Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Pengacara - Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Batasan Kritik Pejabat Publik

10 Februari 2021   08:57 Diperbarui: 10 Februari 2021   14:06 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Membaca Pemikiran Presiden Joko Widodo 

Dalam Pidato Sambutan Laporan Akhir Tahun 2020 Ombudsman RI 

(Minta Masyarakat Lebih Aktif Menyampaikan Kritik Masukan)


Oleh : Hidayatullah, S.H*)

Pengantar

Tulisan ini diawali dari ketertarikan penulis terhadap pidato Presiden Joko Widodo saat memberi sambutan di Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI, Senin, 8 Februari 2021. Pidato Presiden tiba-tiba saja viral menyebar melalui berita-berita media baik elektonik, cetak maupun online, dan media sosial serta pada channel YouTube. Penulis mengamati semua terutama jalur berita. Pidato yang viral itu untuk versi berita online penulis mengambil referensi yang dilansir TEMPO.CO edisi 8 Februari 2021 dengan judul; "Jokowi Minta Masyarakat Lebih Aktif Mengkritik dan Memberi Masukan." 

Penulis kutip dari isi berita TEMPO.CO diatas, pada paragraf pertama dan kedua, yakni;

"Dalam pidato singkatnya Presiden Joko Widodo meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam memberi masukan dan kritik pada pemerintah. Hal ini, kata Jokowi, adalah bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan perbaikan," kata Jokowi saat memberi sambutan di Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI, Senin, 8 Februari 2021"

"Kritik dan masukan, salah satunya bisa dilakukan lewat Ombudsman RI. Jokowi menyadari banyak hal yang sudah dicapai dan namun juga banyak hal yang perlu kita perbaiki. Ia meyakini Ombudsman telah menemukan berbagai kekurangan yang perlu diperbaiki pemerintah. "Catatan ini sangat penting untuk mendorong peningkatan standar kualitas pelayanan publik di masa yang akan datang," kata Jokowi"

Pidato Presiden Joko Widodo tersebut sepintas tidak ada yang istimewa, yang menarik adalah respons publik yang agak terkejut disertai pesimisme ketika dikaitkan banyaknya tragedi belakangan ini. Dimana perilaku aparat hukum di lapangan yang melakukan penangkapan, kriminalisasi maupun pelanggaran hak asasi manusia termaksud tindakan represif menimpa aksi-aksi dibalik kritik terhadap kebijakan Pemerintah.

Membaca Pemikiran dari Makna Pidato Sambutan Presiden Joko Widodo 

 Penulis selama dua hari ini terus saja membaca dan mengulang-ulang mendengarkan pidato sambutan Presiden di channel YouTube, untuk memastikan apakah Presiden sedang berwacana, karena acaranya hanya cakupan sempit lingkup Ombudsman saja. 

Tetapi kelihatanya pidato sambutan Presiden menggambarkan tidak sedang dalam pencitraan karena tidak ada yang tersembunyi di dalam wacana yang disampaikan. Justru memiliki hanya tiga makna sekaligus yaitu perintah, permintaan dan evaluasi. 

Jarang-jarang Presiden Joko Widodo memberikan pidato sambutan seperti ini tanpa selipan harapan. Sikap dan argumentasi Presiden Joko Widodo tersampaikan dengan tegas, terang, serius dan cenderung evaluatif serta apresiasi terhadap kinerja Ombudsman RI.

Dalam pidato sambutan yang disampaikan pada acara semiformal itu, nampaknya Presiden Joko Widodo telah mempersiapkan pidatonya, walau kelihatan disampaikan secara lisan. Nampak Presiden telah mengetahui paling tidak garis besar dari temuan-temuan kekurangan kinerja pemerintahan dalam isi Laporan Akhir Tahun 2020 Ombudsman RI. Karena Presiden mengucapkan dengan kalimat, sebagai berikut;

 "Catatan ini sangat penting untuk mendorong peningkatan standar kualitas pelayanan publik di masa yang akan datang dan semua pihak harus mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik"

(Joko Widodo, 8 Februari 2021)

Makna dari kalimat Presiden menyinggung "standar kualitas pelayanan publik" diatas adalah kata kunci yang dikenal dibidang pemerintahan, dan "semua pihak harus mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik" (kata: harus) adalah sebuah perintah tegas Presiden dalam kapasitas sebagai kepala Pemerintahan, maka ditujukan kepada semua institusi/lembaga negara tidak terkecuali lembaga penegak hukum itu sendiri.

