Dalam konteks Pemilu misalnya, sebelum lahir UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kebijakan affirmative action jauh hari telah diatur dalam rumusan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pileg) yang mengakomodasi tindakan afirmatif bagi perempuan. Di antaranya ketentuan yang menyatakan dalam daftar calon legislatif minimal harus ada 30% persen perempuan.
Selain itu, UU Pileg juga mengenal sistem zipper agar memudahkan perempuan terpilih menjadi anggota legislatif. Sistem ini mewajibkan dalam setiap tiga orang bakal calon sekurang-kurangnya harus terdapat satu perempuan. Tujuannya, agar perempuan bisa berada di nomor 'jadi', bukan di nomor buntut. Hal mana tertuang dalam Pasal 55 ayat (2) UU Pileg tersebut.
Isu tindakan afirmatif kembali menjadi pembicaraan hangat setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Pileg Pasal 214 huruf a sampai e dalam UU Pileg soal penetapan caleg dengan sistem nomor urut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibatnya, Pemilu 2009 harus menggunakan sistem suara terbanyak.
Putusan ini dianggap menafikan tindakan afirmatif bagi perempuan. Penilaian itu tercermin misalnya dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi Maria Farida dalam putusan di atas.Â
Menurutnya, majelis MK seharusnya tidak mengabulkan permohonan seputar sistem nomor urut. Karena sistem suara terbanyak sangat merugikan perempuan dan tindakan afirmatif dianggap sia-sia.
Sementara itu, sebagian kalangan berpendapat penerapan tindakan afirmatif justru mendiskriminasikan kaum perempuan. Ketua Divisi Hukum dan HAM Partai Penegak Demokrasi Indonesia Parlindungan Sitorus misalnya berpendapat bahwa kaum perempuan seharusnya diberi kebebasan untuk berpolitik tanpa ada perbedaan dengan laki-laki.Â
Menurutnya, kesadaran berpolitik kaum perempuan saat ini sudah cukup tinggi dan bahkan banyak yang sudah mempunyai kemampuan berpolitik lebih dari kaum laki-laki.
Keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga negara perlu menjadi perhatian penting. Lantaran kehadiran perempuan di kelembagaan negara memberikan otoritas pada perempuan untuk membuat kebijakan yang berkontribusi besar pada pencapaian hak-hak perempuan, khususnya kesetaraan gender.
Sebab seringkali anggota laki-laki tidak dapat sepenuhnya mewakili kepentingan perempuan karena adanya perbedaan pengalaman dan kepentingan antara keduanya.
Dalam literatur, term affirmative action ini dipersamakan dengan frase positive discrimination, favorable discrimination. Sementara dalam hukum hak asasi internasional, term ini sering disebut dengan special measures yang berkembang terutama pada periode pembahasan draf Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Jaminan Hukum Affirmative Action di Indonesia