Mohon tunggu...
Mohamad Hidayat Muhtar
Mohamad Hidayat Muhtar Mohon Tunggu... Dosen - MENULIS ADALAH CANDU BAGI SAYA

"MENULIS ADALAH BEKERJA UNTUK KEABADIAN" PRAMOEDYA ANANTA TOER

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Konstitualisme Hukum Islam dalam Ketatanegaraan Indonesia

24 Oktober 2018   17:28 Diperbarui: 24 Oktober 2018   17:56 3527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya sebuah masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah), dan adanya pemerintah yang berdaulat.[7] Definisi di atas, tampaknya dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam penelitan ini guna melacak istilah negara dalam khazanah Islam. Sebab, dalam kajian Islam (Islamic studies), istilah negara bisa bermakna dawlah, khilafah, imamah,hukumah, dan kesultanan.[8]

Dari berbagai istilah di atas, penyebutan negara dalam Islam memiliki beragam corak. Jika melihat sejarahnya istilah-istilah di atas pernah dipraktekkan oleh umat Islam di berbagai Kawasan terutama di timur tengah. Relasi di sini berarti sebuah hubungan, yang kemudian melahirkan beberapa pertanyaan seperti Apakah negara harus tunduk di bawah ajaran agama? apakah agama harus terkooptasi oleh negara? Apakah negara dan agama harus berhadapan secara frontal, tanpa harus saling mencampuri? Apakah agama dan negara di posisikan dalam ruang yang berbeda, namun saling menguntungkan? Atau agama dan negara harus dipersatukan? Inilah yang kemudian banyak melahirkan polemik sepanjang sejarah.

Indonesia sendiri sebagai negara dengan mayoritas penduduk islam pada prinsipnya dalam aspek ketatanegaraanya lebih berciri sistem ketatanegaraan atau mengikuti pemikir-pemikir dari barat misalnya kita merupakan negara dengan sistem pemerintahan presidensial berbeda dengan negara-negara islam khusnya timur tengah yang mengikuti ketatanegaraan islam disana tidak dikenal presiden akan tetapi raja atau sultan. Hukum islam sendiri dalam ketatanegaraan Indonesia tercantum dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) Eksistensi Hukum Islam termanifestasi di dalam konstitusi Negara Indonesia yang lazim dikenal dengan UUD  1945 sebagaimana tercantum pada alinea keempat pada Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, "Ketuhanan Yang Maha Esa" Ahmad Sukardja menyimpulkan apabila dibandingkan materi antara Piagam Madinah dengan UUD 1945, maka UUD 1945 mengandung unsur islami. Karena itu peluang berlakunya Hukum Islam secara yuridis konstitusional sangat terbuka lebar dan penerapan syariat Islam semakin tinggi.[9]

Karakteristik Pemikiran Kenegaraan Dalam Islam

Sejarah perkembangan ilmu ilmu politik, konsep negara merupakan konsep yang dominan, sehingga bila membicarakan ilmu politik berarti membicarakan negara dan segala sesuatu yang berhubungan denganya. Pada awalnya ilmu politik mempelajari masalah negara. Dengan itu, pendekatan yang muncul dalam ilmu politik adalah pendekatan legal-formal, yaitu suatu pendekatan yang memahami ilmu politik dari sudut formal legalistic dengan melihat lembaga-lembaga politik sebagai obyek studinya, termasuk didalamnya masalah negara. Konsep negara selalu mendapatkan tempat yang istimewa, hal itu terjadi sejak zaman yunani bahkan sampai sekarang. Banyak gagasan yang telah dikemukakan dalam kurun waktu tersebut tentang konsep negara. Seperti yang kita ketahui para pemikir yunani kuno, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles
dalam karya-karyanya membicarakan tentang konsep negara.[10]

Dalam ranah pemikiran politik Islam mengenai dasar negara maupun politik sudah muncul sejak abad klasik, abad pertengahan dan sampai modern. Seperti Al-Farabi, Al Mawardi, Al Ghazali yang mampu menjadi pemikir politik di abad klasik dan pertengahan, sedangkan di abad modern yang terkenal seperti, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal dan tokoh-tokoh yang lain. Rasyid Ridha, seorang ulama terkemuka Islam, yang dianggap paling bertanggung jawab dalam merumuskan konsep negara Islam modern, menyatakan bahwa premis pokok dari konsep negara Islam adalah syariah, menurut beliau syariah merupakan sumber hukum paling tinggi. Dalam pandangan Rasyid Ridho, syariah harus membutuhkan bantuan kekuasaan untuk tujuan mengimplementasinya, dan mustahil untuk menerapkan hukum Islam tanpa adanya Negara Islam. Karena itu, dapat dikatakan bahwa penerapan hukum Islam merupakan satu-satunya kriteria utama yang sangat menentukan untuk membedakan antara suatu negara Islam dengan negara non-Islam.[11]

