Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Pengacara - Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Affirmative Action di Simpang Jalan: Setengah Hati atau Setengah Mati?

23 Februari 2022   01:08 Diperbarui: 23 Februari 2022   01:17 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

oleh : Hidayatullah*


Latar Belakang

Affirmative action (tindakan afirmatif) adalah kebijakan yang diambil yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama.

Bisa juga diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu.

Tom Campbell, seorang prof. yurisprudensi menyatakan begini bahwa affirmative action sebagai "kebijakan yg dikeluarkan untuk grup tertentu yang dinilai tidak memiliki representasi secara memadai pada posisi2 penting di masyarakat sebagai akibat sejarah diskrimasi".

Elizabeth S. Anderson, mendefiniskan term ini lebih luas termasuk semua kebijakan yang mempunyai tujuan 

(a) mengupayakan penghilangan hambatan dalam sistem dan norma terhadap kelompok sebagai akibat sejarah ketidakadilan dan ketidaksetaraan, dan/ atau; (

b) merngupayakan promosi masyarakat yang inklusif sebagai prasyarat demokrasi, integrasi,dan pluralisme;

(c) mengupayakan kesetaraan atas dasar pengklasifikasian identitas (ras, gender, etnisitas, orientasi seksual, dsb).

Affirmative Action di Indonesia

Dalam konteks kebijakan politik Indonesia, yang paling menonjol dinamikanya dalam tindakan afirmatif dilakukan untuk mendorong agar jumlah perempuan di lembaga legislatif maupun lembaga negara bantu lebih representatif.

Dalam konteks Pemilu misalnya, sebelum lahir UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kebijakan affirmative action jauh hari telah diatur dalam rumusan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pileg) yang mengakomodasi tindakan afirmatif bagi perempuan. Di antaranya ketentuan yang menyatakan dalam daftar calon legislatif minimal harus ada 30% persen perempuan.

Selain itu, UU Pileg juga mengenal sistem zipper agar memudahkan perempuan terpilih menjadi anggota legislatif. Sistem ini mewajibkan dalam setiap tiga orang bakal calon sekurang-kurangnya harus terdapat satu perempuan. Tujuannya, agar perempuan bisa berada di nomor 'jadi', bukan di nomor buntut. Hal mana tertuang dalam Pasal 55 ayat (2) UU Pileg tersebut.

Isu tindakan afirmatif kembali menjadi pembicaraan hangat setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Pileg Pasal 214 huruf a sampai e dalam UU Pileg soal penetapan caleg dengan sistem nomor urut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibatnya, Pemilu 2009 harus menggunakan sistem suara terbanyak.

Putusan ini dianggap menafikan tindakan afirmatif bagi perempuan. Penilaian itu tercermin misalnya dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi Maria Farida dalam putusan di atas. 

Menurutnya, majelis MK seharusnya tidak mengabulkan permohonan seputar sistem nomor urut. Karena sistem suara terbanyak sangat merugikan perempuan dan tindakan afirmatif dianggap sia-sia.

Sementara itu, sebagian kalangan berpendapat penerapan tindakan afirmatif justru mendiskriminasikan kaum perempuan. Ketua Divisi Hukum dan HAM Partai Penegak Demokrasi Indonesia Parlindungan Sitorus misalnya berpendapat bahwa kaum perempuan seharusnya diberi kebebasan untuk berpolitik tanpa ada perbedaan dengan laki-laki. 

Menurutnya, kesadaran berpolitik kaum perempuan saat ini sudah cukup tinggi dan bahkan banyak yang sudah mempunyai kemampuan berpolitik lebih dari kaum laki-laki.

Keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga negara perlu menjadi perhatian penting. Lantaran kehadiran perempuan di kelembagaan negara memberikan otoritas pada perempuan untuk membuat kebijakan yang berkontribusi besar pada pencapaian hak-hak perempuan, khususnya kesetaraan gender.

Sebab seringkali anggota laki-laki tidak dapat sepenuhnya mewakili kepentingan perempuan karena adanya perbedaan pengalaman dan kepentingan antara keduanya.

Dalam literatur, term affirmative action ini dipersamakan dengan frase positive discrimination, favorable discrimination. Sementara dalam hukum hak asasi internasional, term ini sering disebut dengan special measures yang berkembang terutama pada periode pembahasan draf Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Jaminan Hukum Affirmative Action di Indonesia

Indonesia termasuk salah satu negara yang sudah memiliki kesadaran terhadap affirmative action. Seperti telah disinggung sebelumnya, salah satu sarana terpenting untuk menerapkan affirmative action ini adalah adanya hukum dan jaminan pelaksanaannya dalam konstitusi dan UU. Artinya, diperlukan pengaturannya melalui hukum yang berlaku dalam suatu negara.

Dari perspektif hukum itulah negara memiliki kewajiban afirmatif dalam rangka mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menjamin pemenuhan hak-hak yang relevan dan kompensasi tertentu.

Negara perlu menetapkan pendekatan khusus agar kelompok masyarakat yang selama ini terdiskriminasi dapat menikmati sebesar mungkin hak asasi mereka. Karena itu, tindakan affirmatif menjadi signifikan dilakukan oleh negara.

