Publik Indonesia menunggu-nunggu hasil uji klinis 3 dari Sinovac yang dilakukan di Bandung Jawa Barat. Akhirnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengumumkan bahwa uji efikasi vaksin Sinovac tersebut di Indonesia sebesar 65.3%.
Berdasarkan hasil tersebut, akhirnya BPOM mengeluarkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization terhadap vaksin Covid-19 Sinovac asal China tersebut ada Senin 11 Januari lalu.
Efikasi Vaksin Sinovac 65.3% tersebut artinya adalah dari 100 orang yang divaksin, akan ada 34-35 orang yang masih bisa kena Covid-19. Bila yang terkena itu adalah kita sebagai orang awam, maka mungkin efikasi 65.3% tersebut tidak bermasalah. Namun bila para tenaga kesehatan (nakes) dan mungkin termasuk Presiden yang terkena maka efikasi 65.3% tersebut bisa merusak reputasi vaksin itu sendiri.
Jangan Main-main dengan Konsekuensi Efikasi.
WHO mengatakan bahwa persyaratan vaksin adalah minimal efikasi adalah 50 persen. Persyaratan WHO tersebut sangat longar artinya bila ada 100 orang divaksin, akan ada 50 orang kena Covid. Tentunya, WHO menetapkan syarat minimal tersebut untuk memacu produsen vaksin saling berkompetisi mencari vaksin dengan efikasi tertinggi.
Para ahli WHO percaya bahwa semakin tinggi efikasi sebuah vaksin maka akan makin dipercaya vaksin tersebut diedarkan di masyarakat. Semakin rendah efikasinya, kepercayaan publik makin turun sehingga publik tidak berminat menggunakannya.
Negara harus mendukung vaksin yang memiliki efikasi vaksin yang tinggi sebab hal tersebut dapat menguatkan reputasi negara baik di mata warga negaranya sendiri maupun di mata internasional.
Negara di kawasan ASEAN seperti Singapore telah memutuskan memberikan warganya vaksin yang efikasinya tinggi di atas 93% dan Indonesia memutuskan vaksin untuk warganya efikasinya hanya 65.3%.
Hal ini dapat dipersepsikan bahwa Pemerintah Singapura lebih peduli dengan kesehatan warganya dibandingkan Indonesia. Persepsi tersebut dapat melahirkan kebanggaan warganya terhadap negaranya sendiri dan akhirnya meningkatkan semangat nasionalismenya.
Poinnya adalah bila negara ingin memberikan vaksin massal kepada warganya, maka negara wajib memberikan vaksin yang paling tinggi efikasinya di pasaran. Apalagi bila vaksin tersebut menimbulkan multiplier effect yang luas seperti mempercepat pemulihan ekonomi, memperbaiki kehidupan sosial dan meningkatkan semangat nasionalisme.
Disebutkan sebelumnya bahwa efikasi Sinovac di Turki 91.23 persen dan di Brasil sebesar 78 persen jauh lebih tinggi daripada Indonesia.
Menurut BPOM, angka yang berbeda tersebut dipengaruhi beberapa faktor di antaranya mengenai jumlah subjek yang diteliti dan profil subjek.
Dalam uji klinis fase tiga di Bandung dilakukan terhadap 1.600 subjek dengan profil beragam. Jumlah tersebut jauh lebih sedikit sebab di Turki dilakukan terhadap 7.000 subjek dan di Brazil 13.000 subjek.
Persoalan profil subjek juga menentukan angka efikasi. Uji Sinovac di Brazil dan Turki profil subjek mereka adalah warga yang tingkat risiko kecil seperti pekerja kesehatan yang sudah terbiasa hidup sehat.
Vaksin yang stabil harusnya memberikan efikasinya konstan bukan tergantung pada banyaknya subjek dan profil mereka. Vaksin yang stabil akan memberikan efek yang sama pada semua subjek dan semua profil masyarakatnya. Hanya sayangnya vaksin stabil tersebut belum diakui secara konsensus sampai tahun depan 2022.
Pilihan Kebijakan ke Depan
Dalam kebijakan publik, apa yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dengan memberikan vaksin dengan efikasi paling rendah di pasaran akan menjadi blunder bagi reputasi kesehatan Indonesia.
Tidak hanya blunder namun banyak menyia-yiakan sumber daya keuangan dan pendapatan negara di masa depan.
Harga vaksin sinovac terbilang cukup mahal. Berdasarkan data sebagaimana di kutip Republika dan Kumparan, Harga Sinovac sebesar Rp1,08 juta per dosis, Pfizer sebesar Rp295 ribu, Moderna sebesar Rp220 ribu, AstraZeneca sebesar Rp59 ribu per dosis. Vaksin yang diproduksi biofarma berkisar 74 rb sampai 220 ribu per dosis.
Bila vaksin sinovac yang digunakan, maka Indonesia merugi tiga kali, satu harganya terlalu mahal dan kedua mutunya terlalu rendah dan ketiga dosis yang dibutuhkan mencapai 70% imunitas jauh lebih banyak.
Efikasi Pfizer dan Moderna sebesar 95%, Sputnik V sebesar 92% dan Astrazeneca sebesar 90%.
Dengan asumsi populasi 270 juta, dengan efikasi hanya 65,3%. Butuh populasi yang tervaksin sinovac sekitar 207 juta jiwa. Itu hanya untuk minimum (50%) kekebalan dari total populasi. Artinya juga butuh 414 juta dosis vaksin secara total.
Tidak heran, bila KPK perlu dilibatkan karena pemilihan vaksin tersebut yang terlalu terburu-buru dan rawan benturan kepentingan.
Menteri Kesehatan sebaiknya perlu menunda penjadwalan pemberikan vaksin kepada nakes bila vaksin yang digunakan pertama kali adalah vaksin berefikasi rendah. Alasannya adalah pemerintah harus melindungi pasukan frontline dari perang melawan COVID-19 yaitu para tenaga kesehatan. Jika mereka perlu divaksin secara prioritas maka Menkes seharusnya memberikan vaksin berefikasi tertinggi seperti yang dilakukan di negara maju.
Vaksin sinovac dapat tetap digunakan namun secara porsi mungkin hanya sekitar 20-30% dari total dosis yang akan dimassalkan, sisanya 70-80% menggunakan kombinasi vaksin berefikasi tinggi diatasnya.
Terkait dengan keuangannya, Pemerintah tidak perlu khawatir karena pemerintah dapat membeli vaksin berefikasi tinggi dari Pfizer, Moderna , sputnikV dan Astrazeneca tersebut menggunakan fasilitas yang diatur UU Nomor 2 Tahun 2020 yaitu menawarkan pembelian SUN kepada Bank Indonesia. Karena pembelian vaksin dapat dikategorikan sebagai publik good.
Singkatnya pemerintah perlu memperbaiki kebijakan vaksinasinya berdasarkan dirilisinya angka efikasi Sinovac yang jauh dibawah ekspektasi 65.3% melalui perbaikan kebijakan yaitu memberikan vaksin ber-efikasi tinggi kepada prioritas pertama yaitu relawan nakes dan para pelayan publik yang secara jumlah tidak terlalu besar.
Selanjutnya pemberian gelombang kedua vaksinasi dapat dikombinasi dengan vaksin ber-efikasi rendah mengingat ketersediaannya vaksin ber-efikasi tinggi masih terbatas.
Bila ketersediaan vaksin sudah berlimpah, vaksin ber-efikasi rendah akan ditinggalkan oleh masyarakat sehingga produsen vaksin berefikasi rendah akan meningkatkan risetnya agar mencapai vaksin yang lebih tinggi efikasinya. itulah mekanisme pasar yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang. Vaksin berefikasi rendah akan tidak memiliki pasar di mana pun di seluruh dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H