Selanjutnya tanpa terputus Presiden mengucapakan "permintaan" kepada masyarakat yang dimaknai kali ini Presiden bukan sebagai kepala pemerintahan tetapi sebagai kepala negara karena mencakup permintaan kepada rakyatnya untuk membantu pemerintahanya lewat kritikan dan masukan. Lalu Presiden menggunakan kata "harus" kepada rakyatnya dan mengulang kata "harus" dan kata sambung "perbaikan" kepada jajaran pemerintahanya, sebagai berikut;

"dan masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan"

(Joko Widodo, 8 Februari 2021)

Penulis coba mendeskripsikan dan memahami pikiran dari Presiden Joko Widodo melalui pola penyampaian pidato sambutannya itu bukanlah pidato secara spontan. Tetapi sepertinya Presiden cenderung baru mengetahui beberapa masalah pelayanan publik di pemerintahannya. 

Presiden tidak terlalu mengetahui banyak hal-hal detil tentang kasus-kasus pencideraan kebebasan berpendapat yang membuat merosotnya demokrasi akibat rasa ketakutan masyarakat saat ini untuk kritis dan menyampaikan pendapat.

Walau dalam bagian isi pidato sambutan Presiden mengangkat persoalan utama yaitu pelayanan publik tetapi Presiden tidak menyampaikan secara terpreinci tentang persoalan-persoalan pelayanan publik apa saja. Tetapi pesan Presiden mampu mempengaruhi pendengarnya bahwa ada soal di pelayanan publik dan ada soal dukungan masyarakat.

Dari aspek politik bahasa, pidato sambutan Presiden yang mengajak masyarat untuk aktif menyampaiakn kritik masukan, maka sepertinya Presiden baru mengetahui kondisi secara situasional, institusional, dan sosial apa yang sesungguhnya terjadi. Karena kalau dicermati argumentasi Presiden begitu sangat sosial dan kritis, dan ada aspek sentral yang dituju Presiden. 

Sepertinya ada penggambaran suatu subyek kepada pelayanan hukum agar tidak memberangus daya kritis masyarakat. Bisa juga Presiden lagi menyampaikan pesan secara simbolis kepada Kepala stafnya untuk konsen mengurus pelayanan pengelolaan staf kepresidenan ketimbang mengurus rumah tangga orang. 

Bisa juga subyek kepada pengelola buzzer-buzzer yang tidak punya korelasi dengan pelayanan publik. Maka sepertinya Presiden sedang mengevalusi dan sedang menegur aparat pemerintah dan aparat hukumnya dengan cara solo beliau.

Melihat sikap Presiden seperti ini, kecenderungan para bawahan dan aparat Presiden rupanya melaporkan yang baik-baik saja. Bahkan Presiden sepertinya tidak dicukupkan informasi yang detil seputar praktik-praktik hukum yang telah membungkam pihak-pihak yang mengkritik Presiden sendiri dan Pejabat negara lainnya, bahkan virus pembungkaman sudah sampai melokal.

Oleh sebab itu, saat ini masyarakat sudah apatis dan takut memberikan masukan pendapat apalagi melakukan kritik kepada Pemerintahan. Belum lagi soal keadilan hukum yang tentu saja Presiden tidak akan mungkin disampaikan soal tetek bengek kasuistik ada pihak yang diproses dan ada pihak yang dibiarkan melakukan provokasi, propaganda dan bully para buzzer-buzzer. 

Termaksud soal-soal kasus mimpi dan ramalam dalam ancaman pidana. Penulis yakin tidak ada satupun laporan ini sampai ketelinga Presiden. Karena kalaupun Presiden Joko Widodo mengetahuinya untuk apa beliau meminta masyarakat untuk aktif melakukan kritik dan masukan.

Maka pada titik ini sunggh ironi dimana keseriusan pidato sambutan Presiden Joko Widodo di acara Ombudsman RI tampaknya kontradiktif dengan situasi kebebasan berpendapat yang sedang tertekan merosot saat ini. 

Sehingga menjadi suatu kerancuan karena adanya resiko kriminalisasi dengan serangkaian regulasi seperti UU No. 19/2016 perubahan atas UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Tidak saja UU ITE tetapi dilapis dengan Pasal-Pasal dalam KUHP terkait Penghinaan Presiden/Pejabat pada Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa dan Pasal 45 A Ayat (1) yang saat ini menjadi senjata aparat hukum membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi.

UU ITE Mengancam Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat

Dalam artikel penulis diblog kompasiana 28 Januari 2021 dengan judul "UU ITE Momok Demokrasi", mengulas bahwa UU ITE telah membuktikan keampuhannya mematikan kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum termkasud dalam penyampain kebebasan berpendapat melalui media sosial. 

Pemicu dan faktanya telah cukup banyak dengan jatuhnya vonis penjara maupun sedang dalam proses hukum terhadap para aktivis, jurnalis maupun kritikus-kritikus kebijakan publik dan politik. Tak luput pula korbanya adalah tokoh agama, tokoh masyarkat, tokoh pergerakan reformasi, maupun musisi.

Dalam sejarahnya, UU ITE ini lahir pada 2008 dimasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dilihat dari konstruksi normanya UU ITE ini semula semangatnya didasari untuk melindungi konsumen dalam melakukan proses transaksi elektronik di tengah meluasnya penggunaan internet, media sosial, termaksud media massa online dalam perekonomian nasional. 

Selain perlindungan konsumen UU ITE ini lahir dari tuntutan reformasi bangsa tahun 1998 agar negara hadir memberikan perlindungan kepada warga dalam mengeluarkan pendapat di muka umum lisan maupun tulisan, termaksud kebebasan berekspresi individu di Indonesia.

Namus sungguh disayangkan justru sejak diundangkan pada 2008 UU ITE ini sudah banyak menelan korban sampai saat ini. Dalam praktiknya, pemerintah dan aparat hukum justru menyalahgunakan UU tersebut untuk membungkam pihak-pihak yang mengkritik Presiden/Pejabat negara lainnya, bahkan sampai melokal didaerah.

UU ini bagaikan senjata sapujagad yang dapat saja dijadikan alat untuk digunakan mempidanakan seseorang dengan menggunakan Pasal 27 ayat 3 terkait muatan penghinaan atau pencemaran nama baik dan Pasal 28, baik ayat 1 maupun ayat 2. Bahkan dengan isu sebagai penyebaran ujaran kebencian atau berita bohong (hoaks), maka siapa saja bisa dengan mudah dijerat dengan delik pasal 28 ini.

Menurut Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia)
Data dari SAFENET tahun 2018 menunjukkan dari 245 kasus yang menggunakan UU ITE dari tahun 2008 telah melokal, lebih dari sepertiga pelapor (35,92%) adalah pejabat negara. Sasaran mereka adalah aktivis, jurnalis, hingga pegawai negeri, dan guru.

Umumnya kasus pembungkaman kritik banyak terjadi di tingkat lokal karena cakupan media lokal yang terbatas dan loyal terhadap penguasa setempat. Kondisi media yang seperti itu menjadikan kasus pembungkaman tidak terekspos dan akhirnya dibiarkan begitu saja. Kondisi tersebut menyebabkan represi negara terhadap kebebasan untuk mengkritisi pemimpin negara menjadi "terdesentralisasi" -- ia bukan lagi upaya yang terkolaborasi, namun dalam kendali kepentingan-kepentingan individual penguasa lokal.

Sejatinya Tidak Ada Kriminalisasi Menyampaikan Kritik Kepada Pejabat Publik

Tindakan masyarakat yang menyampaikan masukan dan kritik kepada pejabat publik sejatinya bukanlah tindak kejahatan melainkan bentuk partisipasi dan pengawasan publik, sekaligus bisa menjadi bagian ekspresi kekecewaan masyarakat atas kebijakan pemerintah dianggap tidak adil, lalai, lamban serta mengecewakan. Serta demi kepentingan umum dan untuk tujuan kemaslahatan tidak ada kriminalisasi dalam penyampaian aspirasi dan kebebasan berpendapat.

