bangku tengah barisan kedua dan dua bangku disamping kanannya selalu ditempati oleh 3 perempuan yang dikenal sebagai manusia retro. Pertama Ayu, perempuan modis yang pintar membedakan berbagai macam warna namun sulit melukis apabila tema telah ditentukan. Kedua, Fitri, perempuan yang mirip dengan artis Shireen Sungkar yang tempat duduknya di antara Ayu dan Aira karena memiliki ingatan yang paling tajam dan memiliki ciri khas yang sangat retro sekali, dan terakhir Aira mahasiswi yang mirip dengan Dian Sastro dikenal banyak oleh teman satu kelas dan angkatan. Selain dikenal karena memiliki paras yang mirip Dian Sastro, Aira memiliki kemampuan membuat lagu, bernyanyi dan selalu terlihat terbaik dalam berpakaian. Tak heran,  banyak orang yang menyukainya. Sedangkan Aira sendiri sudah memiliki laki-laki yang dia inginan. Laki-laki tersebut adalah FebrianSelain mahir melukis, Febrian mahir memainkan alat musik. Pertama kalinya mereka bertemu saat class meeting berlangsung pada perlombaan musik.

Pukul 12.00, tepat waktu berakhirnya kelas melukis, beberapa mahasiswa keluar kelas secara bersaman. Yura tampak terburu-buru meninggalkan ruangan tersebut, dan Febrian diam-diam memperhatikannya sehingga tidak sempat merapikan alat melukis untuk di simpan di lemari kelas. Febrian mengikuti Yura namun kehilangan jejak dan mengira bahwa Yura pergi ke perpustakaan. Hampir satu jam Febrian mencari Yura disetiap sudut perpustakaan dan akhirnya menyerah. Febrian keluar dari ruangan perpustakaan tiba-tiba melihat bayangan Yura dari pantulan kaca. Menoleh dan mendapatkan Yura sedang jongkok menutupi mulutnya, tanpa berpikir panjang Febrian menghampirinya. Merasakan ada seseorang yang berdiri di depannya, Yura terdiam dan mendongkak.

"Kamu kenapa?", tanya Febrian.

Yura tidak menjawabnya, dan memilih bangkit mencari cara untuk pergi. Namun, ketika Yura melihat kearah taman di depannya, Febrian melihat ada darah yang mengalir pada pergelangan tangannya. Menyadari bahwa Ferdian sedang memperhatikan dirinya, Yura berlari kearah taman. Karena khawatir, Febrian mengejarnya hingga mereka lupa bahwa mereka berlari kearah kelas. Yura yang merasa sedang di kejar, memilih bersembunyi di ruangan kelas tempat dirinya mengikuti kelas melukis. Di kelas, dirinya mencari tisu yang biasanya ia bawa didalam tas. Diambilnya tissue untuk mengelap noda yang ada pada tangannya. Nafasnya yang masih tidak beraturan seketika dia terbelalak melihat ada lukisan wajahnya. Wajahnya yang tersenyum dengan latar tempat seperti di dalam ruangan perpustakaan. Lukisan yang setengah jadi namun terlihat professional sekali dalam melukis.

Sontak terkejut saat mengetahui siapa pemiliki sketsa lukisan wajahnya, sedangkan di balik jendela kelas, Febrian berdiri layaknya patung melihat apa yang terjadi di depannya. Waktu 15 menit berlalu, mereka baru sadar dengan keadaannya. Yura memilih keluar dari ruangan kelas tanpa memperhatikan sekitar.

Setelah kejadian tersebut, Yura hampir tidak terlihat mengikuti perkuliahan kelas pintar melukis. Menyadari hal ini, Febrian khawatir dan mencari tahu kepada teman-teman Yura.

Di kantin, Febrian dan teman-temannya duduk sedang memperhatikan sekitar. Tempatnya yang berlokasi outdoor seakan menyatu dengan alam dengan lebih dekat dengan terik matahari,  Angga yang tiba-tiba mengeluarkan game dan memainkannya. Sementara, Raffi izin menunaikan sholat Dzuhur di Musholla kampus yang tak jauh dari mereka.

Llagi nunggu siapa bro?", tanya Angga setelah melihat Febrian seperti sedang menunggu seseorang.

Dari kejauhan, Febrian melihat Ayu dan Fitri yang sedang membeli beberapa jajanan di kantin.

"Permisi, boleh minta waktunya sebentar?", tanya Febrian kepada keduanya.

Setelah selesai membeli makanan, Ayu dan Fitri menghampiri Febrian dan kawan-kawan.

Mereka duduk berhadapan di kursi kantin yang telah disediakan. Ferdian yang semula sungkan menanyakan suatu hal yang menurutnya penting berubah pikiran dan menjadi berani bertanya tentang keadaan Yura, teman sekelasnya. Mengetahui hal tersebut, Fitri dan Ayu merasa takut diketahui oleh Aira.

"Sudah hampir satu minggu ini Yura izin sakit, dan kami tidak tahu sakit apa", jawab Ayu.

" Semester ini, kalau di kelas dia sering duduk di belakang", sambung Fitri.

"Dia tidak dekat dengan siapapun".

"Tapi sepertinya Rafika tahu rumah Yura, soalnya dia yang selalu sempat mengabari tugas-tugas kuliah gitu", timpa Ayu.

Mendengar hal itu, Febrian ditemani Fitri dan Ayu ke kelas mereka untuk menemui Rafika. Rafika yang sedang duduk dibelakang, dihampiri oleh Febrian setelah Ayu dan Fitri kembali duduk ditempatnya. Setelah berbicara dan mendapatkan apa yang dicari, Febrian kembali ke kelasnya di lantai atas. Disana, kedua temannya sudah menunggu.

Selepas dari kuliah sore hari itu, Febrian pergi ke alamat rumah yang di berikan Rafika. Bermodal insting dan kemauan juga perasaan khawatir dan cinta terpedam, Febrian menemukan wanita yang dicarinya. Alamat yang diberikan ternyata tidak salah, setelah dirinya melihat perempuan yang dicari selama ini sedang mengangkat pakaian dijemuran.

Mereka bertemu dan saling bercerita di ruang tamu karena diluar tiba-tiba sedang hujan lebat, hingga tanpa terasa adzan Maghrib berkumandang. Hujan yang tak kunjung reda dan Yura memberikan pinjaman payung miliknya supaya tidak kehujanan kepada Febrian. Febrian membawa payung nya untuk mengambil bingisan yang tertinggal di dalam mobilnya. Bingkisan tersebut adalah sapu tangan dengan motif khas lukisan Febrian. Sedangkan payung berwarna kuning milik Yura dilukiskan dengan lukisan wanita yang mirip dengannya tanpa wajah.

18 tahun kemudian.

Syifa, nama panjangnya adalah Syifa Edizar. Seorang anak perempuan yang ceria, tangguh, dan manja bekerja sebagai relawan peduli lingkungan dan sebagai penjual tanaman. Hari itu dirinya mendapat pelanggan yang membeli bunganya untuk acara (event). Syifa dan satu temannya pergi ke tempat sesuai alamat berlangsunya acara. Ketika dirinya dan temannya menurunkan tanaman dan bunga-bunga dari cabin mobil pick up, sosok laki-laki tampan yang sedikit lebih tinggi sedang mengambil foto dirinya tanpa izin sehingga perasaan tidak terima.

"Permisi,mohon maaf saya bukan artis", kata Syifa dengan muka yang sedikit kesal.

"Saya bukan paparazzi", balas laki-laki itu tersenyum menggoda.

"Mbak Syifa dipanggil ibu Aira di dalam kantor", suara yang membubarkan perseteruan batin.

Mendengar ucapan temannya, Syifa masuk ke dalam ruangan ibu Aira yang merupakan pelanggannya  saat ini. Tertegun, dan pucat pada wajah ibu Aira saat melihat wajah Syifa. Dirinya merasa sedang flashback pada zaman kuliah beberapa tahun lalu. Salah satu temannya yang memiliki wajah yang sangat mirip dengan Syifa, wanita di depannya. Tak lama dari ketertegunannya, Syifa menyapa dan betanya alasan dirinya dipanggil.

Acara live music dalam peresmian produk kerudung dan pakaian muslim terlihat classic dan anggun dengan tanaman serta bunga yang dihiasi. Tak lupa kehadiran Ayu dan Fitri selaku teman lama Aira dan masih setia ikut memeriahkan acara sahabatnya tersebut. Syifa merasa takjub, dan sesaat ketakjubannya merubah menjadi bingung ketika melihat laki-laki yang mengambil fotonya tadi sedang dihampiri dan dirapikan lengan kemejanya oleh ibu Aira.

"Oh, cowok itu putra nya bu Aira? ppantes tadi mau kubuang tuh camera tapi itu kan camera mahal banget", lirih Syifa dalam hati setelah menduga-duga

Rok plisket berwarna hitam, atasan blouse motif bunga-bunga dengan balutan jaket rajut zaman dulu serta tak lupa kerudung persegiempat yang biarkan tergerai untuk menutupi dadanya. Gaya pakaian itu adalah khas fashion nya sedari kuliah. Wanita itu selalu membawa tas yang berisi payung kuning, obat-obatan, dan buku sketsa kecil kemana-mana. Menunggu jemputan dari anaknya, wanita setengah tua ini sedang duduk di kursi rumahsakit.

"Lagi hujan, aku jeput pake pick up ma. Udah deket,10 menit lagi sampai",  tulis Syifa melalui pesan Whatsapp kepada ibunya.

Setelah membaca pesan dari putrinya, wanita itu berdiri dan pergi dari ruangan rumahsakit,dengan payung kesayangnnya.terlebih, belakangan ini cuaca sedang tidak dapat diprediksi dan seringali turun hujan tiba-tiba. Payung kuning yang diberi lukisan dirinya merupakan payung satu-satunya yang ada di Indonesia agar mudah dikenali. Ketika wanita itu menunggu diluar dengan menggunakan payungnya, tiba-tiba terdengar suara yang memanggilnya. Suara laki-laki yang tidak asing, wanita dengan payung kuning menoleh, dan benar suara itu adalah suara dari laki-laki yang pernah dia kenal.  Seolah sedang bermimpi, laki-laki itu memegang tangan dirinya untuk meyakini bahwa ini benar-benar terjadi.

"Febrian?", tanya wanita itu yang ternyata adalah Yura.

"Kamu kemana saja selama ini? kamu sama siapa?", tanya Febrian khawatir Yura

"Aku menunggu jemputan" jawab Yura dengan ekspresi haru

"Kamu ngapain disini?" tanya kembali Febrian

Mobil pick up terparkir di depan ruang masuk rumahsakit. Yura membuka pintu mobil kemudian duduk di depan bersama anaknya.

"Siapa itu mah?", tanya Syifa tiba-tiba.

Teman mama dulu pas kuliah", balas ibunya pelan.

Lampu merah lalu lintas sedang menyala, Syifa mencoba mengingat laki-laki yang dilihatnya tadi karena menurutnya tidak asing.

"Oh iya, mirip cowok yang motoin aku itu", tiba-tiba Syifa mencelutuk.

Lampu lalu lintas warna hijau menyala, Syifa menancapkan gas nya hingga sampai rumah. Sesampainya di rumah Syifa menceritakan kejadian kemaren saat dirinya difoto oleh laki-laki yang mirip dengan laki-laki tua yang dilihatnya tadi. Syifa juga menceritakan tentang acara yang dia handle sekaligus pelanggan yang merupakan ibu dari laki-laki tersebut.

"Aira?", tanya ibunya karena terkejut saat mendengar namanya.

"Iya ma, cantik banget trus modis gitu. Ya anak cowonya juga sih. Camera yang buat foto aku itu mahal banget loh mah. Cuma orang yang berduit yang mampu membeli camera yang lengkap dengan lensa nya gitu", Kata Syifa menceritakan.

Ternyata Febrian menikah dengan Aira. Aira adalah teman sekelasnya saat masih kuliah 19 tahun yang lalu. Dirinya mengetahui bahwa Aira sangat menyukai Febrian. Yura juga mengingat bahwa temannya yang bernama Ayu dan Fitri selalu menjadi teman yang selalu ada untuk Aira dimanapun dan kapanpun.

Hari demi hari, peristiwa 2 hari ini seolah hiasan tidur yang dianggap tidak pernah bertemu selamanya. Jam dinding sedang menunjukkan pada angka 10. pagi ini Syifa kedatangan laki-laki dengan kaos putih bersama kemeja kotak-kotak grey navy juga celana berwarna nude. Syifa perlahan mendekat dan setelah menoleh ternyata laki-laki itu adalah orang yang mengambil fotonya beberapa waktu lalu.

"Hai, namaku Jefri yang pernah dimarahi karena motoin kamu" ,ucap laki-laki itu kemudian tertawa.

"Ada apa kesini? kamu kesini mau fotoin aku lagi?", tanya Syifa tanpa basa basi dengan maksud menanyakan tujuannya kemari.

"Kalau g keberatan?", balas Jefri.

" Haha, Mas gini ya. Yang pertama aku bukan model, kedua aku g suka difoto, ketiga...",

"Ya aku kesini mau cari bunga, buat bahan photoshot di studio ku. Kebetulan ini kartu namaku, aku tukang photo yang sedang menawarkan kamu jadi model produk jualan mamaku", Jefri memberikan sebuah kartu identitasnya.

"kenapa tidak ibu Aira langsung?" tanya Syifa memastikan.

"Aku dapat alamat ini dari orang kantor waktu acara mamaku itu. Masih ingat kan? Dan aku butuh model yang masih remaja. Supaya yang bisa menggunakan kerudung karya mamaku bukan cuma orang dewasa saja",  Jefri mencoba menjawab dugaan yang terlihat ada kecurigaan dari perempuan di depannya.

"Aku masih sekolah dan aku penjaga kebun ini. Biasanya mama yang ngurus kalau untuk acara tapi waktu itu mama lagi g enak badan".

"Its ok, aku baru lulus tahun ini kok, umur kita g selisih banyak pula. Jadi seru kan?".

Terdengar suara gelas pecah dari dalam rumah, Syifa berlari masuk ke dalam meninggalkan jeffri, sedangkan Jefri ragu-ragu untuk ikut masuk. Selama ditinggal Syifa, dirinya kembali memotret bunga-bunga yang ada di kebun tersebut.Dirinya melihat beberapa lukisan yang sangat indah. Satu persatu dipotret oleh dirinya hingga tanpa sadar, Syifa kembali.

"Sorry tadi mendadak aku tinggal. Lagi motret lukisan-lukisan ini ya?", tanya Syifa

"Iya, bagus-bagus. Seperti lukisan ayahku. Beliau alumni sekolah seni", Ujar Jeffri tanpa Syifa bertanya.

Membahas tentang sosok ayah, Syifa teringat dengan laki-laki yang dilihatnya saat didepan rumahsakit. Apakah benar laki-laki yang dilihatnya saat itu adalah bapaknya Jeffri, dan mengapa bisa ada persamaan ayah jeffri dan ibunya untuk mampu melukis dengan bagus. Tidak hanya itu, Syifa dan Jeffri langsung akrab karena membahas lukisan dan menjelaskan tentang bunga-bunga yang sedang tumbuh.

"Syifa, ini siapa?", tanya ibunya karena ada laki-laki bersama anaknya.

Syifa menceritakan siapa sebenarnya Jeffri, awal pertemuan hingga alasan dirinya kesini. Sedangkan Yura tertegun diam menatap wajah Jeffri. Setelah kejadian ini, Syifa dan Jeffri semakin lebih dekat berkomunikasi. Syifa menerima tawaran menjadi model kerudung milik ibu Aira dan akhirnya menjadi kekasih Jeffri. Hingga suatu hari...

"Dunia sempit ya..", ucap Jeffri di meja makan.

Jeffri berniat mengajak ayah dan ibu untuk memperkenalkan kekasihnya, Syifa di suatu tempat makan. Namun, ibunya berhalangan hadir karena situasi saat itu ayah Jeffri dan ibunya dalam proses perceraian. Syifa yang mengajak ibunya untuk hadir atas undangan kekasihnya merasa kurang beruntung pada hari itu.

Sebelumnya, Jeffri menemukan lukisan perempuan yang mirip sekali dengan wajah Syifa, namun dibawah lukisan tersebut tertulis Yura Yunita. Adapun lukisan lainnya adalah payung kuning dengan wanita berpakaian pakaian memakai rok dan kemeja motif bunga persis seperti style pakaian yang sering dipakai ibu Yura. Tidak hanya itu, Jeffri tidak sengaja melihat sapu tangan dengan warna gambaran yang sangat khas dengan gambaran ayahnya. Jeffri semakin yakin dengan perasaannya yang ganjal ini.

Permasalahan di dalam keluarga Jeffri masih belum selesai. Hampir satu tahun yang lalu ayah nya menggugat ibunya karena alasan ibunya tidak istri sekaligus ibu yang peduli terhadap keluarga. Satu tahun yang lalu merupakan awal bertemunya ayah Jeffri, Ferdian dan ibu Syifa, Yura. Tanpa sepengetahuan anak-anaknya, mereka beberapa kali bertemu untuk sekedar nostalgia zaman kuliah. Bertukar cerita hingga alasan Yura pergi tanpa kabar, maupun Ferdian yang hampir putus asa menjadi seorang pelukis. Tak hanya itu mereka sempat bercerita tentang keluarganya masing-masing. Yura yang memilih berpisah dengan ayah kandung Syifa, dan Ferdian yang merasa tak pernah bahagia selama bersama Aira.

"Selama ini ayah dan ibu Yura sering bertemu di belakang kita, Fa", ucap Jeffri dengan nada gemetar.

"Aku baru berani mengatakan sekarang karena aku tidak siap kehilangan kamu. Aku tidak siap menerima kenyataan kamu akan menjadi saudaraku". Jeffri menahan airmatanya.

"Ayahku dan ibumu memiliki niat melanjutkan hubunganya yang belum selesai. Dan aku sengaja, dalam sadar mengajak mu, ayah, dan ibu Yura kesini. Mama tidak datang karena mama tidak sanggup melihat kenyataan ini. Kalau ayah tidak bahagia dengan mama, kenapa baru sekarang ayah berani meggugat cerai? Kenapa tidak dari dulu? Jeffri tidak pernah melarang ayah berpisah dengan mama. Dan untuk ibu Yura, mohon maaf kali ini Jeffri harus melukai perasaan dengan menceritakan semuanya pada Syifa".

Mendengar semua cerita dari Jeffri, Syifa terpaku diam memandang gelas minuman di depannya.. Mengapa dirinya selama ini tidak pernah merasa, tidak pernah berpikir jika akhirnya sema ini berjalan tidak seperti yang diinginkan. Bagi ibunya, dirinya adalah penyembuh dari segala penyakit yang diderita. Bagi Jeffri, Syifa adalah penawar dalam racun-racun kehidupan nya. Syifa memandangi ibunya yang sedang sedih, dan pertama kalinya melihat nya menangis sedih seperti itu. Syifa memandang Ayah Jeffri yang diam tak mengucapkan sepatah katapun, dan melihat kekasihnya yang saling memandang dengan amarah yang belum padam.

"Kita menjadi keluarga saja, meskipun dengan ini kita saling menyakiti", untuk pertama kalinya Syifa mengeluarkan suara setelah hampir setengah jam diam

Mendengar kata-kata yang dilontarkan dari nya, mereka semua terdiam dan menahan nafas. Seolah mereka tidak percaya, ucapan itu keluar dari mulut anak yang berusia 18 tahun.

Dunia yang kuinginkan berlumuran darah dan hancur berkeping-keping. Aku mengiris dengan pisau ditangan dan hatiku. Pisau yang menikamku adalah panjang dan tajam. Mungkin hanya ujung pisau yang tersisa. Setelah itu akan menembus kepada siapa saja yang mendekat. Ini adalah kebenaran yang tidak terbantahkan. Salah namun tidak bisa disalahkan.

"kalau ibu mencintai pak Ferdian, dan alasan ibu kembali ke Jawa adalah karena dia, Syifa menerima. Dan jangan halangi Syifa yang akan pergi untuk melanjutkan studi". Setelahnya dia menatap Jeffri.

Syifa meninggalkan tempat duduknya, "jangan ikuti aku", ucap Syifa memperingatkan.

Semenjak kejadian hari itu, semuanya telah berubah. Keadaan yang tidak sama lagi, perasaan yang sudah tak bisa dibagi kembali, dan kenyataan yang memaksa satu sama lain menerima. Syifa menuntaskan pendidikan SMA dan melanjutkan kuliah di luar pulau. Jeffri memilih menyibukkan diri bekerja membuat project baru bersama teman-temannya. Febrian resmi bercerai dengan Aira dan melanjutkan kehidupannya sebagai guru musik, sedangkan Yura menjadi perawat kebun dan bunga miliknya.Masing-masing mereka memiih jalannya sebagai proses kehidupan, penyembuhan, dan penerimaan, sebagian ada yang merelakan perasaan nya terkubur. Akhir dari kisah, payung kuning lah yang masih menjadi pelindung dari turunnya air hujan. Awal bersama seseorang adalah akhir bagi hubungan lainnya.

Akan ada kata selamat dalam setiap kata selamat tinggal. Jika kamu berani mengucapkan selamat tinggal, kehidupan akan memberikanmu hadiah berupa lembaran baru. Ucapkan selamat tinggal untuk apapun yang melukai hati.

Dalam kehidupan dongeng yang modern ini, tidak ada akhir yang bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun