Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tarif PPN 11 Persan di Tengah Kesulitan Ekonomi dan Utang Negara yang Menumpuk

27 Maret 2022   02:36 Diperbarui: 27 Maret 2022   06:04 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh : Hidayatullah*

Rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen berdasarkan UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Hanya saja hingga kini publik belum mengetahui dan mendapatkan aturan turunan dari UU HPP ini apakah sudah dibuat oleh pemerintah mengingat untuk mengimplementasikannya harus diturunkan dalam peraturan pemerintah.

Apalagi rencana kenaikan sudah diwacanakan atau digaungkan sejak akhir 2021 lalu. Dari berbagai pemberitaan media pemerintah menyampaikan akan merealisasikannya pada 1 April 2022 yang dalam hitungan beberapa hari lagi.

Wacana itu sepertinya sudah akan diberlakukan dimana ponsel penulis sudah mendapatkan notifikasi pemberitahuan melalui pesan masuk (inbox) melalui Short Massage System (SMS) dari nomor 1212 pada Jumat, 25 Maret 2022, yang isi pesannya bahwa; "Merujuk pd UU No.7 thn 2021 ttg Harmonisasi Peraturan Perpajakan dr Pemerintah RI,mk PPN layanan ini akan berubah dr 10% mjd 11%.CS:188 Info:tsel.me/nsp".

Pesan yang sama juga masuk melalui email sebagai informasi pada rekening elektronik bank Danamon milik penulis pada Jumat, 25 Maret 2022, dengan isi pesannya bahwa;  "Kepada Bapak Hidayatullah, Danamon menginformasikan bahwa dengan merujuk kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengenai kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang semula tarif 10% naik menjadi 11%. Maka dengan ini kami informasikan akan adanya perubahan biaya yang berkaitan dengan penyesuaian tarif PPN terhadap biaya sewa Safe Deposit Box yang mulai berlaku efektif per 1 April 2022. Untuk produk Reksa Dana, tarif PPN saat ini sudah dikenakan dan menjadi kesatuan (inklusif) dalam seluruh biaya transaksi baik biaya transaksi pembelian (subscription), penjualan kembali (redemption) dan pengalihan (switching)". 

Kalangan Dunia Usaha Mendesak Penundaan Kenaikan PPN 11 Persen

Dari dua pesan itu dipastikan kenaikan PPN 11 persen sudah akan diberlakukan pada 1 April 2022. Padahal sejumlah pihak terutama para pengusaha (kalangan dunia usaha) telah mengingatkan pemerintah untuk menunda kenaikan PPN 11 persen ini. Salah satunya Sarman Simanjorang sebagai Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bidang Pengembangan Otonomi Daerah pada Bisnis.com 09/03/2022, menilai rencana penundaan menaikkan tarif PPN adalah hal yang tepat. Akan sangat mendukung dengan baik kebijakan penundaan karena ekonomi Indonesia saat ini dalam ambang ketidakpastian.

Masih menurut Sarman bahwa, ada tiga hal yang menjadi pertimbangan penundaan ini. Hal pertama Indonesia masih dalam kondisi pandemi yang berarti daya beli masyarakat belum tumbuh normal. Hal kedua, jika melihat dari keadaan sekarang, harga bahan pokok seperti kedelai, minyak goreng, dan daging yang terus naik juga menjadi pertimbangan. Harga komoditas lain pun seperti telur, bawang, cabai, dan tepung akan naik mengingat saat ini menjelang Ramadan dan Idulfitri. "Ini akan memengaruhi harga-harga kalo kebijakan ini diberlakukan, apalagi akan puasa dan lebaran". Artinya kebutuhan berbagai bapok masyarakat itu akan naik signifikan biasanya kenaikan akan dipicu ketersediaan, jika terjadi harga yang naik, ini akan menurunkan daya beli.

Sementara itu, hal ketiga atau terakhir yang patut dipertimbangkan adalah bahwa saat ini sedang dihadapkan dengan kenaikan berbagai komoditas dunia akibat perang antara Rusia dan Ukraina. Sarman juga meminta kepada pemerintah untuk menunda kebijakan penaikan tarif sampai pada posisi ekonomi Indonesia sudah baik dengan daya beli yang pulih.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani pada Bisnis.com 09/03/2022 memandang bahwa penundaan pemberlakukan PPN 11 persen adalah sebagai kebijakan yang bagus karena situasi yang tidak memungkinkan. "Hal ini akan membantu masyarakat. Kami tentunya menyambut baik karena situasinya sedang tidak pas kalau naik sekarang. Jika dipaksakan tetap naik PPN menjadi 11 persen dalam waktu dekat, nantinya akan memicu inflasi yang berdampak pada pemulihan ekonomi.

Begitu pula Dewan Pembina Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan kepada Tirto, Senin (14/3/2022) juga meminta pemerintah untuk menunda rencana kenaikan PPN pada awal April mendatang. Sebab melihat daya beli masyarakat saat ini belum pulih pasca adanya Omicorn. Sebagian besar masyarakat yang berbelanja ke mal dan pusat perbelanjaan adalah masyarakat kalangan menengah ke bawah yang saat ini perekonomiannya tengah tertekan. Berbagai komoditas yang mengalami kenaikan membuat masyarakat semakin menahan belanja di tengah ketidakpastian perekonomian. Ini karena masyarakat telah memperbanyak dana darurat dan tabungan. "Artinya tambah berat saja kan, jadi saya kira ini akan berpengaruh pada pembelian barang juga. Lebih baik tunggu dulu sampai daya belinya naik".

Masih menurut Stefanus bahwa, para pengusaha retail juga akan tertekan dengan adanya kenaikan PPN menjadi 11 persen. Sebab daya beli masyarakat saat ini belum membaik, ia khawatir para pemilik usaha yang menyewa lapak di mal tidak kuat untuk membayar sewa toko dan memutuskan untuk tutup sambil munggu kondisi dan daya beli masyarakat kembali membaik."Jadi saya kira akan berat sekali, mal-mal juga lagi berat. Kelas atas juga orang yang berpenghasilan tinggi juga belum berani ke mal kan". Tetapi keputusan ada di tangan pemerintah. Kita sebagai warga negara, sekaligus pembayar pajak, akan menunggu aspek mana yang akan menjadi prioritas.

Posisi Dilema Pemerintah 

Sebenarnya banyak pihak yang meminta agar kebijakan kenaikan PPN 11 persen agara ditunda. Akan tetapi dari aspek hukum dan perpajakan kebijakan tersebut tidak dapat ditunda karean telah disetujui oleh DPR.

Hal ini juga disampaikan oleh Adrianto Dwi Nugroho dosen Ilmu Hukum Pajak UGM menyampaikan kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen telah disetujui DPR, sehingga harus dijalankan. Adrianto menjelaskan, karena PPN menggunakan masa pajak, maka tidak perlu menunggu satu tahun pajak penuh sebelum dapat diberlakukan, sebagaimana halnya dalam hal kenaikan tarif PPh. Dengan demikian, Adrianto menegaskan ketentuan tersebut dapat diberlakukan pada 1 April 2022.

Dilain pihak ahli perpajakan Ajib Hamdani selaku Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia, kepada Tirto, Kamis (17/3/2022) menyampaikan penilainya bahwa, posisi pemerintah saat ini tengah dilema. Sebab pada dasarnya, pajak mempunyai dua fungsi utama. Pertama sebagai instrumen budgetair, yaitu pajak mempunyai fungsi mengumpulkan uang buat pundi-pundi negara. Dan kedua instrumen regulerend, yaitu membuat keseimbangan dan pengatur ekonomi masyarakat.

Kedua fungsi pajak ini, dalam satu kondisi yang sama bisa bersifat kontradiktif. Sehingga pemerintah harus mempunyai kebijakan sebagai dasar untuk membuat regulasi yang presisi. Pada tahun ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah didesain untuk belanja sebesar Rp 2.714,2 triliun, dengan potensi penerimaan pajak sebesar Rp1.265 triliun. Dengan instrumen UU Nomor 2 tahun 2020, pemerintah masih mempunyai kesempatan untuk membuat defisit APBN tahun 2022 ini melebihi 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Dengan instrumen ini, pemerintah mempunyai keleluasaan untuk mendesain defisit APBN 2022 sebesar Rp 868 triliun, atau setara 4,85 persen PDB. Lewat struktur yang ada, kebijakan kenaikan tarif PPN ini diharapkan bisa menambal defisit. Penerimaan PPN sepanjang tahun 2021 sebesar Rp 551 triliun. Dengan asumsi tarif PPN mengalami penyesuaian menjadi 11 persen dan bisa diberlakukan pada 1 April nanti, maka potensi pundi-pundi kas negara bisa bertambah kisaran Rp 41 triliun.

