Walaupun memang dalam sistem bernegara harus mengakui kedaulatan negara apakah dia negara islam murni atau negara islam yang mempunyai ciri ini tidak terlepas dari rentang sejarah masing-masing negara contohnya adalah negara-negara seperti Saudi Arabia, Iran, Pakistan atau Sudan yang menerapkan system pemerintahan berdasarkan Islam tetapi apakah negara itu wajib dijadikan contoh? Sedangkan dalam islam tidak mengatur secara spesifik system bernegara atau, dalam pertanyaan yang berbeda, bisakah negara yang hanya mengimplementasikan nilai-nilai universalitas Islam itu disebut sebagai Negara Islam?
Konsep pemerintahan Islam sama ada dalam bentuk khilafah mahupun negara Islam itu sendiri pada asasnya tidak dapat lari daripada peristilahan negara Islam. Hakikatnya, istilah negara Islam (dawlah Islamiyyah) sendiri baru dikenali pada abad ke-20 seiring dengan kemerdekaan negara-negara Islam yang dijajah kuasa Barat dan masuknya fahaman nasionalisme yang dibawa oleh penjajah. Dalam khazanah dan pemikiran ahli hukum Islam (fikah), istilah yang lebih dulu dikenali ialah Dar al-Islam (wilayah Islam) bagi merujuk sesebuah wilayah yang dikuasi oleh umat Islam. Bertentangan dengan istilah Dar al-Islam yang mempunyai makna negara aman, istilah Dar al-Harb (wilayah peperangan) ialah bagi merujuk negara yang dikuasai oleh bukan Islam. Istilah lain bagi merujuk kategori negara bukan Islam ialah Dar al-Muahadah yiaitu negara bukan Islam yang mengikat perjanjian dengan negara umat Islam.[18]
Sedangkan Fazlurrahman, kendati tidak menyatakan secara gamblang pendapatnya mengenai konsep Islam mengenai negara, memberkan definisi negara Islam secara fleksibel, tak begitu ketat dengan syarat-syarat tertentu. Rahman menilai negara Islam adalah suatu negara yang didirikan atau dihuni oleh umat Islam dalam rangka memenuhi keinginan mereka untuk melaksanakan perintah Allah melalui wahyu-Nya. Tentang bagaimana implementasi penyelenggaraan negara itu, Rahman tidak memformat secara kaku, tetapi elemen yang paling penting yang harus dimiliki adalah Shura sebagai dasarnya. Dengan adanya lembaga Shura itu sudah tentu dibutuhkan ijtihad dari semua pihak yang berkompeten. Dengan demikian, kata Rahman, akan sangat mungkin antara satu Negara Islam dengan Negara Islam yang lain, implementasi shariah Islam akan berbeda, oleh karena tergantung hasil ijtihad para mujtahid di negara yang bersangkutan.[19]
Istilah lain yang dikenali bagi merujuk negara Islam ialah istilah khilafah. Istilah khilafah digunakan terutama merujuk kepada era kepemimpinan khulafaurrasyidin, selain juga bersumber kepada istilah yang jelas termaktub di dalam al-Qur'an.[20] Manakala istilah daulah merujuk kepada era pemerintahan daulah Umayyah, daulah Abbasiyah dan Usmaniyah. Bagaimanapun, istilah daulah pada asalnya bukan diartikan sebagai negara akan tetapi mempunyai dua makna iaitu bergilir-gilir dan peredaran.[21] Istilah negara Islam turut mendapat perhatian dalam kalangan ahli hukum Islam (ahli fikah) bagi merumuskannya. Abu Hanifah pengasas mazhab Hanafi mentakrif negara Islam dengan meletakkan rasa aman dan bebas daripada ancaman musuh sebagai ciri utamanya. Selain itu beliau juga mensyaratkan segala aktiviti dan kegiatan Islam dapat dijalankan tanpa ada gangguan. Sekalipun negara itu tidak mengamalkan undang-undang Islam, akan tetapi majoriti penduduknya beragama Islam dan ketua negara dipegang oleh umat Islam, maka negara tersebut layak disebut sebagai negara Islam. Dalam kalangan mazhab Syafii, salah seorang tokohnya Mohammad Abu Zahrah berpendapat bahawa negara Islam ialah pemerintahan, kekuatan dan pertahanan negara dikuasai umat Islam. Beliau turut mensyaratkan bahawa negara itu tidak melaksanakan amalan riba, arak, judi dan penduduknya tidak memakan khinzir.[22]
Bentuk Ideal Relasi Agama dan Negara Dalam Ketatanegaraan Indonesia
Dalam sejarah Islam, ada tiga tipologi hubungan antara agama dan negara. Din Syamsudin membaginya sebagai berikut: Pertama, golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara berjalan secara integral. Domain agama juga menjadi domain negara, demikian sebaliknya, sehingga hubungan antara agama dan negara tidak ada jarak dan berjalan menjadi satu kesatuan. Tokoh pendukungan gerakan ini adalah al-Maududi. Kedua, golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara berjalan secara simbiotik dan dinamis-dialektis, bukan berhubungan langsung, sehingga kedua wilayah masih adamjarak dan kontrol masing-masing, sehingga agama dan negara berjalan berdampingan. Keduanya bertemu untuk kepentingan pemenuhan kepentingan masing-masing, agama memerlukan lembaga negara untuk melakukan akselerasi pengembangannya, demikian juga lembaga negara memerlukan agama untuk membangun negara yang adil dan sesuai dengan spirit ketuhanan. Tokoh Muslim dunia dalam golongan ini di antaranya adalah Abdullahi Ahmed An-Na'im, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaid, Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Ketiga, golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara merupakan dua domian yang berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali. Golongan ini memisahkan hubungan antara agama dan politik negara. Oleh sebab itu, golongan ini menolak pendasaran negara pada agama atau formalisasi norma-norma agama ke dalam sistem hukum negara.[23]Â
Diskursus reposisi agama dan negara yang fundamen untuk dimasukkan pada bab agama di dalam UUD 1945, dalam catatan sejarah konsepsi mengenai agama dan negara yang didalamnya termaktub kebebasan beragama yang tanpa disadari telah di mulai sebelum Indonesia merdeka, yaitu pada tahun 1940, ketika muncul polemik mengenai hubungan antara negara dan agama yang memperhadapkan dua tokoh pejuang kemerdekaan terkemuka, yakni Soekarno dan Natsir.[24] Polemik itu di picu oleh artikel Bung Karno yang di muat di majalah Panji Islam, berjudul "Memudahkan Pengertian Islam". Menurut Soekarno, demi kebaikan (agama dan negara), maka keduanya harus di pisahkan.
Soekarno menyatakan kekaguman dan dukungannya terhadap apa yang dilakukan oleh Kemal Attaruk di Turki pada tahun 1928, ketika pemimpin Turki itu menghapus isi konstitusi yang menjadikan Islam sebagai agama negara untuk kemudian menjadikan agama sebagai urusan perseorangan. Menurut Soekarno, penghapusan itu justru dimaksudkan agar Islam menjadi lebih maju dibawah orang yang menganutnya, bukan di bawah negara, dengan kata lain menyerahkan urusan agama kepada masing-masing pemeluknya. Oleh sebab itu menanggapi ungkapan Soekarno, Natsir terang-terangan menyatakan mengikuti pendapat bahwa negara tidak dapat dipisahkan dari agama sesuai dengan bunyi bahwa jin dan manusia di ciptakan tiada lain kecuali untuk beribadah sehingga setiap muslim memiliki cita-cita untuk menjadi hamba Allah yang sepenuhnya untuk mencapai kebahagiaan dunia akherat. Negara memiliki arti sangat penting bagi Islam, sebab Qur'an dan Sunnah tidak berkaki sendiri untuk menjaga peraturan-peraturannya agar ditaati sebagaimana mestinya. Berawal dari Natsir yang mengkritik Kemal Attaturk yang dianggap mencampakkan Islam dari konstitusi di Turki hanya karena masyarakat yang tidak Islami. Kemdian polemik tersebut berlanjut hingga di sidang BPUPKI dan PPKI pada waktu itu.[25]
Umat Islam pada umumnya mempercayai watak kholistik Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrument ilahiyah untuk memahami dunia,
seringkali dipandang sebagai lebih dari sekedar agama. Beberapa kalangan malah menyatakan bahwa Islam juga dapat di pandang sebagai agama dan negara.[26] Namun artikulasinya pada tingkat praksis menjadi persoalan yang problematik, Hal ini antara lain disebabkan oleh ciri umum sebagian besar ajaran Islam yang memungkinkan multi intepretasi sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Kemudian masuk ke peristiwa yang paling bersejarah yakni pertemuan pertama PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.[27] Pada saat itu suasana kebatinan dan situasi politik Indonesia berubah secara dramatis, menyusul proklamsi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Pada tgl 18 Agustus 1945 PPKI memilih Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada saat yang sama, PPKI menyetujui naskah Piagam Jakarta sebagai pembukaan UUD 1945, kecuali tujuh kata di belakang sila ketuhanan, 7 kata Piagam Jakarta yang termaktub dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 "Negara berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", yang telah memunculkan kontroversi terpanas dalam sesi terakhir persidangan BPUPK. Dicoret lantas diganti dengan kata-kata Yang Maha Esa. Sehingga, selengkapnya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai konsekuensi dari pencoretan tujuh kata ini, dalam batang tubuh UUD 1945, disetujui pula Pasal 6 ayat 1 :
"Presiden ialah orang Indonesia asli, tidak ada tambahan kata-kata yang beragama Islam."
Demikian pula, bunyi Pasal 29 ayat 1 menjadi: negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa, tanpa disertai tujuh kata dibelakangnya.[28] Gejolak perdebatan antara "golongan kebangsaan" dan golongan Islam". Berlanjut pada seorang Tan Malaka, dalam kapasitannya sebagai pemimpin komunis, mempunyai kepedulian yang tinggi untuk merukunkan antara komunisme dan Islamisme. Pada Konggres Komintrn keempat, November 1922, Tan Malaka terang-terangan mengecam sikap permusuhan komintrn terhadap Pan-Islamisme, karena hal itu dipandang sebagai cerminan kekuatan borjuis yang tidak bisa dipercaya. Dia juga menekankan potensi revolusioner dalam Islam di daerah-daerah jajahan dan kebutuhan partai-partai komunis untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok radikal Islam.[29]