Tetapi sungguh demikian masyarakat saat ini mengalami ketakutan karena ada praktik-praktik maladmintrasi dalam penegakkan hukum, sebagai contoh kasus:

Sejak April tahun 2020 lalu puncak masa pandemi Covid-19 disertai gelombang aksi tolak Omnibus Law Ciptaker begitu viral akibat DPR bersidang diam-diam menetapkan UU Omnibus Law Ciptaker yang kontroversial. Berdampak pada penolakan melalui gerakan aksi protes secara nasional dan lokal daerah. 

Aksi-aksi buruh, mahasiswa dan pelajar tersebut sebenarnya bisa dikelola secara damai dan beradab. Tetapi cara aparat menangani aksi melanggar hak kostitusional kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum yang diatur dengan UU 9 tahun 1998. 

Tindakan penghadangan, prilaku represif aparat terhadap peserta aksi dan sejumlah aktivis, massa dan buruh, penangkapan dan bahkan penahanan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. 

Tuduhan-tuduhan ditimpakan kepada mereka soal makar, penghasutan, menyebarkan hoax terkait Covid-19, hoax terkait UU OBL Ciptaker dan dituduham juga tindakan penghinaan terhadap Presiden. Pelaku-pelakunya dipajang, dipublikasi dengan tangan diborgol dan memakai baju tahanan, disiarkan melalui stasiun televisi dan diperlakukan seperti pelaku kejahatan berat kategori extra ordinary.

Tindakan aparat didukung oleh Surat Telegram Kapolri nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tentang siber yang ditandatangani pada tanggal 4 April 2020, sebagai respon atas pernyataan Presiden Jokowi mengenai status darurat kesehatan masyarakat di Indonesia dan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam menangani wabah penyakit Covid-19. 

Namun bukannya untuk pencegahan penyebaran Covid-19, dalam surat telegram tersebut, Kapolri meminta kepada kabareskrim serta Kapolda di masing-masing wilayah untuk melakukan penegakan hukum tindak pidana siber dan pemantauan opini di ruang siber mengenai penyebaran hoax terkait Covid-19 serta penghinaan terhadap penguasa.

Ditambah lagi Surat Telegram Kapolri tersebut mengalami cacat administrasi dan hukum dengan definisi-definisi "penghinaan" yang tentunya bersifat subjektif dan multitafsir. Belum lagi memuat dasar hukum Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa dan Pasal 45 A Ayat (1) juncto Pasal 28 Ayat (1) UU ITE.

Padahal sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006, dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa Pasal 207 KUHP tidak dapat dikenakan terhadap seseorang apabila sebelumnya tidak ada pengaduan terlebih dahulu dari pihak yang merasa dirugikan (delik aduan). Oleh karenanya, aparat kepolisian tidak bisa secara serta merta melakukan penindakan terhadap seseorang yang diduga melakukan pelanggaran atas Pasal tersebut.

Jadi eksistensi Pasal 207 KUHP sudah tidak relevan digunakan dalam pemidanaan. Begitu pula penggunaan UU ITE juga tidak tepat dijadikan sebagai dasar hukum mengingat UU tersebut memuat sejumlah pasal karet yang dapat berpotensi mengkriminalisasi dan menghalang-halangi kebebasan berpendapat dan berekspresi individu.

Bahkan seorang Pakar Hukum Pidana Prof. Andi Hamzah berpendapat mengoreksi tindakan-tindakan pemidanaan dengan menggunakan UU ITE. Bahwa UU ITE adalah hukum administrasi agar tidak digunakan untuk mempidana orang. Bila ada kesalahan administrasi yang ada adalah membayar denda atau wajib kerja sosial. 

Sanksi administrasi ini dimaksudkan agar setiap orang menaati UU tersebut. Maka, bila saat ini ujaran kebencian sebagai delik pidana pada UU ITE, tentu sungguh berlebihan dan meneruskan semangat kolonialisme dan juga praktik otoritarian Orde Baru. Padahal sesungguhnya substansi ujaran kebencian sebetulnya sudah diatur di KUHP dalam pasal "penghinaan".

UU ITE Tidak Direvisi; Tidak Ada Batasan Kritik Pejabat Publik

Sepanjang UU ITE tidak direvisi, maka pola-pola pembungkaman dengan kriminalisasi akan terus terjadi untuk menekan kebebasan menyampaikan pendapat, kritik dan masukan. Permintaan Presiden Joko Widodo agar masyarakat harus aktif melakukan kritikan dan masukan akan menggantang asap. Tidak akan ada warga masyarakat yang berani saat ini karena diliputi kekhawatiran dan ketakutan.

Disebabkan UU ITE mudah sekali di pelintir karena pengaturan dan cakupan yang terlalu luas. Definisi didalamnya tidak memiliki tafsir yang baik dan mudah sekali orang dijerat kalau mau dicari-cari kesalahan, misalnya istilah "informasi elektronik" apakah itu juga termasuk informasi yang disampaikan lewat surat elektronik dan pesan singkat lewat telepon seluler? Padahal keduanya masuk dalam ranah privat. Lalu UU ITE juga tidak jelas membedakan antara "menghina" dan "mencemarkan nama baik".

Padahal kedua hal itu sudah diatur secara jelas di KUHP. Keberadaan UU ITE yang rancu membuat UU ini rentan disalahgunakan. Rumusan yang longgar tersebut juga mudah disalahgunakan oleh penegak hukum dalam pembuktian.

Karena penyalahgunaan UU ITE terus saja terjadi, inilah yang membuat merosotnya kebebasan berpendapat. Apalagi disebabkan oleh menguatnya peran kepolisian dan penggunaan wewenang yang berlebihan dalam menjaga nama baik institusi pemerintah khususnya Presiden. Sebagai bukti meningkatnya jumlah kasus yang muncul dari penyalahgunaan UU ITE akhirnya menyebabkan turunnya indeks kebebasan Indonesia dari pemerintahan SBY ke Jokowi.

Data dari Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet dan Amnesty International telah menunjukkan kasus kebebasan berekspresi yang terkait UU ITE naik dari 74 kasus pada masa pemerintahan SBY (2009-2014) menjadi 233 kasus pada pemerintahan Jokowi (2014-2019), atau naik lebih dari tiga kali lipat. Penyalahgunaan UU ITE bisa disebabkan oleh beberapa alasan.

Kesimpulan

Kalaupun Presiden Joko Widodo serius mengharapkan keaktifan masyarakat untuk kritik masukan dan bahkan berani melaporkan potensi maladministrasi pelayanan publik, maka solusinya, sebagai berikut;

  • Presiden Joko Widodo memerintahkan Kapolri untuk tidak melakukan dan menghentikan kriminalisasi (penangkapan, penahanan) terhadap masyarakat yang menyampaikan masukan, kritik dan koreksi terhadap pemerintah dalam pelayanan publik maupun penanganan Covid-19
  • Pemerintah bersama DPR dalam fungsinya sebagai pemegang kekuasaan pembentuk UU agar melakukan revisi UU ITE untuk mengembalikan maksud dan tujuan pengaturan UU ITE yang bertujuan melindungi masyarakat dari penyalahgunaan teknologi ITE, bukan membatasi masyarakat dalam memanfaatkan teknologi ITE. Negara harus menjamin rasa aman bagi penggunaan teknologi dan informasi dapat berupa perlindungan hukum dari segala gangguan tindak pidana, baik secara verbal, visual maupun yang menyebabkan terjadi kontak fisik.
  • Jaminan kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan komunikasi ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan Penyelenggara Sistem Elektronik (Penjelasan Umum UU ITE 2016).

Demikian ulasan penulis, sebagai tanggapan sejauh mana batasan kritik terhadap Pejabat publik ditengah kerancuan UU ITE dan keinginan Presiden Joko Widodo agar masyarakat aktif memberi masukan dan menyampaikan kritik.

Semoga bermanfaat..

Bumi anoa, 10 Februari 2020

Penulis; *)Praktisi Hukum/Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia Sulawesi Tenggara (JaDI Sultra)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun