Pagi itu. Kamis, 16 Januari 2020. Cuaca Bandung berkabut. Â Tak berbeda jauh dengan perasaan Nami saat itu. Kacau dan penuh tanda tanya.
Pintu ruangan terbuka. Dilihat oleh wanita itu, sosok pria yang pernah hidup bersamanya,  sedang tergeletak  dengan wajah pucat dengan sebuah selang oksigen melekat di hidungnya.
Nami berjalan mendekatinya.
"Mas?"
Terasa asing dengan keadaan yang dilihat saat itu. Nami duduk agak berjauhan.
Heru tersenyum, sesekali napasnya tampak berat. "Aku sakit, Mi."
"Ya ... aku tahu."
"Kemarilah agak dekat." Â Heru coba melambaikan tangannya.
Nami menggeser duduknya.
Sambil memegang tangan wanita itu. "Maafkan -- aku -- Mi," ucapnya terbata-bata.
Mata wanita itu menghangat. "Ya, Mas. Aku sudah maafkan semua tentang kita." Kenangan saat mereka bersama dahulu kembali terlintas.
Mengapa semua cinta sekarang menjadi luka? Kau adalah pria yang aku puja dahulu dan aku sendiri wanita yang kau perjuangkan dahulu. Kita berjalan, tertatih hingga berlari. Lalu, mengapa semua menjadi tak berarti, sekarang?
"Terima kasih, ya. Kamu memang baik. Aku tidak menyesal menjadikanmu ibu dari anak-anakku."