Selesai makan dan mencuci piring. Pergilah aku ke dapur membelah kayu bakar. Di kampung kami, masing-masing rumah punya dua kompor. Kompor kayu dan kompor gas.
"Alit!" Mama berjalan mendekatiku. "Bagaimana menurutmu?"
Aku menoleh. "Terserah Mama. Kalau Mama cocok, pinangkan dia untukku,"
Mama tahu aku tak pernah membantahnya sedikitpun. Aku lebih memilih melihat Mama bahagia. Untukku sendiri? Mungkin aku tipe yang mudah beradaptasi dengan segala suasana.
"Kalau gitu pergilah rapi-rapi. Malam nanti kita ke rumahnya bersama Om Firdaus."
Om Firdaus adalah adik mendiang Papaku. Selama ini aku memang dibesarkan oleh beliau selepas meninggalnya Papa. Dari wajahnya tampak beliau menyetujui keputusan mama untuk menjodohkan aku pada Seruni.
Sembari menunggu malam tiba, kesibukanku seperti biasa menjadi guru kecil di madrasah kampung. Aku cuma punya mimpi bisa menjaga amanat orang tua agar melanggengkan ilmu agama kepada para penduduk dan anak-anak kampung sini.
Kulihat Seruni sedang merapikan jemuran di depan rumahnya. Kebetulan madrasah tempat aku mengajar memang lewat depan rumah dia.
"Assalamualaikum, Dek," sapaku.
"Waalaikum salam, Bang," jawabnya. Wanita muda itu tersenyum sambil menundukkan wajahnya, kemudian ia masuk ke dalam rumah.
Begitu saja ...
Bahkan aku sendiri sulit melihat wajah cantiknya kecuali dari kejauhan. Itupun dengan curi-curi pandang dan keterasingan kami akan disatukan oleh Mama nanti malam.