Rayyan memecah tawanya. "Tapi kau keren, Nara! Kau menakjubkan," komentarnya lagi. "Aku seperti menonton film di mana korban perundungan membalas orang yang merundungnya."
      "Itu memalukan," sahut Nara. Sejujurnya, setelah berdiam cukup lama di sini dan menekuri kembali perbuatannya, Nara merasa perbuatannya sangat memalukan. Namun, di sisi lain, Nara juga merasa lebih tenang. Amarah dan rasa kecewanya terlampiaskan.
      Nara menghembuskan nafas gusar. "Aku merasa bersalah, tetapi aku juga lega bisa membalasnya. Perasaan yang sama seperti ketika aku merasa kasihan pada orang-orang yang dihukum setelah melakukan kejahatan, lalu menyadari jika tidak ada hukuman, tidak akan ada rasa jera. Seseorang akan terus bertindak sesukanya. Membalas keburukan dengan keburukan tidak sepenuhnya buruk."
      Nara sadar, dia diperhatikan. Toh, jika menjadi Rayyan---entah itu nama asli atau samaran---Nara juga akan melakukannya. Untuk ukuran seorang Nara, berbicara sepanjang itu tentu aneh.
      "Kupikir lagi, kau seorang yang pendiam, Nara. Di antara teman-teman Lita, kau yang paling jarang bicara," ujar Rayyan. Nana mengedip pelan. Lantas menghembuskan nafasnya kasar.
      "Aku bicara dalam kepalaku."
      "Apa ada alasan khusus kenapa kau mengutarakan isi kepalamu padaku?"
      "Aku takut kepalaku meledak. Kemarahan tadi tidak cukup."
      Di sebelahnya, Rayyan mengangguk-angguk. Nara yang sudah menanggalkan idealisnya di tumpahan kopinya tadi pun, turut hanyut. "Beberapa orang diam, karena isi kepala mereka mengerikan," tambahnya kemudian.
      "Kau juga?" tanya Rayyan.
      Nara mengangguk. "Kalau orang-orang tahu apa yang kupikirkan, mungkin tidak ada orang yang mau untuk sekadar menyapaku."