Sedangkan Fazlur Rahman, tidak menyatakan secara jelas pendapatnya mengenai konsep Islam mengenai negara, memberikan definisi negara Islam
secara fleksibel, tak begitu ketat dengan syarat-syarat tertentu. Fazlur Rahman menilai negara Islam adalah suatu negara yang didirikan atau dihuni oleh umat Islam dalam rangka memenuhi keinginan mereka untuk melaksanakan perintah Allah melalui wahyu-Nya. Tentang bagaimana implementasi penyelenggaraan negara itu, Fazlur Rahman tidak memformat secara kaku, tetapi elemen yang paling penting yang harus dimiliki adalah syura sebagai dasarnya. Dengan adanya lembaga syura itu sudah tentu dibutuhkan ijtihad dari semua pihak yang berkompeten. Dengan demikian, kata Fazlur Rahman, akan sangat mungkin antara satu negara Islam dengan negara Islam yang lain, implementasi syariah Islam akan berbeda, oleh karena tergantung hasil ijtihad para mujtahid di negara yang bersangkutan.[12]

Salah satu pemikir berpengaruh di dunia Islam, Ibnu Khaldun, membagi proses pembentukan kekuasaan politik (siysah) atau pemerintahan menjadi tiga jenis. Pertama, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan atas naluri politik manusia untuk bermasyarakat dan membentuk kekuasaan. Kedua, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan atas pertimbangan akal semata dengan tanpa berusaha mencari petunjuk dari cahaya ilahi. Ia hanya ada dalam spekulasi pemikiran para filosof. Ketiga, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah agama yang telah digariskan oleh shari'ah. Politik ini didasarkan atas keyakinan bahwa Tuhan sebagai pembuat shariah adalah yang paling tahu maslahat yang diperlukan manusia agar mereka bisa bahagia di dunia dan akhirat. Ibnu Khaldun menyebut jenis yang pertama dengan sebutan al-mulk al-thabi'iy yang kedua dengan sebutan al-siysah al- madaniyah dan yang ketiga dengan sebutan al-siyasah al-diniyah atau syar'iyyah.[13]

Pada perkembangan berikutnya, kajian-kajian tentang negara dan kaitannya dengan agama, selalu mendapat porsi lebih khusus. Inilah yang menyebabkan munculnya kesepakatan para ulama yang mewajibkan adanya pemerintahan, mekipun kajian klasik dan kontemporer punya pendapat yang beragam mengenai bentuk pemerintahan itu. Kewajiban ini didasarkan pada :[14]

  • Ijma shahabat
  • Menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan yang kacau balau akibat tidak adanya pemerintahan
  • Melaksanakan tugas-tugas keagamaan
  • Mewujudkan keadilan yang sempurna.

Mengenai relasi agama dan negara, Islam sejak awal tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana konsep dan bentuk negara yang dikehendaki. Dalam konsep Islam, dengan mengacu pada al-Quran dan al-Hadith, tidak ditemukan rumusan tentang negara secara eksplisit, hanya di dalam kedua sumber hukum Islam itu terdapat prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, di antaranya adalah:[15]

  • Keadilan: (QS. 5:8) Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
  • Musyawarah: (QS. 42:38) Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.
  • Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran: (QS.3:110) Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah.
  • Perdamaian dan persaudaraan:  (QS. 49:10) Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
  • Keamanan : (QS. 2:126) Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa.
  • Persamaan: (QS. 16:97 dan 40:40) Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (QS. 16:97).

Secara historis, cikal bakal negara Islam, meski dalam bentuk yang sangat sederhana dan tidak tersebut secara yuridis formal, dapat dirunut sejak pasca lahirnya perjanjian Hudaybiyah II (Piagam Madinah). Meskipun pendirian negara, termasuk agama negara, tidak diartikulasikan secara tegas oleh nabi, persyaratan sebagai negara telah terpenuhi: wilayah, pemerintahan, rakyat, kedaulatan, dan konstitusi.[16] Yang penting untuk digarisbawahi adalah, bahwa tidak adanya penyebutan Negara Madinah pada saat itu sehingga banyak kalangan yang menyebut perjanjian itu sebagai bentuk kerjasama antar berbagai elemen masyarakat di sebuah wilayah.[17] Inilah yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan dan bahan kajian untuk mencari formulasi apa yang disebut sebagai negara Islam. Kontemporer islam tidak ada kesepakatan yang bulat di kalangan pakar politik Muslim modern tentang apa sesungguhnya yang terkandung dalam konsep negara Islam. Kenyataan mudah terlihat dengan begitu beragamnya sistem negara dan pemerintahan di dunia ini yang menganggap dirinya sebagai negara Islam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun