Mohon tunggu...
Mohamad Hidayat Muhtar
Mohamad Hidayat Muhtar Mohon Tunggu... Dosen - MENULIS ADALAH CANDU BAGI SAYA

"MENULIS ADALAH BEKERJA UNTUK KEABADIAN" PRAMOEDYA ANANTA TOER

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Konstitualisme Hukum Islam dalam Ketatanegaraan Indonesia

24 Oktober 2018   17:28 Diperbarui: 24 Oktober 2018   17:56 3527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Latar Belakang

Sistem pemerintahan pada umumnya terbagi atas dua sistem utama, yaitu sistem presidensiil dan sistem parlementer. Di luar dari kedua sistem tersebut dinamakan sistem "campuran", dapat pula berbentuk kuasi presidensiil atau kuasi parlementer. 

Namun, ada juga yang menyebut sistem referendum, yaitu sistem yang badan eksekutifnya merupakan bagian dari badan legislatif, atau yang biasanya disebut sebagai badan pekerja legislatif. 

Dalam sistem ini badan legislatif membentuk sub badan di dalamnya sebagai pelaksana tugas pemerintah. Kontrol yang dilakukan terhadap badan legislatif dilakukan secara langsung melalui referendum.[1]

Secara teoritis, kedudukan presiden dalam sistem pemerintahan presidensiil sangat kuat dibandingkan dengan kedudukan perdana menteri dalam sistem pemerintahan parlementer. 

Hal itu wajar, karena dalam sistem presidensial dimaksudkan dan diharapkan untuk melahirkan suatu pemerintahan yang relatif stabil dalam jangka waktu tertentu (fix term office periode). Presiden hanya dapat dimakzulkan[2]. dalam masa jabatannya apabila melakukan pelanggaran hukum yang secara tegas diatur dalam konstitusi setiap negara. 

Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, kepala pemerintahan atau perdana menteri yang mempimpin kabinet setiap saat dapat dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya.[3]

Berkaitan dengan hal diatas dalam sistem ketatanegaraan dikenal juga tentang ketatanegaraan islam biasanya system ini di terapkan di negara negara timur tengah dengan mengkodifikasikan tata hukumnya dengan hukum islam. 

Banyaknya upaya yang telah dilakukan para ulama dalam rangka pencarian format relasi agama dan negara, pada dasarnya mengandung dua maksud. Pertama, untuk menemukan idealitas Islam tentang negara (menekankan aspek teoritis dan formal), yaitu dengan menjawab pertanyaan, "Bagaimana bentuk negara dalam Islam?". 

Pendekatan ini bertolak pada suatu asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara. Kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara (menekankan aspek praktis dan substansial), yakni mencoba menjawab pertanyaan, "Bagaimana isi negara menurut Islam?"[4] Istilah relasi, diartikan sebagai "hubungan"; "perhubungan", dan "pertalian".[5] Sedangkan "Agama" mengandung pengertian bahwa ia adalah suatu perarturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau.[6] Sedangkan negara, secara terminologi diartikan dengan organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.

Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya sebuah masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah), dan adanya pemerintah yang berdaulat.[7] Definisi di atas, tampaknya dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam penelitan ini guna melacak istilah negara dalam khazanah Islam. Sebab, dalam kajian Islam (Islamic studies), istilah negara bisa bermakna dawlah, khilafah, imamah,hukumah, dan kesultanan.[8]

Dari berbagai istilah di atas, penyebutan negara dalam Islam memiliki beragam corak. Jika melihat sejarahnya istilah-istilah di atas pernah dipraktekkan oleh umat Islam di berbagai Kawasan terutama di timur tengah. Relasi di sini berarti sebuah hubungan, yang kemudian melahirkan beberapa pertanyaan seperti Apakah negara harus tunduk di bawah ajaran agama? apakah agama harus terkooptasi oleh negara? Apakah negara dan agama harus berhadapan secara frontal, tanpa harus saling mencampuri? Apakah agama dan negara di posisikan dalam ruang yang berbeda, namun saling menguntungkan? Atau agama dan negara harus dipersatukan? Inilah yang kemudian banyak melahirkan polemik sepanjang sejarah.

Indonesia sendiri sebagai negara dengan mayoritas penduduk islam pada prinsipnya dalam aspek ketatanegaraanya lebih berciri sistem ketatanegaraan atau mengikuti pemikir-pemikir dari barat misalnya kita merupakan negara dengan sistem pemerintahan presidensial berbeda dengan negara-negara islam khusnya timur tengah yang mengikuti ketatanegaraan islam disana tidak dikenal presiden akan tetapi raja atau sultan. Hukum islam sendiri dalam ketatanegaraan Indonesia tercantum dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) Eksistensi Hukum Islam termanifestasi di dalam konstitusi Negara Indonesia yang lazim dikenal dengan UUD  1945 sebagaimana tercantum pada alinea keempat pada Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, "Ketuhanan Yang Maha Esa" Ahmad Sukardja menyimpulkan apabila dibandingkan materi antara Piagam Madinah dengan UUD 1945, maka UUD 1945 mengandung unsur islami. Karena itu peluang berlakunya Hukum Islam secara yuridis konstitusional sangat terbuka lebar dan penerapan syariat Islam semakin tinggi.[9]

Karakteristik Pemikiran Kenegaraan Dalam Islam

Sejarah perkembangan ilmu ilmu politik, konsep negara merupakan konsep yang dominan, sehingga bila membicarakan ilmu politik berarti membicarakan negara dan segala sesuatu yang berhubungan denganya. Pada awalnya ilmu politik mempelajari masalah negara. Dengan itu, pendekatan yang muncul dalam ilmu politik adalah pendekatan legal-formal, yaitu suatu pendekatan yang memahami ilmu politik dari sudut formal legalistic dengan melihat lembaga-lembaga politik sebagai obyek studinya, termasuk didalamnya masalah negara. Konsep negara selalu mendapatkan tempat yang istimewa, hal itu terjadi sejak zaman yunani bahkan sampai sekarang. Banyak gagasan yang telah dikemukakan dalam kurun waktu tersebut tentang konsep negara. Seperti yang kita ketahui para pemikir yunani kuno, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles
dalam karya-karyanya membicarakan tentang konsep negara.[10]

Dalam ranah pemikiran politik Islam mengenai dasar negara maupun politik sudah muncul sejak abad klasik, abad pertengahan dan sampai modern. Seperti Al-Farabi, Al Mawardi, Al Ghazali yang mampu menjadi pemikir politik di abad klasik dan pertengahan, sedangkan di abad modern yang terkenal seperti, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal dan tokoh-tokoh yang lain. Rasyid Ridha, seorang ulama terkemuka Islam, yang dianggap paling bertanggung jawab dalam merumuskan konsep negara Islam modern, menyatakan bahwa premis pokok dari konsep negara Islam adalah syariah, menurut beliau syariah merupakan sumber hukum paling tinggi. Dalam pandangan Rasyid Ridho, syariah harus membutuhkan bantuan kekuasaan untuk tujuan mengimplementasinya, dan mustahil untuk menerapkan hukum Islam tanpa adanya Negara Islam. Karena itu, dapat dikatakan bahwa penerapan hukum Islam merupakan satu-satunya kriteria utama yang sangat menentukan untuk membedakan antara suatu negara Islam dengan negara non-Islam.[11]

Sedangkan Fazlur Rahman, tidak menyatakan secara jelas pendapatnya mengenai konsep Islam mengenai negara, memberikan definisi negara Islam
secara fleksibel, tak begitu ketat dengan syarat-syarat tertentu. Fazlur Rahman menilai negara Islam adalah suatu negara yang didirikan atau dihuni oleh umat Islam dalam rangka memenuhi keinginan mereka untuk melaksanakan perintah Allah melalui wahyu-Nya. Tentang bagaimana implementasi penyelenggaraan negara itu, Fazlur Rahman tidak memformat secara kaku, tetapi elemen yang paling penting yang harus dimiliki adalah syura sebagai dasarnya. Dengan adanya lembaga syura itu sudah tentu dibutuhkan ijtihad dari semua pihak yang berkompeten. Dengan demikian, kata Fazlur Rahman, akan sangat mungkin antara satu negara Islam dengan negara Islam yang lain, implementasi syariah Islam akan berbeda, oleh karena tergantung hasil ijtihad para mujtahid di negara yang bersangkutan.[12]

Salah satu pemikir berpengaruh di dunia Islam, Ibnu Khaldun, membagi proses pembentukan kekuasaan politik (siysah) atau pemerintahan menjadi tiga jenis. Pertama, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan atas naluri politik manusia untuk bermasyarakat dan membentuk kekuasaan. Kedua, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan atas pertimbangan akal semata dengan tanpa berusaha mencari petunjuk dari cahaya ilahi. Ia hanya ada dalam spekulasi pemikiran para filosof. Ketiga, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah agama yang telah digariskan oleh shari'ah. Politik ini didasarkan atas keyakinan bahwa Tuhan sebagai pembuat shariah adalah yang paling tahu maslahat yang diperlukan manusia agar mereka bisa bahagia di dunia dan akhirat. Ibnu Khaldun menyebut jenis yang pertama dengan sebutan al-mulk al-thabi'iy yang kedua dengan sebutan al-siysah al- madaniyah dan yang ketiga dengan sebutan al-siyasah al-diniyah atau syar'iyyah.[13]

Pada perkembangan berikutnya, kajian-kajian tentang negara dan kaitannya dengan agama, selalu mendapat porsi lebih khusus. Inilah yang menyebabkan munculnya kesepakatan para ulama yang mewajibkan adanya pemerintahan, mekipun kajian klasik dan kontemporer punya pendapat yang beragam mengenai bentuk pemerintahan itu. Kewajiban ini didasarkan pada :[14]

  • Ijma shahabat
  • Menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan yang kacau balau akibat tidak adanya pemerintahan
  • Melaksanakan tugas-tugas keagamaan
  • Mewujudkan keadilan yang sempurna.

Mengenai relasi agama dan negara, Islam sejak awal tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana konsep dan bentuk negara yang dikehendaki. Dalam konsep Islam, dengan mengacu pada al-Quran dan al-Hadith, tidak ditemukan rumusan tentang negara secara eksplisit, hanya di dalam kedua sumber hukum Islam itu terdapat prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, di antaranya adalah:[15]

  • Keadilan: (QS. 5:8) Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
  • Musyawarah: (QS. 42:38) Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.
  • Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran: (QS.3:110) Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah.
  • Perdamaian dan persaudaraan:  (QS. 49:10) Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
  • Keamanan : (QS. 2:126) Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa.
  • Persamaan: (QS. 16:97 dan 40:40) Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (QS. 16:97).

Secara historis, cikal bakal negara Islam, meski dalam bentuk yang sangat sederhana dan tidak tersebut secara yuridis formal, dapat dirunut sejak pasca lahirnya perjanjian Hudaybiyah II (Piagam Madinah). Meskipun pendirian negara, termasuk agama negara, tidak diartikulasikan secara tegas oleh nabi, persyaratan sebagai negara telah terpenuhi: wilayah, pemerintahan, rakyat, kedaulatan, dan konstitusi.[16] Yang penting untuk digarisbawahi adalah, bahwa tidak adanya penyebutan Negara Madinah pada saat itu sehingga banyak kalangan yang menyebut perjanjian itu sebagai bentuk kerjasama antar berbagai elemen masyarakat di sebuah wilayah.[17] Inilah yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan dan bahan kajian untuk mencari formulasi apa yang disebut sebagai negara Islam. Kontemporer islam tidak ada kesepakatan yang bulat di kalangan pakar politik Muslim modern tentang apa sesungguhnya yang terkandung dalam konsep negara Islam. Kenyataan mudah terlihat dengan begitu beragamnya sistem negara dan pemerintahan di dunia ini yang menganggap dirinya sebagai negara Islam. 

Walaupun memang dalam sistem bernegara harus mengakui kedaulatan negara apakah dia negara islam murni atau negara islam yang mempunyai ciri ini tidak terlepas dari rentang sejarah masing-masing negara contohnya adalah negara-negara seperti Saudi Arabia, Iran, Pakistan atau Sudan yang menerapkan system pemerintahan berdasarkan Islam tetapi apakah negara itu wajib dijadikan contoh? Sedangkan dalam islam tidak mengatur secara spesifik system bernegara atau, dalam pertanyaan yang berbeda, bisakah negara yang hanya mengimplementasikan nilai-nilai universalitas Islam itu disebut sebagai Negara Islam?

Konsep pemerintahan Islam sama ada dalam bentuk khilafah mahupun negara Islam itu sendiri pada asasnya tidak dapat lari daripada peristilahan negara Islam. Hakikatnya, istilah negara Islam (dawlah Islamiyyah) sendiri baru dikenali pada abad ke-20 seiring dengan kemerdekaan negara-negara Islam yang dijajah kuasa Barat dan masuknya fahaman nasionalisme yang dibawa oleh penjajah. Dalam khazanah dan pemikiran ahli hukum Islam (fikah), istilah yang lebih dulu dikenali ialah Dar al-Islam (wilayah Islam) bagi merujuk sesebuah wilayah yang dikuasi oleh umat Islam. Bertentangan dengan istilah Dar al-Islam yang mempunyai makna negara aman, istilah Dar al-Harb (wilayah peperangan) ialah bagi merujuk negara yang dikuasai oleh bukan Islam. Istilah lain bagi merujuk kategori negara bukan Islam ialah Dar al-Muahadah yiaitu negara bukan Islam yang mengikat perjanjian dengan negara umat Islam.[18]

Sedangkan Fazlurrahman, kendati tidak menyatakan secara gamblang pendapatnya mengenai konsep Islam mengenai negara, memberkan definisi negara Islam secara fleksibel, tak begitu ketat dengan syarat-syarat tertentu. Rahman menilai negara Islam adalah suatu negara yang didirikan atau dihuni oleh umat Islam dalam rangka memenuhi keinginan mereka untuk melaksanakan perintah Allah melalui wahyu-Nya. Tentang bagaimana implementasi penyelenggaraan negara itu, Rahman tidak memformat secara kaku, tetapi elemen yang paling penting yang harus dimiliki adalah Shura sebagai dasarnya. Dengan adanya lembaga Shura itu sudah tentu dibutuhkan ijtihad dari semua pihak yang berkompeten. Dengan demikian, kata Rahman, akan sangat mungkin antara satu Negara Islam dengan Negara Islam yang lain, implementasi shariah Islam akan berbeda, oleh karena tergantung hasil ijtihad para mujtahid di negara yang bersangkutan.[19]

Istilah lain yang dikenali bagi merujuk negara Islam ialah istilah khilafah. Istilah khilafah digunakan terutama merujuk kepada era kepemimpinan khulafaurrasyidin, selain juga bersumber kepada istilah yang jelas termaktub di dalam al-Qur'an.[20] Manakala istilah daulah merujuk kepada era pemerintahan daulah Umayyah, daulah Abbasiyah dan Usmaniyah. Bagaimanapun, istilah daulah pada asalnya bukan diartikan sebagai negara akan tetapi mempunyai dua makna iaitu bergilir-gilir dan peredaran.[21] Istilah negara Islam turut mendapat perhatian dalam kalangan ahli hukum Islam (ahli fikah) bagi merumuskannya. Abu Hanifah pengasas mazhab Hanafi mentakrif negara Islam dengan meletakkan rasa aman dan bebas daripada ancaman musuh sebagai ciri utamanya. Selain itu beliau juga mensyaratkan segala aktiviti dan kegiatan Islam dapat dijalankan tanpa ada gangguan. Sekalipun negara itu tidak mengamalkan undang-undang Islam, akan tetapi majoriti penduduknya beragama Islam dan ketua negara dipegang oleh umat Islam, maka negara tersebut layak disebut sebagai negara Islam. Dalam kalangan mazhab Syafii, salah seorang tokohnya Mohammad Abu Zahrah berpendapat bahawa negara Islam ialah pemerintahan, kekuatan dan pertahanan negara dikuasai umat Islam. Beliau turut mensyaratkan bahawa negara itu tidak melaksanakan amalan riba, arak, judi dan penduduknya tidak memakan khinzir.[22]

Bentuk Ideal Relasi Agama dan Negara Dalam Ketatanegaraan Indonesia

Dalam sejarah Islam, ada tiga tipologi hubungan antara agama dan negara. Din Syamsudin membaginya sebagai berikut: Pertama, golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara berjalan secara integral. Domain agama juga menjadi domain negara, demikian sebaliknya, sehingga hubungan antara agama dan negara tidak ada jarak dan berjalan menjadi satu kesatuan. Tokoh pendukungan gerakan ini adalah al-Maududi. Kedua, golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara berjalan secara simbiotik dan dinamis-dialektis, bukan berhubungan langsung, sehingga kedua wilayah masih adamjarak dan kontrol masing-masing, sehingga agama dan negara berjalan berdampingan. Keduanya bertemu untuk kepentingan pemenuhan kepentingan masing-masing, agama memerlukan lembaga negara untuk melakukan akselerasi pengembangannya, demikian juga lembaga negara memerlukan agama untuk membangun negara yang adil dan sesuai dengan spirit ketuhanan. Tokoh Muslim dunia dalam golongan ini di antaranya adalah Abdullahi Ahmed An-Na'im, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaid, Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Ketiga, golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara merupakan dua domian yang berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali. Golongan ini memisahkan hubungan antara agama dan politik negara. Oleh sebab itu, golongan ini menolak pendasaran negara pada agama atau formalisasi norma-norma agama ke dalam sistem hukum negara.[23] 

Diskursus reposisi agama dan negara yang fundamen untuk dimasukkan pada bab agama di dalam UUD 1945, dalam catatan sejarah konsepsi mengenai agama dan negara yang didalamnya termaktub kebebasan beragama yang tanpa disadari telah di mulai sebelum Indonesia merdeka, yaitu pada tahun 1940, ketika muncul polemik mengenai hubungan antara negara dan agama yang memperhadapkan dua tokoh pejuang kemerdekaan terkemuka, yakni Soekarno dan Natsir.[24] Polemik itu di picu oleh artikel Bung Karno yang di muat di majalah Panji Islam, berjudul "Memudahkan Pengertian Islam". Menurut Soekarno, demi kebaikan (agama dan negara), maka keduanya harus di pisahkan.

Soekarno menyatakan kekaguman dan dukungannya terhadap apa yang dilakukan oleh Kemal Attaruk di Turki pada tahun 1928, ketika pemimpin Turki itu menghapus isi konstitusi yang menjadikan Islam sebagai agama negara untuk kemudian menjadikan agama sebagai urusan perseorangan. Menurut Soekarno, penghapusan itu justru dimaksudkan agar Islam menjadi lebih maju dibawah orang yang menganutnya, bukan di bawah negara, dengan kata lain menyerahkan urusan agama kepada masing-masing pemeluknya. Oleh sebab itu menanggapi ungkapan Soekarno, Natsir terang-terangan menyatakan mengikuti pendapat bahwa negara tidak dapat dipisahkan dari agama sesuai dengan bunyi bahwa jin dan manusia di ciptakan tiada lain kecuali untuk beribadah sehingga setiap muslim memiliki cita-cita untuk menjadi hamba Allah yang sepenuhnya untuk mencapai kebahagiaan dunia akherat. Negara memiliki arti sangat penting bagi Islam, sebab Qur'an dan Sunnah tidak berkaki sendiri untuk menjaga peraturan-peraturannya agar ditaati sebagaimana mestinya. Berawal dari Natsir yang mengkritik Kemal Attaturk yang dianggap mencampakkan Islam dari konstitusi di Turki hanya karena masyarakat yang tidak Islami. Kemdian polemik tersebut berlanjut hingga di sidang BPUPKI dan PPKI pada waktu itu.[25]

Umat Islam pada umumnya mempercayai watak kholistik Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrument ilahiyah untuk memahami dunia,
seringkali dipandang sebagai lebih dari sekedar agama. Beberapa kalangan malah menyatakan bahwa Islam juga dapat di pandang sebagai agama dan negara.[26] Namun artikulasinya pada tingkat praksis menjadi persoalan yang problematik, Hal ini antara lain disebabkan oleh ciri umum sebagian besar ajaran Islam yang memungkinkan multi intepretasi sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Kemudian masuk ke peristiwa yang paling bersejarah yakni pertemuan pertama PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.[27] Pada saat itu suasana kebatinan dan situasi politik Indonesia berubah secara dramatis, menyusul proklamsi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Pada tgl 18 Agustus 1945 PPKI memilih Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada saat yang sama, PPKI menyetujui naskah Piagam Jakarta sebagai pembukaan UUD 1945, kecuali tujuh kata di belakang sila ketuhanan, 7 kata Piagam Jakarta yang termaktub dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 "Negara berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", yang telah memunculkan kontroversi terpanas dalam sesi terakhir persidangan BPUPK. Dicoret lantas diganti dengan kata-kata Yang Maha Esa. Sehingga, selengkapnya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai konsekuensi dari pencoretan tujuh kata ini, dalam batang tubuh UUD 1945, disetujui pula Pasal 6 ayat 1 :

"Presiden ialah orang Indonesia asli, tidak ada tambahan kata-kata yang beragama Islam."

Demikian pula, bunyi Pasal 29 ayat 1 menjadi: negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa, tanpa disertai tujuh kata dibelakangnya.[28] Gejolak perdebatan antara "golongan kebangsaan" dan golongan Islam". Berlanjut pada seorang Tan Malaka, dalam kapasitannya sebagai pemimpin komunis, mempunyai kepedulian yang tinggi untuk merukunkan antara komunisme dan Islamisme. Pada Konggres Komintrn keempat, November 1922, Tan Malaka terang-terangan mengecam sikap permusuhan komintrn terhadap Pan-Islamisme, karena hal itu dipandang sebagai cerminan kekuatan borjuis yang tidak bisa dipercaya. Dia juga menekankan potensi revolusioner dalam Islam di daerah-daerah jajahan dan kebutuhan partai-partai komunis untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok radikal Islam.[29]

Kedua golongan yang berseberangan antara kebangsaan dan Islam masing-masing di internal golongan tersebut terjadi perdebatan pandangan. Internal golongan Islam satu pihak menginginkan tidak sepenuhnya menghendaki penyatuan agama dan negara, demikian juga golongan kebangsaan yang tidak menginginkan pemisahan sepenuhnya dari urusan negara dengan urusan negara. Betapapun mereka berbeda pandangan melalui konfrontasi mengenai relasi agama dan negara, namun tidak ada penolakan terhadap nilai-nilai ketuhanan dalam persidangan pertama BPUPK (29-1 Juni) karena ketuhanan sebagai fundamen yang penting bagi negara Indonesia merdeka.

Kendati demikian bahwa ketuhan menjadi fundamen dalam sebuah negara, perbenturan dua paham terus berlanjut. sulit untuk menemukan kemungkinan lain dalam melihat hubungan negara dan agama diluar pola penyatuan (fusion) dan pemisahan (separation). Percobaan untuk mencari
formula alternatif dilakukan secara konseptual. Sebenarnya Soekarno tidak terlalu setuju dengan penyatuan Islam dan Negara dapat dilihat dalam pidatonya pada 1 Juni, ketika menguraikan apa yang disebutnya sebagai Philosofische grondslag, dia tidak mendukung gagasan Islam sebagai dasar negara, tetapi memberi peluang bagi golongan Islam untuk mengorganisasikan diri secara politik yang akan mempengaruhi keputusan-keputusan politik di lembaga perwakilan.[30]

Secara historis-faktual, penerimaan ulama terhadap eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara didasari oleh fakta bahwa warga negara Indonesia bersifat majemuk, sehingga persatuan dalam keragaman menjadi keniscayaan. Kegagalan negara-negara Eropa seperti Jerman karena menjadikan budaya Jerman sebagai kiblat dari semua budaya lainnya yang hidup di Jerman. Arogansi inilah yang menyebabkan Jerman gagal dalam proses integrasi yang diterapkan kebijakan Kementerian Dalam Negeri Jerman. Fakta tersebut berbeda dengan kondisi di Amerika yang sejak awal sudah membangun budayanya berdasarkan prinsip melting pot atau tungku pelebur dari berbagai budaya masyarakat lainnya. Oleh sebab itu, menjadikan budaya lokal dan kearifan lokal secara proporsional dalam kehidupan Indonesia menjadi pilihan tepat.[31]. Usaha kompromi yang telah dilakukan tentunya telah final degan pilihan bahwa Pancasila sebagai filosofi sekaligus sebagai idiologi negara. Terlepas apakah dasar negara itu berkesesuaian dengan golongan Islam dan golongan kebangsaan. Namun titik temu itu barang kali sulit di satukan mengingat masingmasing memiliki argumentasi yang kuat. Memang persoalan tersebut fundamen adanya, namun pastinya ada jalan solusi yang terbaik, karena pancasila digali dari nilai-nilai kebangsaan yang di dalamnya ada nilai-nilai dari masing-masing agama dan budaya yang ada.

 

Kesimpulan

  • Sintesa antara negara dan agama, di dunia Islam, menunjukkan jalan yang rumit, namun unik. Pemikiran kenegaraan dalam islam tetap mempertahankan integrasi antara agama dan negara karena  Islam telah lengkap secara paripurna dalam mengatur sistem kemasyarakatan, termasuk di dalamnya masalah politik. Dalam paradigma integralistik, agama dan negara menyatu. Karenanya kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Ilahi" (divine soveregnity), karena kedaulatan berasal dan berada di "tangan Tuhan".
  • Relasi agama Islam dan Negara dalam system Ketatanegaraan Indonesia secara konstitusional, agama dan negara berjalan dinamis-dialektis, sehingga pelembagaan substansi norma agama Islam dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa dilakukan dengan cara inkosntitusional, tetapi harus melalui proses konstitusional, berdasarkan Pancasila dan UUD-NRI 1945. Substansi norma agama Islam hanya dapat diterapkan dalam tata hukum nasional jika diundangkan secara konstitusional dan sesuai dengan Pancasila dan UUD-NRI Tahun 1945.

 

CATATAN KAKI:

[1] Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni (Malang: Setara Press Kelompok
Penerbit In-Trans, 2012), h. 46.

[2] Makzul menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti berhenti memegang jabatan; turun takhta. Maksud dari jabatan dalam hal ini adalah jabatan sebagai kepala negara atau presiden. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi IV (Cet. I; Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 865

[3] Erwin Chemerinsky, "Constitutional Law, Principles and Policies" dalam Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945 (Jakarta:Konstitusi Press, 2014), h. 1.

[4] Rijal Mumazziq Zionis, , "Konsep Kenegaraan Dalam Islam Perdebatan Relasional Yang Tak Kunjung Tuntas, Jurnal Falasifa. Vol. 1 No. 2 september 2010 , h. 1.

[5] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, 2008, h. 830

[6] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2011), h. 10

[7]Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara Dalam. Prespektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h. 19.

[8] Rijal Mumazziq Zionis, Op. cit, h. 2

[9] Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan, (Jakarta, Kompas: 2008), hlm. 58

[10] Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes Sejarah Perkembangan Partai-partai Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2006, hlm. 16.

[11] Asghar Ali Engineer, Devolusi Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 168.

[12] Amiruddin M Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Fazlurrahman, Yogyakarta: UII Press, 2000, hlm. 80-84

[13] Rijal Mumazziq Zionis, Op. cit, h. 4-5

[14] Hasby Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam, 1991, h. 50-57

[15] Asghar Ali Engineer, Devolusi Negara Islam, terj. Imam Mutaqin, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, h. 58

[16] Muhammad Amin, Pemikiran Politik Al-Mawardi, Jurnal Politik Profetik Volume 04, No. 2 Tahun 2016, h. 6

[17] Wahib Wahab, Menggagas Reformulasi Relasi Negara dan Rakyat: Perspektif Teologi Politik Islam-Hermeneutik, dalam Jurnal Paramedia, 1999, h. 27

[18] Pembahagian istilah dan kategori negara Islam yang menjadi pegangan para fukaha (ahli fikih) ini dihuraikan secara terperinci dalam Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Jihad, Cairo: Maktabah Wahbah 2009, hlm. 882-888. Buku ini telah diterjemahkan baik di Malaysia dan Indonesia dengan tajuk fiqh jihad.

[19] Amiruddin M Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Fazlurrahman, 2000, h. 80-84

[20] Terdapat tiga ayat yang secara jelas menyebutkan istilah khalifah iaitu ayat 30 surah Al Baqarah yang bermaksud "Sesungguhnya aku (Allah) menjadikan manusia sebagai khaifah di atas muka bumi". Ayat 165 surah al An'am yang bermaksud " dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi" dan ayat 26 surah Shad yang bermaksud " Hai Dawud sesungguhnya kami jadikan kamu sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi"

[21] Istilah daulah bermakna bergili-gilir ada di dalam Al-Qur'an ayat 140 surah Ali Imran.Manakala yang bermakna peredaran terdapat dalam ayat 7 surah al Hasyr

[22] Omardin Ashaari, Sistem Politik dalam Islam, Kuala Lumpur: Yadim, 2008, hlm. 2-5.

[23] Din Syamsudin, "Usaha Pencarian Konsep Negara", dalam Abu Zahra (ed.), Politik Demi Tuhan; Nasionalisme Religius di Indonesia (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 45-50.

[24] Mahfud MD. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi". (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010). Hal. 235

[25] Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010). hal.235-239

[26] Ahmad Syafi'i Ma'arif, Islam Dan Masalah Kenegaraan Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante, cet 1, (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 15.

[27] Dalam pertemuan antara ketua/wakil ketua PPKI dengan pihak pemerintah Jepang (Marsal Terautji), semula Soekarno dan Hatta mengusulkan kemungkinan pertemuan pertama PPKI pada 25 Agustus. Tentang usul itu, Terautji mempersilahkan panitia untuk menentukan sendiri. Sepulang di tanah air, mengingat perubahan cepat dan desakan politik yang berkembang, rencana pertemuan pertama PPKI dipercepat menjadi 16 Agustus. Namun pada tanggal itu, Soekarno dan Hatta diculik oleh para pemuda Rengasdengklok. Keesokan harinya ada, proklamasi kemerdekaan Indonesia, sehingga sidang pertama PPKI baru bisa dilaksanakan pada 18 Agustus. Lihat,https://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Rengasdengklok, Di akses hari rabu, tanggal 3 oktober 2018, Pukul, 10.00. WIB

[28] Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila,Cet IV, (Jakarta: PT Gramedia,2012), hal. 81-83.

[29]Lihat,https://books.google.co.id/booksid=bL48DwAAQBAJ&pg=PA165&lpg=PA165&dq=BUKU+Malaka,+1991+:+9293,+Anderson,+1972:+272&source=bl&ots=nYT12XGCd3&sig=JZifZXubMgDuNedlKU7WpgsTsO0&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjZj8f91OndAhUGrY8KHRTSCV4Q6AEwAHoECAkQAQ#v=onepage&q=BUKU%20Malaka%2C%201991%20%3A%2092-93%2C%20Anderson%2C%201972%3A%20272&f=false, Di akses Hari rabu Tanggal 3 Oktober 2018, Pukul 10.10. WIB

[30] Yudi Latif, Op. Cit, hal.,70-76

[31] Moh. Dahlan, Hubungan Agama Dan Negara Di Indonesia, ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, Volume 14, Nomor 1, Juni 2014, h. 16

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun