"Orang tua Seruni tadi siang kemari, Lit," ujar Mama sambil duduk di sampingku.
Aku mendengar cerita Mama sembari makan.
"Mau gak menikah dengan dia?" tanya Mama kemudian.
Pertanyaan yang membuatku bingung. Kalau aku pria mapan mungkin mudah saja buatku menjawab itu. Tapi kondisiku masih dalam pertanyaan ... sanggupkah aku jadi seorang suami? Bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat. Bukan cuma nafkah batin, tapi juga nafkah lahir. Bukan cuma tubuh yang sehat tapi juga iman yang kuat.
Jadi prioritasku adalah mencari wanita yang ikhlas, sabar dan mau menjadi jamaahku. Yang terpenting dari kesemuanya adalah restu dari Ibu.
"Menurut, Mama? Baik gak dia? Mama cocok gak?"
Mama kembali menggeser duduknya dekat aku. Mata tua yang teduh itu menyimak ekspresi wajahku.
"Mama lihat dia pemalu, sopan, manis. Kebaikan wanita dilihat dari situ."
"Tapi dia bukan santri seperti keinginan, Mama. Dia terlalu cantik mungkin ... untukku, aku khawatir tidak bisa membahagiakan dia, Ma."
"Kalau dia bukan santri, kamu yang harus membimbingnya. Tugas mama sudah selesai menyekolahkanmu, sebagai pemimpin yang santri."
Aku tahu, Mama menyukai Seruni. Melihat dari wajah gadis itu, pastinya tak akan ada seorang pria pun yang akan menolaknya. Gadis itu pintar juga PEMALU. Batasan itu yang menurutku penting untuk dimiliki seorang wanita. Karena sifat malu cerminan dari iman seseorang.