Masih menurut Ajib bahwa, angka potensi tersebut didapat dari kenaikan selisih 10 persen selama sembilan bulan, asumsi secara ekonomi barang dan jasa kena pajak ceteris paribus sesuai kondisi tahun 2021. Angka yang sangat signifikan dalam menambah arus kas masuk. Di sisi lain, pertimbangan kedua pemerintah untuk melanjutkan kenaikan tarif ini, adalah keberlanjutan regulasi dan kepastian hukum. Karena sejak awal UU HPP ini ditetapkan pada 2021, sudah dihitung secara seksama, tentang waktu pelaksanaan penyesuaian tarif PPN ini yaitu 1 April 2022.

Namun, secara kontradiktif, pajak juga mempunyai fungsi regulerend, untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi yang positif dan berkelanjutan. Setidaknya ada dua hal yang menjadi pertimbangan, pasal kenaikan tarif PPN ini untuk dilakukan penyesuaian waktu, atau ditunda. Pertimbangan pertama, pemerintah secara agresif juga membuat target pertumbuhan ekonomi secara agregat tumbuh 5,2 persen. Sedangkan penopang lebih dari 57 persen PDB adalah sektor konsumsi.

"PPN ini adalah jenis pajak yang pembebanannya ditanggung dan dibayar oleh konsumen akhir. Sehingga akan memberikan tekanan terhadap kemampuan daya beli masyarakat"

Ajib melihat dalam masa peralihan pandemi menuju endemi seperti sekarang, sedang dibutuhkan semua instrumen pemerintah untuk terus memberikan dukungan iklim ekosistem ekonomi yang positif. Menaikkan tarif PPN dalam momentum sekarang, justru menjadi pilihan yang cenderung kurang pas.

Pertimbangan kedua adalah adanya potensi inflasi. Pemerintah membuat target inflasi hanya di angka 3 persen. Dalam perkembangan ekonomi terakhir, terjadi ketidakseimbangan supply dan demand untuk beberapa komoditas, yang secara psikologis akan memberikan dampak kenaikan harga. Secara kuantitatif, dengan tambahan tarif PPN menjadi 11 persen, inflasi bisa bertambah 0,4 persen secara agregat di akhir 2022.

Masih Adakah Ruang Penundaan Kenaikan PPN 11 Persen?

Dalam UU HPP masih terbuka ruang bagi pemerintah untuk menunda kenaikan PPN tersebut. Dalam Pasal 7 ayat (3) UU Nomor 7 tahun 2021 disebutkan bahwa tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Artinya kebijakan ini dapat menyesuaikan dengan kondisi ekonomi yang ada.

Beleid ini sebenarnya bisa juga pemerintah tetap saja mempertahankan PPN 10 persen, karena kalaupun dinaikan kondisi saat ini sangat mengkhawatirkan. Bukankah dalam penyesuaian PPN dapat dilakukan secara bertahap dimana pada 2025 akan menjadi 12 persen? Artinya masih bisa dilakukan penundaan sampai ditahun 2024 PPN 11 persen dan setahun kemudian apabila ekenomi membaik maka dapat dinaikkan atau tetap distabilkan.

Kondisi saat ini secara fakta dilapangan baru saja terjadi krisis kelangkaan minyak goreng, dan walau pemerintah belum menaikkan PPN 11 persen tetapi harga minyak goreng dalam kemasan ketika diserahkan kebijakannya menurut mekanisme pasar sudah mengalami kenaikan, kecuali harga minyak goreng curah yang kembali distabilkan menjadi Rp. 14 ribu per liter dan Rp. 15,500 per kilogram. Dampak pemicu krisis minyak goreng saja sudah berimbas pada kenaikan LPG dan harga bahan pokok lainnya.

Apa artinya? bahwa tanpa kenaikan PPN pun harga pokok pangan dan lainnya menjadi naik. Maka ketika 1 April 2022 PPN 11 persen diberlakukan maka dipastikan harga-harga barang dan bahan pokok dipastikan naik. Sudah dipastikan beban belanja masyarakat menjadi bertambah berat. Mengapa? Telah dijelaskan diatas bahwa PPN adalah jenis pajak yang pembebanannya ditanggung dan dibayar oleh konsumen akhir. Sehingga akan berdampak tekanan terhadap kemampuan daya beli masyarakat kita.

Dengan melihat fakta-fakta keadaan ekonomi saat ini dan daya beli masyarakat kita, penulis berharap pemerintah sebaiknya lebih ceramat dan berhati-hati. Pemerintah betul-betul presisi dengan mempertimbangkan secara seksama dampak pemberlakuan kenaikan PPN 11 persen ini.

"Pun dipaksakan akan semakin menekan laju daya beli masyarakat dan memicu inflasi dan akan menghambat percepatan pemulihan ekonomi nasional yang sedang masa pemulihan"

Beban Rakyat Bertambah Akibat Beban Utang Pemerintah Yang Besar

Penulis memperkirakan bahwa kenaikan PPN 11 persen sudah pasti memberatkan dunia usaha dan masyarakat sebagai konsumen akhir ditambah dengan pemerintah memikul beban utang yang cukup besar per September 2021 sudah mencapai angka yaitu Rp. 6.711 triliun.

Masalah beban hutang negara yang begitu besar ini, jauh-jauh hari para ahli ekonomi telah memperingatkan bawah pemerintah akan mewariskan untang negara hingga Rp. 10 ribu Triliun sampai diakhir Tahun 2024 kedepan. Sehingga diperkirakan dalam dua dekade pemerintahan ini akan mewariskan tambahan utang negara lebih dari Rp. 70 ribu Triliun.

Sehingga siapapun pemimpin yang terpilih nanti hasil Pemilu serentak di tahun 2024, maka akan mewarisi beban utang yang begitu besar. Utang negara yang begitu besar tersebut akan tentu menghambat proses pembangunan nasional pada masa-masa yang akan datang.

Kalau sampai terjadi daya beli masyarakat yang rendah akibat kenaikan PPN 11 persen, lalu ditambah lagi para pengusaha mencari celah untuk menghindari pembayaran pajak biaya tinggi, maka diprediksi pendapatan dari pajak akan menurun berdampak pada APBN sebagai bantalan fiskal akan menjadi rapuh dan lemah. Tentu akan beresiko terhadap keuangan negara kita yang sangat rawan, jika ada gejolak krisis ekonomi yang menimpa Indonesia.

"Bukankah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga telah memperingatkan dalam laporannya berulang-ulang kali bawah utang negara sudah sangat rentan karena melampau seluruh standar-standar lembaga keuangan internasional"

Masalah hutang negara bukan saja kesinambungan dan kesehatan fiskal tetapi juga keadilan sosial bagi rakyat dan antar generasi bangsa selanjutnya. Utang negara yang begitu membesar dimana biaya pokok dan bunganya akan ditanggung oleh rakyat melalui pajak dan generasi mendatang terus menanggungnya.

Hal Ini menimbulkan ketidakadilan fiskal dimana negara berutang banyak, lalu rakyat dan dunia usaha yang menanggungnya lewat kenaikan pajak. Belum lagi setiap generasi terus bekerja untuk membayar utang negara yang menumpuk akibat kebijakan yang tidak hati-hati dan tidak presisi terhadap perhitungan hutang yang menumpuk.

Pada akhirnya yang membayar dan yang memikul bebannya adalah rakyat lewat pengenaan pajak yang terus meningkat dan generasi yang akan datang terus menanggung beban hutang yang tidak ada hentinya.

Demikian, semoga saja bangsa ini dapat keluar dari kemelut ekonomi, dan rakyat tidak terbebani dengan pajak yang tinggi, serta pemerintah dapat mengurangi beban hutang dengan kebijakan yang presisi.

Bumi Anoa, 27/03/2022

*Penulis: Praktisi Hukum/Ketua Presidium JaDI Sultra

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun