Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Muak

2 Desember 2023   21:15 Diperbarui: 2 Desember 2023   21:32 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Rayyan memecah tawanya. "Tapi kau keren, Nara! Kau menakjubkan," komentarnya lagi. "Aku seperti menonton film di mana korban perundungan membalas orang yang merundungnya."

            "Itu memalukan," sahut Nara. Sejujurnya, setelah berdiam cukup lama di sini dan menekuri kembali perbuatannya, Nara merasa perbuatannya sangat memalukan. Namun, di sisi lain, Nara juga merasa lebih tenang. Amarah dan rasa kecewanya terlampiaskan.

            Nara menghembuskan nafas gusar. "Aku merasa bersalah, tetapi aku juga lega bisa membalasnya. Perasaan yang sama seperti ketika aku merasa kasihan pada orang-orang yang dihukum setelah melakukan kejahatan, lalu menyadari jika tidak ada hukuman, tidak akan ada rasa jera. Seseorang akan terus bertindak sesukanya. Membalas keburukan dengan keburukan tidak sepenuhnya buruk."

            Nara sadar, dia diperhatikan. Toh, jika menjadi Rayyan---entah itu nama asli atau samaran---Nara juga akan melakukannya. Untuk ukuran seorang Nara, berbicara sepanjang itu tentu aneh.

            "Kupikir lagi, kau seorang yang pendiam, Nara. Di antara teman-teman Lita, kau yang paling jarang bicara," ujar Rayyan. Nana mengedip pelan. Lantas menghembuskan nafasnya kasar.

            "Aku bicara dalam kepalaku."

            "Apa ada alasan khusus kenapa kau mengutarakan isi kepalamu padaku?"

            "Aku takut kepalaku meledak. Kemarahan tadi tidak cukup."

            Di sebelahnya, Rayyan mengangguk-angguk. Nara yang sudah menanggalkan idealisnya di tumpahan kopinya tadi pun, turut hanyut. "Beberapa orang diam, karena isi kepala mereka mengerikan," tambahnya kemudian.

            "Kau juga?" tanya Rayyan.

            Nara mengangguk. "Kalau orang-orang tahu apa yang kupikirkan, mungkin tidak ada orang yang mau untuk sekadar menyapaku."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun