Sekonyong-konyong, Rayyan meletakkan bekas kaleng minuman dinginnya ke telapak tangan Nara. "Lain kali, remukkan sesuatu, bakar sesuatu, robek sesuatu, atau lakukan apapun saat kau marah, Nara. Jangan memendamnya, tapi jangan melampiaskannya juga dengan cara yang bodoh. Sesaat kau akan terlihat keren, tapi kau juga akan terlihat bodoh. Jika dengan bersikap tidak peduli tidak membuatnya jera, selamatkanlah dirimu dengan lari dari hal-hal yang membuatmu muak itu, Nara."
      Nara bergeming. Namun, seolah diprogram, tangannya mengepal meremukkan kaleng minuman Rayyan. "Kau tidak bisa lepas dari rasa muak itu, Nara. Sebab memang ada banyak manusia memuakkan di dunia ini. Kau cuma perlu mencari pelarian untuk lebih tenang," petuah Rayyan kemudian. Mendadak, orang tidak dikenal itu menjelma bak motivator.
      Matahari sudah tepat di atas kepala. Terik bukan main. Sayup-sayup terdengar suara adzan zuhur berkumandang. Namun, amarah Nara padam. Isi kepalanya yang riuh, mendadak tenang. Bersama Rayyan, dia mengumpulkan sampah bekas makanan mereka juga sampah lainnya yang dibuang sembarangan di dekat bangku taman perpustakaan. Mereka sibuk. Meski begitu, gumaman Rayyan masih terdengar olehnya.
      "Benar ternyata, tidak ada tempat sembunyi yang lebih baik di dunia ini selain diri sendiri."
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H