Dalam konteks Indonesia, amandemen II UUD 1945 menarik untuk dikaji. Sebab, dengan amandemen II inilah pengaturan Hak Asasi Manusia dalam konstitusi Indonesia dimuat secara khusus dalam Bab X A.11 Dalam pasal 28H ayat (2) secara jelas memuat dan mengatur tentang prinsip affirmative action.

Pasal tersebut berbunyi :

 "setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan".

Dengan demikian, konstitusi Indonesia juga mengadopsi prinsip perbedaan (difference principle). Hal ini tentunya dapat menjadi dasar penerapan affirmative action atau positive discrimination itu secara konstitusional.

Sesuai dengan prinsipnya yang memberikan hak istimewa kepada kelompok minoritas dan terdiskriminasi, maka untuk konteks Indonesia affirmative action dapat lakukan pada perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas. Karena hanya ada 3 kelompok masyarakat yang masih terdiskriminasi dan negara harus ikut campur dan intervensi.

Sebab, secara faktual kelompok tersebut yang selama ini kurang mendapatkan perlindungan melalui sistem yang ada.

Bahwa dengan menerapkan prinsip hukum secara merata dan kebijakan yang bersifat meritokrasi telah membuat kelompok-kelompok ini kurang mampu untuk mengakses hak-hak dasarnya, yang pada gilirannya membuat mereka semakin tidak terperhatikan.

Sama hal dengan pemenuhan Pemilu berkualitas dilihat dari apakah negara memenuhi kewajiban konstitusinya terhadap keterwakilan perempuan 30%. Karena konsep affirmative action itu adalah sebuah frase positive diskrimination.

Hanya saja secara praktik penerapan affirmative action ini punya problem politik pada elit-elit politik yang sampai saai ini tidak pernah tuntas dalam implementasinya dan sangat melelahkan dalam diskursusnya.

Padahal persfektif hukum memperhatikan keterwakilan 30% adalah kewajiban negara untuk memastikan dan menghargai afirmatif dalam rangka mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menjamin pemenuhan hak-hak yang relevan dan kompensasi tertentu tentang representasi keterwakilan perempuan.

Keterwakilan Perempuan di KPU dan Bawaslu

Namum sampai saat ini kebijakan affirmatif itu masih setengah hati apabila tidak mau dikatakan setengah mati (susah/sulit). Bukan karena faktor sumber daya manusia perempuan yang lemah atau kurang, tetapi pada tataran implementasi kebijakan yang kontraproduktif (belum berpihak).

Misal isu terbaru dalam proses pemilihan anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 di Komisi II DPR. Dimana dari 14 orang calon KPU terdapat 4 orang calon perempuan, sedangkan Bawaslu dari 10 calon tersapat 3 calon perempuan.

Tetapi hasil penetapan Komisi II DPR hanya memilih 1 orang calon perempuan dari 7 calon anggota KPU yang lolos sebagai komisioner pada periode 2022-2027. 

Seharusnya paling minimal 2 atau maksimal 3 orang apabila disesuaikan dengan kehendak UU dengan memperhatikan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan.

Hal yang sama terjadi pada calon Bawalu periode 2022-2027 dimana sebanyak 10 orang calon terdapat 3 orang calon perempuan. Tetapi yang ditetapkan Komisi II DPR dari 5 orang Bawaslu hanya 1 perempuan yang diakomodir. 

Apabila mengikuti aturan quota minimal memperhatikan 30% keterwakilan perempuan, maka seharusmya 2 orang calon perempuan yang diloloskan.

Banyak pihak yang menyoroti keputusan DPR ini, tetapi menurut Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, Junimart Girsang, menilai seharusnya pihak yang menyayangkan hasil tersebut juga melihat berapa jumlah calon penyelenggara pemilu yang diajukan oleh tim seleksi (Timsel). Apakah kami harus pilih 3 itu? Kami kan tidak mau terjebak karena jumlah perempuan yang ditawarkan Timsel jumlahnya hanya 30 persen. Komisi II DPR tentu harus objektif memilih calon-calon perempuan yang benar-benar layak untuk dipilih. Jadi kami jangan dibenturkan kepada dilematis.

"Kecuali 5 diajukan perempuan ke KPU, kami kan enak, nyaman untuk menentukan. Tapi kalau 3 dari 14 sementara kami pilih 7, ini bagaimana? Apakah yang tiga harus kami loloskan? Kita harus objektif juga lah menyikapi ini," ujar Junimart di Gedung DPR, Kamis, 17 Februari 2022.

Kesimpulan

Dari dinamika diatas menunjukan begitu sulit, berliku dan setengah hati dalam menerapkan konsep affirmative action. Padahal sumber daya manusia didukung dengan norma UU seharusnya keterwakilan perempuan tetap diupayakan quota penambahan.

Jadi dapat disimpulkan sebenarnya dengan tidak terpenuhinya keterwakilan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan di KPU dan Bawaslu membuktikan para pemangku kepentingan negara sedang tidak serius menjabarkan praktik konstitusinya sendiri tentang konsep affirmative action.

Semoga kedepan ada pembenahan dan menjadi bahan evaluasi.

Demikian,

*Penulis : Praktisi Hukum/Ketua Presidium JaDI Sultra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun