Tak perlu teriak atau mengabari orang lain, perihal bahagia atau tidak. Karena ... kau tahu? Orang lain mungkin saja tidak peduli atau bisa jadi dengki.Manusiawi, 'kan?
"Bagaimana dengan kesedihan?" ucap Rasyid saat itu. Senin seminggu yang lalu. Saat itu kami duduk menghadap laut lepas di siang yang terik.
"Untuk apa juga cerita kesedihan? Minta dikasihani?" Kujawab lagi pertanyaan itu dengan pertanyaan.
Lelah setelah mencari kerang dan kepiting soka di pantai membawa kami berdua istirahat di bawah rimbun bakau. Akarnya yang kokoh dan rapat sanggup menahan pijakan kaki kami.
Kupandang laut lepas. Sudah tiga puluh tahun aku tinggal di kampung nelayan ini. Tak ada kesulitan di sini. Hanya saja ... apa aku punya mimpi?
Maksudku mimpi yang bikin aku bahagia lebih dari saat ini?
***
Tak aku pungkuri, usiaku saat ini 12.500 hari, dari sejak aku dilahirkan. Pastinya Ibu sudah memikirkan kapan beliau akan menimang seorang cucu. Tapi, kemana harus kucari seorang wanita yang ingin mendampingi hidupku.
Aku adalah pria yang sangat sederhana hanya bermodalkan ijazah lulusan tahfidz selepas Aliyah III. Mata pencaharianku hanya supplier kepiting soka kecil-kecilan.
Untuk meminang seorang wanita, minimal aku punya janji agar pendampingku bisa berharap dapat hidup berkecukupan denganku. Sayangnya ... tidak ada satupun yang bisa kujanjikan.
Selesai memanen kepiting dari tambak di hutan bakau. Segera kurapikan ikatannya dengan gedebok pisang yang sudah dikeringkan. Karena sorenya sudah harus diantar ke beberapa resto dan rumah makan seputar lingkar luar dari perbatasan kampungku.
"Orang tua Seruni tadi siang kemari, Lit," ujar Mama sambil duduk di sampingku.
Aku mendengar cerita Mama sembari makan.
"Mau gak menikah dengan dia?" tanya Mama kemudian.
Pertanyaan yang membuatku bingung. Kalau aku pria mapan mungkin mudah saja buatku menjawab itu. Tapi kondisiku masih dalam pertanyaan ... sanggupkah aku jadi seorang suami? Bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat. Bukan cuma nafkah batin, tapi juga nafkah lahir. Bukan cuma tubuh yang sehat tapi juga iman yang kuat.
Jadi prioritasku adalah mencari wanita yang ikhlas, sabar dan mau menjadi jamaahku. Yang terpenting dari kesemuanya adalah restu dari Ibu.
"Menurut, Mama? Baik gak dia? Mama cocok gak?"
Mama kembali menggeser duduknya dekat aku. Mata tua yang teduh itu menyimak ekspresi wajahku.
"Mama lihat dia pemalu, sopan, manis. Kebaikan wanita dilihat dari situ."
"Tapi dia bukan santri seperti keinginan, Mama. Dia terlalu cantik mungkin ... untukku, aku khawatir tidak bisa membahagiakan dia, Ma."
"Kalau dia bukan santri, kamu yang harus membimbingnya. Tugas mama sudah selesai menyekolahkanmu, sebagai pemimpin yang santri."
Aku tahu, Mama menyukai Seruni. Melihat dari wajah gadis itu, pastinya tak akan ada seorang pria pun yang akan menolaknya. Gadis itu pintar juga PEMALU. Batasan itu yang menurutku penting untuk dimiliki seorang wanita. Karena sifat malu cerminan dari iman seseorang.
Selesai makan dan mencuci piring. Pergilah aku ke dapur membelah kayu bakar. Di kampung kami, masing-masing rumah punya dua kompor. Kompor kayu dan kompor gas.
"Alit!" Mama berjalan mendekatiku. "Bagaimana menurutmu?"
Aku menoleh. "Terserah Mama. Kalau Mama cocok, pinangkan dia untukku,"
Mama tahu aku tak pernah membantahnya sedikitpun. Aku lebih memilih melihat Mama bahagia. Untukku sendiri? Mungkin aku tipe yang mudah beradaptasi dengan segala suasana.
"Kalau gitu pergilah rapi-rapi. Malam nanti kita ke rumahnya bersama Om Firdaus."
Om Firdaus adalah adik mendiang Papaku. Selama ini aku memang dibesarkan oleh beliau selepas meninggalnya Papa. Dari wajahnya tampak beliau menyetujui keputusan mama untuk menjodohkan aku pada Seruni.
Sembari menunggu malam tiba, kesibukanku seperti biasa menjadi guru kecil di madrasah kampung. Aku cuma punya mimpi bisa menjaga amanat orang tua agar melanggengkan ilmu agama kepada para penduduk dan anak-anak kampung sini.
Kulihat Seruni sedang merapikan jemuran di depan rumahnya. Kebetulan madrasah tempat aku mengajar memang lewat depan rumah dia.
"Assalamualaikum, Dek," sapaku.
"Waalaikum salam, Bang," jawabnya. Wanita muda itu tersenyum sambil menundukkan wajahnya, kemudian ia masuk ke dalam rumah.
Begitu saja ...
Bahkan aku sendiri sulit melihat wajah cantiknya kecuali dari kejauhan. Itupun dengan curi-curi pandang dan keterasingan kami akan disatukan oleh Mama nanti malam.
***
"Kami akan mengatur semuanya Wak Haji," sahut paman Firdaus pada Wak Seruni. Kebetulan Seruni memang tinggal bersamanya.
"Ya kau bantu-bantulah. Sedikit banyak, semua kan akan jadi keluarga juga nantinya. Kebetulan mereka berdua sama-sama anak yatim dan aku sebagai Waknya Seruni, juga sedang kurang sehat."
"Iya Wak. Rencananya sih begitu. Biar kami saja dari pihak mempelai pria yang mengatur semuanya, kasihan juga kalau harus memberatkan Mamak Seruni," tegas Om Firdaus.
Wak Haji menoleh pada Seruni yang duduk di sudut ruang tamu sebelah kanan, persis di belakangnya.
"Seruni ... mau kau menikah dengan Alit?" tanya pria paruh baya itu.
Seruni menjawab dengan senyum sambil tertunduk.
"Baiklah ... wak akan restui pernikahanmu," ucap Wak Haji.
Rupanya senyuman seorang wanita bisa juga berarti 'ya'. Kalau aku ... Menjawab pertanyaan Mama dengan senyum, pasti mama memburuku sampai aku berani bicara, 'ya atau tidak.' Â "Seorang pria dididik dengan lebih keras dari wanita agar jadi pemimpin tangguh," begitu kata Mama dahulu.
Akhirnya pihak orang tua  memutuskan agar kami menikah dengan  pilihan mereka, dengan seperangkat alat salat sebagai maskawin. Juga sejumlah emas untuk mempelai wanitanya.
Orang bilang menjadi anak yang penurut lebih mudah meraih kebahagiaan dunia akhirat. Kuikuti pepatah itu. Aku tak pernah bermimpi memiliki istri yang cantik seperti Seruni.
***
Pesta pernikahan diadakan seminggu setelahnya. Aku canggung? Ya ...
Kami bahkan diam saja satu sama lain. Aku sendiri sungkan melihat wajah istriku. Begitupun ia, setiap kali kami berpapasan mata, tidak ada suara yang terrdengar keluar dari mulut kami berdua, selain detak jantungku yang hampir menembus kepala.
Seorang pria harus berani, selalu itu yang kudengungkan di telingaku. Kalau perlu ... NEKAT, tapi tetap pakai perhitungan.
"Selamat, Lit. Jadi juga Kau menikahi Seruni, ya!!" Ucapan selamat dari Rasyid.
"Menyusul ya. Sepertiku," jawabku.
"Kutunggu jodohan Mamak sajalah sepertimu. Jadi gak usah capek-capek cari calon," bisik Rasyid kemudian.
"Iya lah. Daripada cari sendiri patah hati terus. Hahaha ...."
Pesta pernikahan dibuat sederhana, demi modal buat bangun rumah selepasnya. Karena Seruni tidak ingin satu rumah dengan Mama. Jadi terpaksa kuiyakan permintaannya. Membuatkan ia rumah sederhana di samping rumah Mama. Agar aku bisa tetap menjaga Mama, meskipun telah menikah.
Duduk di pinggir ranjang. Wanita yang sudah menjadi istriku ini menundukkan kepala. Rasa canggung belum hilang dari aura wajahnya.
Aku memperhatikan sosoknya. Mata, hidung, bibir, alis, pipi dan semua kelengkapan yang melekat di sana. Seruni memang gadis yang sangat cantik.
"Jadi sekarang?" tanyaku.
Seruni masih tertunduk malu. Aku melepaskan satu per satu perhiasan pengantin di tubuhnya. Terakhir kubuka jilbab yang menutupi mahkotanya.
Bukan sifatku yang mudah terkejut. Meskipun sempat terbelalak dengan yang terlihat di hadapanku.
Luka bekas operasi tempurung kepala  tampak membelah hampir setengah kepalanya, secara melintang. Seruni pun hanya memiliki separuh mahkota. Separuhnya lagi tak ada rambut di sana.
Segera kututup kembali jilbab istriku. Â Seruni menundukkan wajah semakin dalam. Wajahnya berubah lebih malu dari sebelumnya.
"Maafkan aku, ya, Bang," ucapnya.
Aku memeluknya. "Untuk apa maaf?"
"Aku cacat."
"Kau pikir aku sempurna?" Semakin erat aku memeluknya. "Cukup jadi istriku yang sholehah dan jadi anak ibuku yang baik."
Seruni menatap wajahku.
"Doakan abang, supaya jadi suami yang baik, ya."
Seruni mengangguk.
Memilih bahagia salah satunya mungkin memanusiakan manusia. Ini bagi manusia yang mengaku manusia. Kalau ia berkekurangan, maka aku pun demikian. Jika ia menuntut kesempurnaan ... sesungguhnya hanya Allahlah Sang Maha Sempurna dan tak akan ia dapatkan satu kesempurnaan pun dalam diriku.
Fin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI