Dalam uji klinis fase tiga di Bandung dilakukan terhadap 1.600 subjek dengan profil beragam. Jumlah tersebut jauh lebih sedikit sebab di Turki dilakukan terhadap 7.000 subjek dan di Brazil 13.000 subjek.
Persoalan profil subjek juga menentukan angka efikasi. Uji Sinovac di Brazil dan Turki profil subjek mereka adalah warga yang tingkat risiko kecil seperti pekerja kesehatan yang sudah terbiasa hidup sehat.
Vaksin yang stabil harusnya memberikan efikasinya konstan bukan tergantung pada banyaknya subjek dan profil mereka. Vaksin yang stabil akan memberikan efek yang sama pada semua subjek dan semua profil masyarakatnya. Hanya sayangnya vaksin stabil tersebut belum diakui secara konsensus sampai tahun depan 2022.
Pilihan Kebijakan ke Depan
Dalam kebijakan publik, apa yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dengan memberikan vaksin dengan efikasi paling rendah di pasaran akan menjadi blunder bagi reputasi kesehatan Indonesia.
Tidak hanya blunder namun banyak menyia-yiakan sumber daya keuangan dan pendapatan negara di masa depan.
Harga vaksin sinovac terbilang cukup mahal. Berdasarkan data sebagaimana di kutip Republika dan Kumparan, Harga Sinovac sebesar Rp1,08 juta per dosis, Pfizer sebesar Rp295 ribu, Moderna sebesar Rp220 ribu, AstraZeneca sebesar Rp59 ribu per dosis. Vaksin yang diproduksi biofarma berkisar 74 rb sampai 220 ribu per dosis.
Bila vaksin sinovac yang digunakan, maka Indonesia merugi tiga kali, satu harganya terlalu mahal dan kedua mutunya terlalu rendah dan ketiga dosis yang dibutuhkan mencapai 70% imunitas jauh lebih banyak.
Efikasi Pfizer dan Moderna sebesar 95%, Sputnik V sebesar 92% dan Astrazeneca sebesar 90%.
Dengan asumsi populasi 270 juta, dengan efikasi hanya 65,3%. Butuh populasi yang tervaksin sinovac sekitar 207 juta jiwa. Itu hanya untuk minimum (50%) kekebalan dari total populasi. Artinya juga butuh 414 juta dosis vaksin secara total.
Tidak heran, bila KPK perlu dilibatkan karena pemilihan vaksin tersebut yang terlalu terburu-buru dan rawan benturan kepentingan.