Sanksi administrasi ini dimaksudkan agar setiap orang menaati UU tersebut. Maka, bila saat ini ujaran kebencian sebagai delik pidana pada UU ITE, tentu sungguh berlebihan dan meneruskan semangat kolonialisme dan juga praktik otoritarian Orde Baru. Padahal sesungguhnya substansi ujaran kebencian sebetulnya sudah diatur di KUHP dalam pasal "penghinaan".
UU ITE Tidak Direvisi; Tidak Ada Batasan Kritik Pejabat Publik
Sepanjang UU ITE tidak direvisi, maka pola-pola pembungkaman dengan kriminalisasi akan terus terjadi untuk menekan kebebasan menyampaikan pendapat, kritik dan masukan. Permintaan Presiden Joko Widodo agar masyarakat harus aktif melakukan kritikan dan masukan akan menggantang asap. Tidak akan ada warga masyarakat yang berani saat ini karena diliputi kekhawatiran dan ketakutan.
Disebabkan UU ITE mudah sekali di pelintir karena pengaturan dan cakupan yang terlalu luas. Definisi didalamnya tidak memiliki tafsir yang baik dan mudah sekali orang dijerat kalau mau dicari-cari kesalahan, misalnya istilah "informasi elektronik" apakah itu juga termasuk informasi yang disampaikan lewat surat elektronik dan pesan singkat lewat telepon seluler? Padahal keduanya masuk dalam ranah privat. Lalu UU ITE juga tidak jelas membedakan antara "menghina" dan "mencemarkan nama baik".
Padahal kedua hal itu sudah diatur secara jelas di KUHP. Keberadaan UU ITE yang rancu membuat UU ini rentan disalahgunakan. Rumusan yang longgar tersebut juga mudah disalahgunakan oleh penegak hukum dalam pembuktian.
Karena penyalahgunaan UU ITE terus saja terjadi, inilah yang membuat merosotnya kebebasan berpendapat. Apalagi disebabkan oleh menguatnya peran kepolisian dan penggunaan wewenang yang berlebihan dalam menjaga nama baik institusi pemerintah khususnya Presiden. Sebagai bukti meningkatnya jumlah kasus yang muncul dari penyalahgunaan UU ITE akhirnya menyebabkan turunnya indeks kebebasan Indonesia dari pemerintahan SBY ke Jokowi.
Data dari Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet dan Amnesty International telah menunjukkan kasus kebebasan berekspresi yang terkait UU ITE naik dari 74 kasus pada masa pemerintahan SBY (2009-2014) menjadi 233 kasus pada pemerintahan Jokowi (2014-2019), atau naik lebih dari tiga kali lipat. Penyalahgunaan UU ITE bisa disebabkan oleh beberapa alasan.
Kesimpulan
Kalaupun Presiden Joko Widodo serius mengharapkan keaktifan masyarakat untuk kritik masukan dan bahkan berani melaporkan potensi maladministrasi pelayanan publik, maka solusinya, sebagai berikut;
- Presiden Joko Widodo memerintahkan Kapolri untuk tidak melakukan dan menghentikan kriminalisasi (penangkapan, penahanan) terhadap masyarakat yang menyampaikan masukan, kritik dan koreksi terhadap pemerintah dalam pelayanan publik maupun penanganan Covid-19
- Pemerintah bersama DPR dalam fungsinya sebagai pemegang kekuasaan pembentuk UU agar melakukan revisi UU ITE untuk mengembalikan maksud dan tujuan pengaturan UU ITE yang bertujuan melindungi masyarakat dari penyalahgunaan teknologi ITE, bukan membatasi masyarakat dalam memanfaatkan teknologi ITE. Negara harus menjamin rasa aman bagi penggunaan teknologi dan informasi dapat berupa perlindungan hukum dari segala gangguan tindak pidana, baik secara verbal, visual maupun yang menyebabkan terjadi kontak fisik.
- Jaminan kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan komunikasi ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan Penyelenggara Sistem Elektronik (Penjelasan Umum UU ITE 2016).
Demikian ulasan penulis, sebagai tanggapan sejauh mana batasan kritik terhadap Pejabat publik ditengah kerancuan UU ITE dan keinginan Presiden Joko Widodo agar masyarakat aktif memberi masukan dan menyampaikan kritik.
Semoga bermanfaat..