Menyoroti Modus Kasus Rekayasa Pemidanaan Dan Kriminalisasi
"Ketika penegak hukum berlaku tidak adil dalam menerapkan hukum sama halnya membuka peluang hukum digunakan secara tidak benar"
Pendahuluan
Kasus-kasus rekayasa dalam bentuk kriminalisasi atau pemidanaan yang dipaksakan masih marak terjadi dan terkuak baik sejak tingkat penyelidikan, penyidikan terlebih pada proses pemeriksaan ditingkat pengadilan. Bahkan banyak misteri rekayasa pemidanaan dan kriminalisasi terkuak dalam sidang pemeriksaan dihadapan hakim.
Dalam bebebrapa kasus ketika terjadi kejanggalan mulai pada tingkat penyidikan dan diawali dengan cara membangun opini publik tanpa sandaran basis bukti dan literasi hukum yang memadai, maka dipastikan didepan pengadilan terlihat fakta-fakta yang terjadi tidak berkesesuaian dengan unsu-unsurr delik pelanggaran dalam hukumnya, maka dipastikan kasus itu bagian rekayasa untuk target mengkriminalisasi orang-orang yang tidak bersalah.
Hanya saja kerugian psikis dan sosial dialami orang-orang yang tidak bersalah tadi lebih awal telah dihukum bersalah dengan opini publik yang dibentuk, dibangun dan lalu disiarkan melalui pemberitaan. Tragisnya media sosial menjadi wadah efektif menyebarluaskannya.Â
Padahal asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) merupakan asas yang sangat fundamental dan universal berlakunya dalam hukum acara pidana kita.Â
Asas ini menempatkan seorang tersangka atau terdakwa sebagai orang yang tidak bersalah sampai adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahannya dan memiliki kekuatan hukum tetap.
Asas presumption of innocence bukan saja menjaga dan memproteksi serangan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa tetapi dilain pihak juga bertujuan sebagai pengontrol ketat aparat hukum, termaksud media, maupun publik agar lebih memahami dan berhati-hati dalam menerapkan tindakan hukum dan apalagi menyiarkan secara terbuka tentang sangkaan maupun dakwaan.
Kendatipun praktik dilapangan baik dengan meminjam tangan melalui corong aksi segelintir orang atas nama publik maupun melalui tulisan dengan menggunakan diksi "dugaan" tetapi sejatinya bermaksud untuk menghukum lebih awal sekaligus menjadi tameng berlindung aparat hukum atas kelemahan yang masih melingkupi kasus-kasus dengan objek rekayasa untuk tujuan kriminalisasi.
Unsur-unsur perbuatan tindak pidana dengan tidak terpenuhinya alat bukti atau alat bukti yang tidak cukup, atau mencukup-cukupkan alat bukti hanya dari aspek kuantitatif bukan kualitatif justru mempertontonkan disparitas hukum antara hukum yang tertulis menjadi berbeda ketika hukum itu ditangan aparat penegaknya.
Abuse of Power dan Praktik Kriminalisasi Penegakkan Hukum
Masih terdapatnya peristiwa penegakkan hukum kita yang abuse of power dengan praktik kriminalisasi baik dari tahap penyelidikan atau tahap penyidikan, salah tangkap, atau salah menetapkan tersangka, akhirnya berujung salah dalam mendakwa terhadap subyek hukum orang yang tidak bersalah, tetapi dipaksakan untuk bersalah dan harus bersalah dihadapan hukum.Â
Padahal salah satu tujuan adanya hukum untuk melindungi kepentingan masyarakat (publik) terhadap orang yang berbuat bersalah karena melanggar dan/atau melakukan tindak kejahatan.
Beberapa kasus terakhir ini, tentu saja publik sudah pula mengetahui, yang mana peristiwa-peristiwa hukum itu akan selalu menjadi pengingat bahwa masih banyak terjadi, dimana penegakan hukum bisa menjadi alat atau dijadikan alat untuk menjalankan misi diluar kehendak dan tujuan hukum itu dibuat. Â Padahal hukum kita dibuat bukan untuk memaksa seseorang, kelompok atau institusi untuk mengakui suatu kesalahan yang bukan kesalahannya.
Jelas dan terang dalam hukum kita tidak ada pertentangan antara hukum pidana, perdata, Â tata usaha negara atau dalam konteks hukum administrasi. Tetapi masih saja ditemukan upaya-upaya mengaburkannya, mempertentangkannya dan membuat hukum-hukum itu saling tumpang tindih dan saling berebut wilayah garapan.
Bagi publik yang awam ketika ingin melihat kebenaran ternyata terbentur hukum yang serba rumit. Maka terkadang hanya kepasrahan dan menyerahkan urusan pencarian keadilan dan kebenaran itu dipundak penegak hukum dan membenarkan segala tindakannya karena tidak dapat mengurai hukum dengan nalar dan literasi yang terbatas.
Tetapi tentu berbeda bagi mereka yang memahami kaidah dan norma hukum, maka tidak ada hukum yang rumit dan tumpang tindih karena dimensinya cukup standar yang secara umum dimana sumber hukum itu hanya terbatas dalam arti materiil dan formil.
Pengertian hukum materil adalah menerangkan perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum serta hukuman-hukuman apa yang dapat dijatuhkan. Hukum materil menentukan isi sesuatu perjanjian, sesuatu perhubungan atau sesuatu perbuatan. Dalam pengertian hukum materil perhatian ditujukan kepada isi peraturan.
Sedangkan pengertian hukum formil menunjukkan cara mempertahankan, menegakkan atau menjalankan peraturan-peraturan dalam hukum materil  itu dan/atau dalam perselisihan maka hukum formil itu menunjukkan cara menyelesaikan di muka hakim.
Misal, suatu kelalaian dalam tugas jabatan bukan dalam tanggungjawab pribadi (persons) tetapi tanggungjawab jabatan maka instrumennya hukumnya bersifat administrasi. Dalam konteks pemberlakuan hukum administrasi atas pelanggaran jabatan menjadi kewenangan pejabat tertentu, maka instrument hukum pidana tidak bisa memasukinya.
Instrumen hukum pidana hanya dapat memasuki wilayah pelanggaran personal (barang siapa). Bisa saja instrumen pidana dapat memonitor tindak lanjut dari suatu pelanggaran administrasi ketika delik pelanggaran jabatan oleh seorang pejabat ternyata ada kejahatan secara personal yang berakibat merugikan negara. Pun kerugian negara harus dibuktikan terlebih dahulu oleh instansi berwenang secara actual loss bukan potensial loss.
Kenapa hal ini penting agar pihak berwenang dapat berfungsi dalam kewenangan jabatanya memeriksa atau membina kelalaian aparatnya yang melanggar tugas dalam jabatan. Karena ketika kasus itu masih bersifat administratif atau prosedur kebijakan yang harus dinilai dalam kapasitas jabatan, maka belum dapat dikategorikan dalam tanggungjawab dengan kapasitas pribadi (persons).
Kalau semua pelanggaran dan kelalaian jabatan dapat dipidana maka sudah tidak ada orang yang berani bekerja menjadi aparatur sipil negara. Kalau ujug-ujug aparat hukum menarik semua tanggungjawab jabatan menjadi tanggungjawab personal (persons), maka seperti yang tampak adalah penegakkan hukum yang ugal-ugalan dan tidak berkerja dengan asas kepastian dan kemanfaatan.
Penulis menyadari bahwa sesungguhnya praktik kriminalisasi atau pemidanaan yang dipaksakan sudah marak sejak dahulu. Pemidanaan yang dipaksakan ini menyasar tidak mengenal status dan korban terbesar adalah kalangan aparatur level bawah atau masyarakat awam. Kasus rekayasa dan kriminalisasi ibarat gunung es, karena publik bahkan media sekalipun secara relatif tidak mempunyai akses hukum yang memadai dalam menelisik secara mendalam proses lidik maupun sidik.
"Memang benar hukum itu memaksa, tetapi hukum bukanlah alat untuk dipaksakan agar orang terjebak, dijebak atau dipaksa bersalah akibat kewenangan diskreksi aparat penegak hukum. Bahkan ada pula akibat dengan pola balas dendam yang menggunakan mekanisme kekebalan aparat yang seharusnya tidak ada lagi demi kesetaraan di hadapan hukum."
Beberapa kasus yang menjadi korban kriminalisasi dengan label tersangka dan ditahan dalam sel tahanan (titipan), lalu didakwa adalah bagian dari upaya-upaya diskriminasi terhadap warga negara yang bersifat intimidatif dengan dan/atau tanpa kekerasan untuk memaksakan kasus yang tidak seharusnya melekat pada korban-korban yang tidak bersalah.
Praktik-praktik kriminalisasi  dan rekayasa pemidanaan oleh aparat penegak hukum telah menihilkan bahkan menabrak prinsip rule of law. Sementara, publik pun tahu dipihak lain ada kasus-kasus yang melibatkan aparat penegak hukum atau pejabat politik yang sengaja dipeti-eskan sebagai bentuk keistimewaan atau kekebalan hukum yang tidak sepatutnya.
Prinsip penegakkan hukum yang jujur ditiadakan dan praktek kriminalisasi terkadang menyandarkan proses hukum pada irasionalitas dan pemaksaan. Penetapan tersangka dan pemaksaan penahanan dan menjadi terdakwa terhadap orang-orang yang direkayasa dan dikriminalisasi adalah tindakan berlebihan dan kesewenang-wenangan.
Kesimpulan
Penulis mengamati kondisi ini masih terus terjadi di Indonesia. Banyaknya kasus-kasus titipan apakah motif tertentu ditambah minimnya kemampuan aparat penyidik untuk mengejar bukti dan fakta, pembuktian atau pengakuan dari pihak ketiga dan kultur arogansi aparat hukum bahkan pesanan politik tertentu menjadi alasan utama mengapa kriminalisasi yang acapkali berujung pada penyiksaan fisik, psikis dan sosial bagi korban dan keluarganya masih menjadi metode yang ampuh untuk diterapkan.
Motif  kasus kriminalisasi biasanya bermuara pada rekayasa kasus karena tergantung branding dari suatu kasus yang ditangani, sehingga korban kriminalisasi adalah individu atau kelompok yang oleh karena latar belakang atau profesinya, harus menghadapi proses hukum yang dipaksakan. Termasuk mengalami diskriminasi, upaya paksa yang berlebihan dan kesengajaan untuk tidak mempercepat penanganan perkaranya, dan lain sebagainya.
Padahal yang namanya penyelidikan/penyidikan adalah suatu tindakan penyelidik/penyidik untuk menentukan ada tidaknya suatu tindak pidana. Sehingga harus terlebih dulu mencari dan mengumpulkan bukti-bukti untuk membuat terang dan setelah adanya bukti, baru dapat menentukan tersangkanya.
Dalam praktiknya ternyata tujuan penyelidikan/penyidikan itu bisa dibelokkan menjadi jebakan para penyidik karena tidak diharuskan memberikan penjelasan detil kepada publik tentang apa dugaan penyelewengannya, seperti apa dugaan perbuatan melanggar hukumnya dan atau seperti apa dugaan melawan hukum, serta tanpa merinci kerugian apa yang ditimbulkan. Jawaban penyidik ketika tersudut sangat sederhana adalah "nanti dibuktikan dipengadilan".
Penutup
Demikian, sekelumit analisa penerapan hukum dalam bingkai kasus rekayasa pemidanaan dan kriminalisasi.
Semoga membuka wawasan dan cakrawala hukum kita dalam melihat penerapan hukum di Indonesia dari berbagai studi kasus seperti yang menimpa orang-orang yang tidak bersalah tetapi dipaksakan untuk bersalah, yang dalam kurun waktu tertentu mengalami penghukuman publik, bahkan tidak sedikit yang mengalami penyiksaan fisik, dan menderita trauma secara psikis dan sosial baik bagi korban sendiri maupun keluarganya.
wallahu a'lam bishawab,
"Aparat hukum sudah harus berbenah diri merubah pola skenario menggiring opini publik yang membuat orang dihukum bukan karena bukti-bukti tetapi orang dihukum dengan oponi"
Hidayatullah, Kendari, 16/02/2022
Penulis; Praktisi Hukum/Advokat Pada PERADI RBA Kendari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H