Mohon tunggu...
Mohamad Hidayat Muhtar
Mohamad Hidayat Muhtar Mohon Tunggu... Dosen - MENULIS ADALAH CANDU BAGI SAYA

"MENULIS ADALAH BEKERJA UNTUK KEABADIAN" PRAMOEDYA ANANTA TOER

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Konstitualisme Hukum Islam dalam Ketatanegaraan Indonesia

24 Oktober 2018   17:28 Diperbarui: 24 Oktober 2018   17:56 3527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kedua golongan yang berseberangan antara kebangsaan dan Islam masing-masing di internal golongan tersebut terjadi perdebatan pandangan. Internal golongan Islam satu pihak menginginkan tidak sepenuhnya menghendaki penyatuan agama dan negara, demikian juga golongan kebangsaan yang tidak menginginkan pemisahan sepenuhnya dari urusan negara dengan urusan negara. Betapapun mereka berbeda pandangan melalui konfrontasi mengenai relasi agama dan negara, namun tidak ada penolakan terhadap nilai-nilai ketuhanan dalam persidangan pertama BPUPK (29-1 Juni) karena ketuhanan sebagai fundamen yang penting bagi negara Indonesia merdeka.

Kendati demikian bahwa ketuhan menjadi fundamen dalam sebuah negara, perbenturan dua paham terus berlanjut. sulit untuk menemukan kemungkinan lain dalam melihat hubungan negara dan agama diluar pola penyatuan (fusion) dan pemisahan (separation). Percobaan untuk mencari
formula alternatif dilakukan secara konseptual. Sebenarnya Soekarno tidak terlalu setuju dengan penyatuan Islam dan Negara dapat dilihat dalam pidatonya pada 1 Juni, ketika menguraikan apa yang disebutnya sebagai Philosofische grondslag, dia tidak mendukung gagasan Islam sebagai dasar negara, tetapi memberi peluang bagi golongan Islam untuk mengorganisasikan diri secara politik yang akan mempengaruhi keputusan-keputusan politik di lembaga perwakilan.[30]

Secara historis-faktual, penerimaan ulama terhadap eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara didasari oleh fakta bahwa warga negara Indonesia bersifat majemuk, sehingga persatuan dalam keragaman menjadi keniscayaan. Kegagalan negara-negara Eropa seperti Jerman karena menjadikan budaya Jerman sebagai kiblat dari semua budaya lainnya yang hidup di Jerman. Arogansi inilah yang menyebabkan Jerman gagal dalam proses integrasi yang diterapkan kebijakan Kementerian Dalam Negeri Jerman. Fakta tersebut berbeda dengan kondisi di Amerika yang sejak awal sudah membangun budayanya berdasarkan prinsip melting pot atau tungku pelebur dari berbagai budaya masyarakat lainnya. Oleh sebab itu, menjadikan budaya lokal dan kearifan lokal secara proporsional dalam kehidupan Indonesia menjadi pilihan tepat.[31]. Usaha kompromi yang telah dilakukan tentunya telah final degan pilihan bahwa Pancasila sebagai filosofi sekaligus sebagai idiologi negara. Terlepas apakah dasar negara itu berkesesuaian dengan golongan Islam dan golongan kebangsaan. Namun titik temu itu barang kali sulit di satukan mengingat masingmasing memiliki argumentasi yang kuat. Memang persoalan tersebut fundamen adanya, namun pastinya ada jalan solusi yang terbaik, karena pancasila digali dari nilai-nilai kebangsaan yang di dalamnya ada nilai-nilai dari masing-masing agama dan budaya yang ada.

 

Kesimpulan

  • Sintesa antara negara dan agama, di dunia Islam, menunjukkan jalan yang rumit, namun unik. Pemikiran kenegaraan dalam islam tetap mempertahankan integrasi antara agama dan negara karena  Islam telah lengkap secara paripurna dalam mengatur sistem kemasyarakatan, termasuk di dalamnya masalah politik. Dalam paradigma integralistik, agama dan negara menyatu. Karenanya kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Ilahi" (divine soveregnity), karena kedaulatan berasal dan berada di "tangan Tuhan".
  • Relasi agama Islam dan Negara dalam system Ketatanegaraan Indonesia secara konstitusional, agama dan negara berjalan dinamis-dialektis, sehingga pelembagaan substansi norma agama Islam dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa dilakukan dengan cara inkosntitusional, tetapi harus melalui proses konstitusional, berdasarkan Pancasila dan UUD-NRI 1945. Substansi norma agama Islam hanya dapat diterapkan dalam tata hukum nasional jika diundangkan secara konstitusional dan sesuai dengan Pancasila dan UUD-NRI Tahun 1945.

 

CATATAN KAKI:

[1] Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni (Malang: Setara Press Kelompok
Penerbit In-Trans, 2012), h. 46.

[2] Makzul menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti berhenti memegang jabatan; turun takhta. Maksud dari jabatan dalam hal ini adalah jabatan sebagai kepala negara atau presiden. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi IV (Cet. I; Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 865

[3] Erwin Chemerinsky, "Constitutional Law, Principles and Policies" dalam Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945 (Jakarta:Konstitusi Press, 2014), h. 1.

[4] Rijal Mumazziq Zionis, , "Konsep Kenegaraan Dalam Islam Perdebatan Relasional Yang Tak Kunjung Tuntas, Jurnal Falasifa. Vol. 1 No. 2 september 2010 , h. 1.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun